
Jumat pagi, 16 Mei 2025, udara di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat terasa lebih dingin dari biasanya. Embun pagi baru saja membasahi tanah Paseban Tri Panca Tunggal, tempat sakral bagi masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Kuningan. Di tengah kabut menggantung, kabar duka menyelinap: Rama Jati, atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Jatikusumah, tutup usia pada pukul 10.00 WIB.
Camat Cigugur, Yono Rohmansyah, S.STP—sebagaimana dilansir kuninganmass.com—menyampaikan bahwa prosesi pemulasaraan masih menunggu keputusan keluarga besar. Namun, duka telah lebih dahulu menyelimuti ribuan hati, dari penghayat kepercayaan hingga tokoh-tokoh lintas iman yang mengenal sosoknya sebagai simbol kebijaksanaan, spiritualitas, dan keberanian.
“Berpulang dengan tenang Rama Pangeran Djatikusumah Maniswara Tedjabuwana Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat di usia 93 tahun. Pada Hari Jumat 16 Mei 2025/18 hapit 1958 saka Sunda. Pukul 10.10 WIB,” ucap perwakilan keluarga Widoro mengutip detik.com.
Darah Leluhur Pangeran Madrais ke Rama Jati
Rama Jati lebih dari pemimpin adat. Ia titisan langsung Pangeran Madrais Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat, tokoh legendaris pendiri ajaran Madrais, cikal bakal komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan. Melalui ayahnya, Pangeran Tedjabuana, yang menikahi Ratu Saodah, darah para leluhur spiritual mengalir dalam dirinya.
Ia tidak hanya mewarisi silsilah, tetapi juga memikul tanggung jawab sejarah dan budaya yang berat.
Di tengah deras arus modernisasi dan sentralisasi kekuasaan, Rama Jati berdiri teguh sebagai penjaga akar dan ruh lokalitas. Ia menghidupkan nilai-nilai Sunda Wiwitan bukan sebagai romantisme masa lalu, tapi sebagai panduan hidup yang membumi. Menghormati alam, menjaga harmoni, dan hidup dalam kesederhanaan serta keseimbangan.
Paseban Tri Panca Tunggal bukan hanya tempat ibadah dan pusat aktivitas sosial komunitas AKUR. Ia adalah jantung peradaban spiritual masyarakat adat Cigugur. Di sana, Rama Jati bertindak sebagai pemangku spiritual, pengajar nilai, dan pemersatu komunitas. Di kalangan komunitas AKUR, Rama Jati dikenal sebagai “Pupuhu”, gelar yang menunjukkan sisi kepemimpinan politik, sosial, budaya, dan juga spiritual. Upacara adat Seren Taun, yang tiap tahun digelar dengan khidmat, menjadi bukti kepemimpinannya yang kokoh sekaligus terbuka.
Seren Taun, lebih dari upacara panen padi dan syukuran. Ini adalah ritual sosial yang menyatukan penghayat, penganut semua agama, hingga pejabat negara. “Ini bukan hanya seremoni upacara adat,” ujar alm. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kunjungannya ke Cigugur tahun 2003, “tetapi perayaan kemanusiaan yang luhur.”
Ikhtiar Damai dan Lintas Iman
Rama Jati tak hanya hidup dalam dunia Sunda Wiwitan. Ia menjelajah lintas kepercayaan. Ia mempelajari ajaran-ajaran besar dunia, berdiskusi dengan para pemuka agama, dan merumuskan bahwa kebenaran bukanlah jalan tunggal, tetapi ruang perjumpaan.
Dedi Slamet Riyadi, Kasubdit Bina Paham Keagamaan dan Penanganan Konflik Keagamaan Kementerian Agama RI, pernah menyatakan: “Selama bertugas sebagai Kepala KUA Cigugur sekitar 2020-2021, saya menyaksikan langsung bagaimana Rama Jati hidup berdampingan dengan semua kalangan. Beliau memiliki saudara dari berbagai agama. Tapi, identitasnya sebagai penghayat tidak pernah goyah. Ia justru mengayomi semua kalangan.” Lebih lanjut Dedi menyatakan, di masa-masa awal 2000-an, Rama Jati memimpin komunitas AKUR sehingga menjadi komunitas yang terbuka dan berupaya memperkenalkan tradisi serta budaya Sunda kepada masyarakat sekitar.
Sebagai wujud komitmennya terhadap kerukunan, Rama Jati mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bersama Gus Dur, Ketua Umum PBNU yang juga tokoh demokrasi Indonesia. Melalui ICRP, ia ikut memperjuangkan pengakuan terhadap hak-hak kelompok minoritas agama dan kepercayaan.
Komunitas Sunda Wiwitan bukan tanpa konflik. Salah satu yang sempat mencuat adalah kontroversi mengenai pembangunan Batu Satangtung, simbol spiritual komunitas, yang ditentang oleh sebagian kalangan karena dianggap bertentangan dengan ajaran resmi agama mayoritas. Namun, di tengah tekanan dan stigma, Rama Jati tak membalas dengan konfrontasi, melainkan dengan laku diam, sabar, dan tegas.
Ia percaya bahwa spiritualitas sejati tidak tumbuh dalam amarah, melainkan dalam keteguhan laku. Seperti diungkap dalam pidatonya pada Seren Taun 2019: “Kami tidak memusuhi siapa pun. Kami hanya ingin hidup sebagaimana leluhur kami mengajarkan: menghormati bumi, air, angin, dan cahaya sebagai sumber kehidupan.”
Rama Jati dan komunitasnya tak luput dari pengalaman diskriminatif. Dari pencantuman agama di KTP, sulitnya mengakses pelayanan publik, hingga hambatan administratif dalam pernikahan dan penguburan. Namun, ia tetap memilih jalur hukum dan advokasi moral ketimbang agitasi massa.
Dalam wawancaranya dengan Komnas HAM tahun 2014, beliau menyatakan: “Kami ini warga negara. Kami bayar pajak, kami taat hukum. Tapi kami juga punya cara hidup sendiri. Jangan kami dipaksa memilih antara kepercayaan dan kewarganegaraan.”
Rama Jati adalah contoh kepemimpinan spiritual yang tidak gila kuasa, tidak menjadikan dirinya sebagai pusat kultus individu, tapi sebagai bagian dari rantai panjang sejarah adat. Dalam terminologi sosiolog Robert Bellah, beliau adalah sosok religious virtuoso, seseorang yang menjadikan hidupnya sebagai pengabdian total kepada tatanan moral dan spiritual.
Di usia senjanya, ia tetap hadir dalam setiap diskusi, upacara, bahkan advokasi hukum untuk penghayat. Ia kerap menegaskan bahwa: “Kepercayaan tidak cukup dengan ritual, tapi cara hidup kita memperlakukan sesama. Bila kita tidak adil, maka kita sudah meninggalkan ajaran, meski kita hafal mantra.”
Warisan Keteladanan
Kini, saat sosoknya telah tiada, semangat dan ajarannya tetap hidup. Ia telah menjadi roh kolektif komunitasnya, menjadi narasi penting sejarah perjuangan demokrasi dan kebebasan beragama di Indonesia.
Kepergian Rama Jati adalah duka, tapi bukan akhir. Ia adalah bagian dari rantai panjang perjuangan, dari Pangeran Madrais hingga generasi Sunda Wiwitan hari ini dan esok. Dalam hening Paseban, dalam detak Seren Taun yang akan datang, namanya akan terus disebut.
Sebagaimana pepatah adat: “Nu leungit henteu lingsir. Nu aya henteu salilana. Tapi nu cageur kudu neruskeun.” (Yang pergi tak hilang. Yang ada tak abadi. Tapi yang sehat harus meneruskan.)
Selamat jalan, Rama Jati. Bukan hanya Cigugur yang kehilangan, tetapi seluruh bangsa yang mencintai kebinekaan, kebijaksanaan, dan kemanusiaan. Semoga semesta menyambutmu dengan pelukan cahaya.