Akhir-akhir ini, sejumlah ahli Indonesia dari luar negeri mengemukakan kritik tajam terhadap NU. Beberapa waktu lalu, Marcus Mietzner dan kolega Indonesianya Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa NU pada dasarnya intoleran. Lalu kemarin saya mendengar Greg Fealy juga menilai Islam Nusantara a la NU ekslusif, bahkan dibanding Islam Liberal.
Saya kurang paham apakah penilaian Fealy tersebut terkait dengan “pluralisme represif” yang disampaikannya tempo hari ketika mengomentari situasi politik di periode kedua pemerintahan Jokowi atau tidak. Namun intinya, berdasarkan kesan yang saya tangkap, para pengamat tersebut menyesalkan arah pergerakan NU sekarang yang berjalan di luar harapan.
Apa yang dituduhkan oleh para ahli itu tentu saja sah-sah saja. Sejauh mampu didukung oleh argumen dan data yang meyakinkan, secara akademis tidak ada yang salah dengan itu. Para kolega NU saya, meski terlihat agak kesal, menanggapinya secara santai. Meski demikian, kiranya sebuah pandangan pembanding perlu dikemukakan.
Melalui catatan singkat ini, saya ingin menyampaikan bahwa memang telah terjadi suatu, katakanlah, titik balik intelektual di tubuh NU dalam satu dekade terakhir ini. Para kolega saya yang dulu mengusung Islam Liberal, misalnya, belakangan menyadari betapa ringkihnya jargon tersebut. Mereka tidak lantas menjadi anti-liberal seperti kalangan konservatif, tetapi lebih kritis memahami berbagai dimensi dalam liberalisme itu sendiri. Figur yang paling menonjol dalam kancah ini adalah Ulil Abshar-Abdalla. Alih-alih mengkampanyekan liberalisasi pemikiran Islam seperti dilakukannya bersama teman-temannya di Jaringan Islam Liberal (JIL) 20 tahun lalu, sekarang dia lebih intens dengan pengajian online kitab Ihya. Bahkan dia dengan tajam mengkritik ekses negatif ekonomi liberal yang dulu didukungnya, atau setidaknya, diabaikannya.
Terutama dalam satu dan dua tahun terakhir ini, titik balik intelektual di tubuh NU semakin terasa. Penyebabnya, terus terang, adalah politik. Sejumlah elite NU kecewa karena Jokowi seolah-olah meninggalkannya, padahal mereka merasa telah membantu mengantarkan Jokowi ke kekuasaan habis-habisan.
Akan tetapi, politik hanyalah pemantik dari suatu arus yang lebih besar. Kecenderungan liberal yang memengaruhi alam pikir kalangan muda NU sejak era Gus Dur tahun 1980-an mulai mendapatkan tantangan. Selain karena berasal dari bacaan yang lebih luas, tantangan juga datang dari konstelasi global yang berubah cepat. Mengikuti arus yang sama di tempat lain, khususnya setelah krisis ekonomi 2008, sejumlah aktivis NU mulai mengembangkan model kritik ekonomi politik. Ini jelas merupkan perkembangan dibanding model kritik kebudayaan—mengejawantah di antaranya dalam kritik wacana agama—yang dominan sebelumnya.
Oleh karena itu, cara baca fenomena sosial pun sekarang mulai berubah. Misalnya intoleransi. Dulu para pegiat NU diajarkan bahwa intoleransi terjadi karena agresi Wahabi atau Salafi garis keras. Makanya, Islam Nusantara awalnya dipahami hanya sebagai reaksi domestik terhadapa Islam transnasional yang radikal. Sekarang, intoleransi dibaca secara lebih luas. Beberapa sahabat NU yang saya kenal mulai mempertanyakan ketimpangan sosial ekonomi yang teramat lebar sebagai akar intoleransi yang tidak pernah diselesaikan. Sasaran tembaknya tidak lagi hanya Wahabi atau Salafi garis keras, tetapi juga oligarki.
Titik balik intelektual di tubuh NU dari model kritik kebudayaan ke kritik ekonomi politik membutuhkan pijakan epistemologis yang kuat. Oleh karena itu, di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) di mana saya ikut mengajar, beberapa kuliah eksperimental diperkenalkan. Di antaranya adalah Ilmu Politik Islam Nusantara. Dalam kuliah ini, mahasiswa pascasarjana diberi berbagai bacaan agar mampu memahami politik secara lebih kritis, termasuk narasi ilmu politik sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah ahli Indonesia dari luar negeri yang saya sebut di awal. Diharapkan pandangan pembanding terhadap narasi seperti itu bukan sekadar emosi, tetapi sungguh dilandasi dasar keilmuan yang mantap. Bersama kolega yang lain saya juga sedang merancang kegiatan mengenai Islam Nusantara sebagai bagian dari sejarah global. Alih-alih dipahami sebagai reaksi domestik terhadap Islam transnasional yang radikal, Islam Nusantara akan lebih dibingkai sebagai kosmopolitanisme yang berdiaspora ke seluruh dunia melalui jejaring intelektual dan kulturalnya sejak dulu hingga sekarang.
Jadi, silakan saja para pengamat seperti Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, atau Greg Fealy memberikan penilaian, cukup pasti itu akan memperkaya pengetahuan. Namun, seperti yang sudah-sudah, arah perjalanan NU selalu tidak mudah ditebak bahkan oleh pengikutnya sendiri. Terlebih lagi kalau cara menilainya sekadar berbekal kategori-kategori dari luar yang terbatas, maka jangan terlalu berharap pengetahuan yang dihasilkan mampu memberi gambaran yang sesungguhnya.