Islam adalah agama yang penuh dengan kebijaksanaan. Kebijaksanaan itu juga yang kemudian menjadi asas di dalam pemberlakuan aturan syariatnya. Ada tiga komponen utama, seperti ditulis Khudari Bik, yang menjadi pondasi (asas) dalam pensyariatan hukum Islam.
Pertama, Adam al-Haraj (tidak ada kepicikan dalam beragama), artinya, sedari awal agama Islam sudah berusaha semaksimal mungkin menghindarkan pemeluknya dalam kepicikan, kesempitan dan kesulitan dalam bergama.
Banyak argumen yang tertera dalam al-Quran mendukung pondasi ini. Di antaranya adalah firman Allah Swt.:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185)
Dan dalam ayat lain:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. Al-Hajj [22]: 78)
Dan Sabda Nabi Muhammad Saw.
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا
“Rasulullah tak pernah diberi pilihan di antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah”
Untuk mewujudkan konsep ini kemudian dibuatlah konsep rukhsoh (hukum alternatif) sebagai ganti dari azimah (hukum asal), seperti bolehnya tidak berpuasa ramadan bagi mereka yang sedang melakukan travelling, kebolehan mengonsumsi bangkai jika kondisi terdesak dengan kematian.
Kedua, taqlil al-Takalif (beban minimalis), dalam artian, Islam semaksimal mungkin tidak memperbanyak aturan kepada hambanya. Sebenarnya ini adalah implikasi konsep pertama, yakni adam al-Haraj. Sebab sesuatu yang memiliki banyak aturan sudah pasti mempersulit dan memperumit.
Dasar argumennya juga ada dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dalam al-Qur’an disebut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Qs. Al-Maidah [5]: 101)
Ayat di atas, mengisyratkan bahwa yang perlu dilaksanakan adalah yang jelas baik perintah maupun larangan. Sementara perkara yang didiamkan (maskut anhu) tidak perlu dipertanyakan. Sebab jika ditanyakan bisa nanti menjadi jelas dan kemudian jadi aturan.
Nabi sendiri cukup banyak memberi penegasan bagaimana bersikap diam terhadap apa yang didiamkan oleh Allah Swt. misal dalam sebuah hadis:
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيّعوها، وحدّ حدوداً فلا تعتدوها، وحرّم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها”.
“Dari Rasulullah Saw. Bahwa nabi bersabda: sesungguhnya Allah mewajiban sesuatu maka jangan sia-siakan, ia juga memberi batasan-batasan maka jangan dilampaui, dan dia juga mengaramkan sesuatu maka jangan sampai dilanggar dan ia diam terhadap beberapa hal selain lupa sebagai rahmat bagi kalian maka tidak perlu dibahas”.
Pondasi ketiga adalah al-Tadrij fi al-Tasyri’ (gradual dalam pensyariatan-step by step). Islam memang bukan agama yang suka pakai “efek kejut” dalam pensyariatan hukumnya. Ia bertahap, tidak memilih jalan pintas bernama revolusi. Kenapa demikian? Karena sebelum Islam datang, di dunia jazirah arab sebenarnya sudah ada peradaban. Jadi ada peradaban yang layak dipertahankan dan ada yang perlu diluruskan menuju perbaikan.
Hikmahnya adalah Islam datang untuk memperbaiki dan menyempurnakan. Ia melihat siatuasi dan kondisi. Jika direnungkan dengan dalam kedatangan Islam bukanlah “penjajah” seperti dituduhkan pihak tertentu. Sebab ia terus menghargai apa yang ada dan terus memperbaiki dengan sempurna. Kisah penyebaran Islam di Jawa oleh Wali Songo mungkin diinspirasi oleh konsep al-Tadrij fi al-Tasyri’ ini. Oleh karena itu, Wali Songo begitu adaftif terhadap fakta lingkungan.
Contoh yang bisa ditayangkan dalam poin ini adalah sejarah pengharaman khamr dalam al-Qur’an. Beberapa mufassir baik yang klasik seperti al-Razi atau yang modern seperti Ali al-Shobuni menyebut setidaknya al-Quran menempuh empat proses dalam pengharaman khamr.
Awal mula al-Qur’an hanya memberi narasi bahwa khamr adalah minuman yang lumrah digunakan masyarakat pada waktu. Ia halal dan bisa dikonsumsi. Ayat yang menjelaskan ini adalah firman Allah Swt:.
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (Qs. Al-Nahl [16]: 67)
Ayat yang masuk kategori Makkiyah (ayat yang diturun di Mekkah atau sebelum Hijrah) di atas menginformasikan bahwa “mereka menjadikan perasan kurma & anggur sebagai “sakr”. Sakr ini menurut kebanyakan ulama adalah khamr, memabukkan. Meski ada sebagian yang menolak sakr sebagai khamr dan lebih memaknai sebagai cuka. Tetapi tak bisa dipungkiri, kebanyakan memang menafisiri bahwa sakr pada ayat di atas adalah khmar, yang memabukkan itu. Konteks ayat ini adalah ketika khmer masih bisa dikonsumsi dan belum dihukumi haram. Jadi ada masa di mana khamr itu bisa dinikmati.
Episode kedua kaitannya perbincangan khamr dengan al-Quran adalah firman Allah yang lain. yaitu:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 219)
Ayat di atas turun setelah ada beberapa sahabat di antaranya Umar ibn Khattab dan Muadz ibn Jabal mendatangi nabi dan kemudian meminta fatwa kepada beliau. Kedua sahabat itu berkata, “Wahai nabi! Berilah kami petunjuk kami tentang khamr yang banyak dikonsumsi orang-orang, sebab ia bisa menghilangkan fungsi akal dan dan menghabiskan uang kita?” lalu turun ayat di atas.
Menarik, dalam ayat di atas masih disebut bahwa khamr itu memang buruk tetapi ia memiliki manfaat bagi manusia. Hanya saja, keburukannya lebih banyak dari manfaatnya. Maka dari itu, ketika ayat di atas turun, masyarakat pada waktu itu terpecah dua kelompok. Satu kelompok berhenti meminum khamr dan ada kelompok lain yang masih tetap menikmatinya. Alasannya sederhana, al-Qur’an saja mengkaui bahwa di dalam khamr masih ada manfaat.
Ada yang bertanya apa manfaat khamr? Tentu manfaatnya banyak salah satunya adalah untuk sarana bisnis yang cukup menjanjikan. Sebab zaman dulu di daerah Hijaz khamr dijual dengan harga tinggi. Sementra barangnya didatangkann dari Syam dengan harga murah. Maka cukup menjanjikan bukan?
Suatu ketika Abdurrahman ibn Auf mengadakan jamuan makan dengan para sahabat dan ada menu khamr sebagai minumannya. Setelah selesai pesta, waktu Maghrib tiba. Kemudian mereka berdiri untuk melakukan salat. Di tengah salat, efek dari khamr terasa hingga kemudian yang menjadi imam salah membaca ayat dalam surat al-Kafirun. Dari peristiwa ini kemudian turun ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid” (al-Nisa [4]: 43)
Dalam ayat di atas kemudian dipertegas jangan menikmati khamr jika hendak menunaikan salat. Sebab itu bisa mengganggu salat yang akan dilaksanakan. Apa dari ayat ini kemudian semua elemen berhenti menikmati khamr? Tidak! Masih ada yang menikmati khamr terutama waktu yang jarak satu salat dengan salat lainnya jauh, yaitu salat Isya dan Subuh. Sebab mabuk habis Isya menjelang Subuh efeknya sudah hilang, maka di jeda antara dua salat ini orang-orang meminum khamr.
Etape terakhir dari pengharaman khamr adalah pasca peristiwa di rumah seorang sahabat. Seperti biasa ia sebagai tuan rumah menyediakan jamuan mewah salah satu menunya adalah kepala unta dan disediakan khamr. Kemudian setelah menikmati jamuan itu, salah satu di antara mereka ada yang meracau, ia kemudian berdendang, mengglrofikasi kaumnya dan merendahkan kaum Anshar. Karena tidak terima, seorang Anshor berdiri dan memukulnya dengan sebuah benda keras hingga melukai orang tersebut.
Kejadian memilukan itu kemudian dilaporkan kepada nabi dan turunlah ayat al-Qur’an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ا
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah [5]: 90)
Setelah ayat ini turun, maka tegas pula ihwal kekharaman khamr dalam Islam. Para sahabat kemudian yang awalnya masih terbiasa meminum kemudian berjanji akan berhenti.[]