Keinginan manusia senantiasa bertahap yang selaras dengan kondisi hidupnya. Ketika masih kecil, manusia mencari kesenangan melalui permainan. Menginjak remaja dan awal dewasa, manusia cenderung menginginkan pasangan hidup, baik laki-laki maupun perempuan.
Setelah mendapatkannya, manusia mulai menginginkan harta untuk menunjang kebutuhannya. Ketika harta sudah didapatkan, manusia cenderung menginginkan kekuasaan dan menguji seberapa besar pengaruhnya.
Keinginan untuk korupsi berada pada fase keinginan harta, maka ia mengira terpenuhinya harta bisa membuatnya bahagia. Sementara keinginan untuk berkuasa lebih dari itu, karena biasanya orang yang mengejar kekuasan sudah mempunyai harta sebagai modal awal. Kondisi ini juga masih sama, yakni ia mengira tercapainya kekuasaan bisa membuatnya bahagia.
Agar kita tidak terjebak dalam siklus ini, para ulama sudah mengajarkan kita dalam beberapa karyanya. Ulama sebagai orang yang ‘waras’ mengajak kita untuk ikut ‘waras’ dan mengajarkan logika orang-orang yang telah diberikan nikmat oleh Allah dan dijadikan kekasih-Nya.
Di antara karya-karya yang mengajarkan kita agar menjadi ‘waras’ adalah kitab al-Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Sakandari. Di sini, saya coba menampilkan tiga hikmah secara berurutan dalam kitabnya. Mari kita simak bersama!
Standar Minimalis
Ibnu Atha’illah menyebutkan salah satu hikmah:
لِيَقِلَّ مَا تَفْرَحُ بِهِ, يَقِلَّ مَا تَحْزَنْ عَلَيْهَ.
“Kurangilah sebab kebahagiaanmu, niscaya berkurang pula sebab kesedihanmu.”
Ibnu ‘Ajibah dalam kitab Iqadh al-Himam menjelaskan hikmah di atas bahwasanya jika engkau menginginkan kebahagiaan yang awet, maka jangan memiliki sesuatu yang engkau bersedih atas kehilangannya, karena kesedihanmu atas kehilangannya menunjukkan kecintaanmu padanya.
Namun, jika engkau hanya membatasi keinginanmu pada kebutuhan yang darurat, primer, dan mendesak saja, bisa berupa harta, jabatan, dan kemuliaan, maka engkau tidak akan menemukan perkara yang membuatmu sedih.
Contoh sederhananya begini, jika kita biasanya menyukai kehidupan yang sehari-harinya bisa makan tiga kali sehari dengan lauk yang layak, atau kita menginginkan tiap hari bisa bermain HP untuk menikmati hiburan di media sosial.
Maka, ketika kita hanya bisa makan satu kali sehari dengan lauk yang tidak layak, atau ketika HP kita hilang, paketan habis, atau sinyal internet terputus, maka kita akan merasa bersedih karena standar kebutuhan tadi.
Padahal, jika kita hanya membatasi pada kebutuhan yang primer dan mendesak saja, maka kita tidak akan bersedih. Toh, manusia makan satu kali sehari dengan lauk yang tidak layak masih bisa hidup. Apalagi tanpa HP dan paket data, manusia masih sangat bisa hidup.
Termasuk orang yang korupsi dan berambisi kekuasaan, mereka mengira ketika mereka mempunyai harta dan kekuasaan yang mereka inginkan, mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang diidam-idamkannya.
Namun kenyataannya tidak demikian, yang ada, malah, manusia akan merasakan kekhawatiran dan kesedihan jika ternyata akhirnya tidak mendapatkan atau kehilangan sesuatu yang diinginkannya.
Dalam kondisi seperti ini, menjadi orang yang mempunyai standar minimalis akan senantiasa berbahagia, karena orang seperti ini tidak mempunyai banyak keinginan kecuali yang primer dan mendesak saja.
Mencari Jabatan yang Abadi
Ibnu Atha’illah melanjutkan kalam hikmahnya:
إذَا أَرَادَ أَنْ لَا تُعْزَلَ, فَلَا تَتَوَلَّ وِلَايَةً لَا تَدُوْمُ لَكَ.
“Jika engkau ingin agar tidak dilengserkan (dari jabatan), maka jangan memegang kekuasaan yang tidak abadi bagimu.”
Ahmad Zarruq dalam kitab Syarh al-Hikam-nya menjelaskan bahwa jabatan di dunia pasti akan dilengserkan, dan pelengseran itu bisa terjadi dalam tiga kondisi. Pertama, manusia dilengserkan sebab dunia itu sendiri, inilah musibah terbesar.
Kedua, manusia dilengserkan sebab kematiannya, sementara kematian adalah suatu kepastian. Ketiga, manusia dilengserkan oleh sesuatu yang tidak diinginkannya, ini juga merupakan musibah yang nyata.
Al-Syarqawi, dalam kitab Syarh al-Hikam-nya, juga menambahkan bahwa anjuran untuk meninggalkan keinginan berkuasa adalah agar kita tidak merasa sedih ketika suatu saat akhirnya dilengserkan.
Hikmah ini sangat cocok di tahun politik seperti ini. Bagi siapapun, baik ia sedang mencalonkan diri sebagai caleg maupun sebagai capres-cawapres, jika ia menginginkannya, maka keinginannya itulah yang bisa membuatnya sedih.
Ketika gagal, ia akan sedih karena tidak mendapatkannya. Ketika ia sukses, ia akan khawatir akan dilengserkan suatu saat nanti. Oleh karena itu, ia mati-matian untuk mempertahankan kekuasaannya.
Berbeda dengan orang yang tidak menginginkannya. Ia tidak akan dilanda kesusahan karena sejak awal ia tidak berminat padanya.
Meski secara resmi ia memang mendaftarkan diri secagai caleg atau capres-cawapres, jika ia tidak haus akan kekuasaan, ia tidak akan bersedih ketika gagal, dan tidak akan khawatir atas pelengserannya. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang berakal ketika masuk dalam politik praktis.
Gus Dur sendiri pun pernah mengajarkan pada kita, bahwa tiada jabatan di dunia yang perlu dipertahankan mati-matian, karena hakikatnya semua jabatan yang kita pegang pasti akan dilengserkan oleh tiga sebab sebelumnya.
Kemudian apa jabatan yang abadi? Apa jabatan yang perlu dipertahankan manusia? Tentu saja jabatan itu adalah sebagai hamba Allah dengan sebenar-benarnya. Benar dalam memposisikan Allah sebagai Tuhan, dan kita sebagai makhluk dan hamba-Nya.
Awalnya Membahagiakan, Akhirnya Menyusahkan
Ibnu Atha’illah melanjutkan hikmahnya:
إِنْ رَغَّبَتْكَ الْبِدَايَاتُ, زَهَّدَتْكَ النِّهَايَاتُ. إِنْ دَعَاكَ إِلَيْهَا ظَاهِرٌ, نَهَاكَ عَنْهَا بَاطِنٌ.
“Jika awalnya membuatmu tertarik, akhirnya malah menjemukanmu. Jika luarnya mengajakmu, batinnya malah mencegahmu.”
Dalam menjelaskan hikmah ini, al-Randi dalam Syarh al-Hikam-nya memberikan penjelasan bahwa permulaan dan penampilan luar keinginan dunia akan membuat tertarik orang yang ‘nggak waras’ sebab penampilannya yang bagus dan indah. Inilah yang membuat orang ‘nggak waras’ menginginkannya dan terjerumus padanya hingga akhirnya ia susah dan binasa olehnya.
Sementara kondisi akhir dan batinnya keinginan dunia membuat orang ‘waras’ tidak menginginkannya, karena ia mengetahui sisi buruk dari akhir dan batinnya. Orang ‘waras’ akan mempertimbangkan sisi itu, dan akhirnya ia meninggalkan, bahkan lari darinya.
Perbedaan dari dua golongan ini bisa dipahami karena orang ‘waras’ menyadari akibat dan sisi buruknya. Sementara orang yang ‘nggak waras’ tidak menyadarinya. Dan, banyak dari kita yang termasuk golongan ‘nggak waras’ ini.
‘Ketidakwarasan’ ini juga bisa dimaklumi, mengingat kemewahan harta dan indahnya jabatan dan kekuasaan membuat orang yang mendapatkannya ‘nampak’ mulia, mudah melakukan apapun, terkenal, dan dihormati banyak orang.
Memang, hanya orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya saja yang bisa menyadari akan sisi gelap pada akhir dan batin kesenangan dunia. Orang-orang seperti ini tidak merasa bahagia ketika mendapatkan harta dan jabatan dunia, dan tidak sedih dan khawatir jika mendapatkannya.
Jadi, kunci menghindari korupsi dan nafsu kekuasaan dalam kitab al-Hikam ada tiga. Pertama, gaya hidup yang minimalis. Kedua, memiliki mindset bahwa tidak ada jabatan abadi di dunia. Ketiga, tidak terjebak tipu daya duniawi.
Semoga kita bisa termasuk dalam golongan mereka, golongan yang disifati dalam al-Qur’an sebagai ‘la khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun’, tidak merasakan sedih dan khawatir akan urusan dunia.