Salat Jumat beserta khutbahnya di Masjid Jamik Sumenep selalu saya rindukan jika sedang jauh dari kampung halaman.
Jumat sekitar pukul 11 jelang siang, ruang utama Masjid Jamik Sumenep yang indah itu biasanya sudah nyaris penuh dengan jemaah. Mereka duduk bersila, berzikir, atau mendaras Alquran dengan suara rendah. Ruangan dengan 13 pilar itu terasa berdengung mirip sarang lebah.
Saat waktu Zuhur tiba, beduk dipukul bertalu-talu. Muazin lalu berdiri dan mengumandangkan azan pertama.
Begitu azan pertama selesai, jemaah berdiri, mulai memadat ke arah depan, dan melakukan salat qabliyah dua rakaat.
Kira-kira sepuluh menit setelah adzan pertama, khatib akan naik mimbar. Hanya kiai-kiai terkemuka dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang bisa naik mimbar Jumat di masjid ini. Saat khatib berjubah putih mulai melangkahi tangga mimbar, dia mengambil tongkat yang tersender di dinding mimbar bergaya Tiongkok itu. Khatib naik mimbar diiringi selawat dan doa yang dipimpin oleh muazin.
Setelah tiba di puncak mimbar setinggi kira-kira satu setengah meter itu, khatib berbalik arah menghadap jemaah, dan mengucap salam. Hadirin menjawab salam dengan suara yang bergema ke seluruh langit-langit masjid setinggi belasan meter itu.
Usai khatib mengucap salam, muazain mengumandangkan azan kedua. Setelah azan, khatib menyampaikan khutbahnya, sambil memegangi tongkat kebesaran yang konon sudah ada sejak Zaman Panembahan Sumolo.
Khutbah di masjid ini monolingual: hanya disampaikan dalam bahasa Arab. Para kiai yang naik mimbar menyampaikan khutbahnya dengan bahasa Arab yang sangat fasih. Seingat saya dulu ada transkrip khutbah dalam dua bahasa, Arab dan Indonesia, yang dibagikan pada jemaah. Tapi belakangan tidak ada lagi.
Perihal khutbah berbahasa Arab itu pernah saya tanyakan pada Kiai Syakur (Allahu yarhamhu), imam besar Masjid Jamik Sumenep, di suatu sore usai ngaji kitab, yang khusus beliau lakukan di teras masjid selama Ramadan.
Sambil menunggu beduk Magrib (ini beneran bunyi beduknya, bukan hanya figure of speech), saya mendekat ke beliau, cium tangan, dan mengajukan satu pertanyaan yang sudah lama membuat saya penasaran.
“Aponapa khutbah Jumat é kadinto ma’ abasa Arab (kenapa khutbah Jumat di sini kok berbahasa Arab)?”
Kiai Syakur memandang saya yang saat itu masih SMA. Saya menunduk. Setelah beberapa saat baru beliau menjawab. Itupun malah bertanya.
“Dhika sapa (kamu siapa)?”
“Abdina Gaffar, Ké (saya Gaffar, Kiai).”
“Potrana sapa (anak siapa)?”
“Anakna Karim, Ké (anaknya Karim, Kiai).”
“Karim sé dimma gih (Karim yang mana ya)?”
“Karim camat Ambunten.” (Masak yang ini harus diterjemahkan juga sih.)
“Ohh… ba’na bajana Ké Pangolo Rasul ya.” Beliau yang tadinya berbahasa menengah, langsung menggunakan bahasa ngoko begitu tahu saya siapa. “Ohh… kamu cucunya Kiai Penghulu Rasul ya.”
“Enggih.”
“Bariya (Begini),” beliau mulai memberikan penjelasan. Saya langsung tulis dalam bahasa Indonesia saja ya. Capek nerjemahin terus buat Anda-Anda yang tak paham bahasa Madura.
“Khutbah dalam bahasa Arab itu,” kata Kiai Syakur, “yang jelas adalah kebiasaan Rasulullah.”
Saya menyimak…
“Rasulullah kalau berkhutbah selalu dalam bahasa Arab, dan disampaikan dengan ringkas, panjangnya seperti dua rakaat salat. Memang masih bisa diperdebatkan, apakah bahasa Arab itu sunah atau tidak dalam khutbah. Tapi sedekat mungkin meniru Rasul, kenapa tidak.”
Saya manggut-manggut.
“Kedua, khutbah dalam bahasa Arab itu adalah seleksi. Hanya ulama yang fasih berbahasa Arab yang bisa menjadi khatib. Tidak bisa ulama sembarangan yang belajar dari terjemahan. Harus yang fasih berbahasa Arab.”
Siap, kiai.
“Lalu yang ketiga,” suara Kiai Syakur tiba-tiba merendah. Aku menyimak lebih serius. “Ini yang lebih penting: kalau khutbah di Masjid Jamik pakai bahasa Indonesia, nanti khatibnya banyak dititipi perkara politik.”
“Perkara politik?” Saya bertanya, memastikan.
“Iya. Perkara politik.”
“Oleh Golkar, Kiai?”
“Iya, oleh Golkar. Tapi juga oleh PPP, oleh Kodim, oleh bupati. Semuanya pokoknya. KB juga. Penerangan juga. Bimas juga.”
“Pesan apa, Kiai?”
“Loh ya pesan-pesan politik. Tentang pembangunan lah, tentang kewaspadaan nasionallah. Macam-macam. Nanti khatib malah lupa menyerukan akhlaqul karimah.”
“Jadi kalau bahasa Arab tidak ada yang nitip pesan, Kiai?”
“Ya tidak ada. Yang nitip pesan kan tidak bisa menyelidiki apakah pesannya disampaikan apa tidak.”
“Kenapa begitu?”
“Loh lah mereka kan pada tidak bisa bahasa Arab. Intel-intel yang pura-pura Jumatan itu tidak tahu apakah pesan pemerintah dibahas oleh khatib apa tidak.”
“Jemaah kan juga banyaknya tidak bisa bahasa Arab, Kiai.” Termasuk saya.
“Maka itu, kan tidak ada gunanya juga khatib dititipi pesan kan? Pesannya disampaikan dalam bahasa Arab, ya tidak dipahami juga oleh jemaah.”
“Iya Kiai, sama seperti khutbahnya juga tidak dipahami.”
“Tapi jemaah kan paham bahwa khutbahnya pasti mengajak kebaikan.”
“Enggih.”
Sejak saat itu, saya jadi paham betul apa hikmah dari penggunaan bahasa Arab dalam khutbah Jumat di Masjid Jamik Sumenep.
Memang di satu sisi ada kelemahan, yakni jemaah tidak paham sepenuhnya apa yang disampaikan oleh khatib. Tapi toh jamaah paham bahwa khatib pasti mengajak pada kebaikan.
Lagi pula khutbah dalam bahasa Arab yang menggema di seluruh ruangan masjid itu terasa magis, bagai mantra kebaikan yang mengkondisikan hati jemaah untuk merenungi dan memperbaiki diri.
Kalau khutbah diucapkan dalam bahasa Indonesia, memang jemaah bisa lebih paham pada pesan-pesan apa yang disampaikan oleh khatib. Tapi, mimbar Jumat akhirnya jadi rentan pada kontaminasi pesan-pesan politik.
Anda tahu bukan, ujaran-ujaran kebencian selama pilpres kemarin juga beredar di mimbar-mimbar Jumat?
Itulah dilema mimbar: pakai bahasa Indonesia mungkin lebih mudah dipahami, tapi juga lebih rentan terhadap tunggangan politik, seperti yang terjadi hingga hari ini.
Kalau saya kok merasa lebih syahdu dengan jumatan bahasa Arab seperti di Masjid Jamik Sumenep. Ada yang mau ke sana?
Sae, kaintoh…