Sedang Membaca
“Tuhan Jadi Pengangguran” (Mengenang Gie)
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

“Tuhan Jadi Pengangguran” (Mengenang Gie)

16 Desember 1969, jasad Soe Hok-gie terbujur kaku di puncak Semeru. Di gunung tertinggi pulau Jawa itu, ia hendak memperingati hari ulang tahunnya ke-27 pada keesokan harinya.

Kejadian 50 tahun silam itu, masih terus dikenang. Seorang anak bangsa terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu, masih memberikan inspirasi bagi para penerusnya. Aktivis mahasiswa dari masa ke masa, mengenalnya sebagai prototype seorang aktivis yang progresif nan idealis. Setia di garis massa. Menentang rezim dari Soekarno hingga Soeharto.

Dari banyak hal yang bisa dikenang akan sosok Hok-gie, pemikirannya tentang agama menjadi renungan yang kontekstual untuk saat ini. Di mana gerakan keagamaan, semakin mengeras. Mereka berebut benar dan dengan mudahnya mengumbar cap sesat pada liyan. Serta tak sedikit yang mengalpakan tugas kemanusiaan dan lebih sibuk dengan remeh temeh politik.

Hok-gie dikenal sebagai sejarawan sekaligus aktivis politik yang tak berpartai. Ia tak terikat dengan aktivitas organisasi pergerakan apapun. Apalagi pergerakan yang berbasis agama. Namun, bukan berarti ia sosok yang tak religius.

Ia, menurut Daniel Dhakidae dalam pengantar Catatan Seorang Demonstran, melampui definisi religiusitas konvensional. “Soe Hok-gie merumuskan keagamaan dan rasa keagamaan atas peri yang juga tidak kurang esoterisnya [dibandingkan gagasan keagamaan yang diusung Ahmad Wahib yang hidup sezaman],” tulisnya.

Baca juga:  Tawaran Gus Fayyadl untuk PBNU dalam Halaqah Fikih Peradaban

Soe Hok-gie lahir di kalangan keluarga Katolik. Soe Lie Piet, ayahnya, adalah seorang penulis yang memiliki minat besar pada kajian filsafat dan agama. Salah satu karyanya berjudul Dimana Adanya Allah? Tumbuh di keluarga yang demikianlah, menjadikannya sosok yang kritis dalam beragama sejak belia.

Kekritisan dalam beragama tersebut, tanpak nyata pada sebuah catatannya yang berjudul Agama dalam Tantangan. Hok-gie membedakan antara agama itu sendiri dengan organisasi keagamaan. Menurutnya, agama adalah pembebasan bagi umat manusia dari beragam belenggu ketakadilan. Namun, dengan adanya organisasi keagamaan, nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi spirit agama kerap kali terabaikan.

Ia mencontohkan bagaimana agama Kristen, agama yang dianutnya. Awalnya adalah agama pembebasan yang memandang manusia sama. Tak ada kaya miskin, tak ada penguasa atau budak. Keagungan nilai agama yang demikian, membuat agama tersebar luas hingga ke seluruh dunia. Tak hanya dianut para budak, namun juga jadi agama para penguasa.

Di saat seperti itulah, organisasi keagamaan (gereja) menjadi krisis utama. Di satu pihak, ia adalah pelopor keadilan, tetapi dipihak lain ia jadi alat penguasa. Gereja menjadi tuan tanah, hakim kejam yang membakar orang (inquistusi) dan tafsir-tafsir teologis guna mendukung penguasa.

Lebih dari itu, agama tak ubahnya “konsulat Tuhan di muka bumi” yang hanya sibuk memberikan “visa surga” bagi umat manusia. Disiplin rohaniah ditegakkan dengan kokoh, seraya abai dengan segala ketimpangan dan ketakadilan yang menimpa sebagian besar umatnya.

Baca juga:  Menyambangi Makam Sosrokarto, Mengingat Arya Papak

Dengan kritisnya, Hok-gie mengajukan pertanyaan: Jika Tuhan memang maha pengasih dan maha adil, mengapa di dunia ini begitu banyak kesengsaraan? Apakah bukan kita yang salah menafsirkan firman-firman Tuhan?

Pertanyaan dan segenap kegundahan Hok-gie pada “organisasi keagamaan” tersebut, tak banyak berubah. Setengah abad dari kegundahan itu dinarasikannya, gejala tersebut tetap berkecambah. Lebih lebat. Tak hanya di satu agama, tapi di berbagai agama.

Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, misalnya, tak banyak beranjak dari apa yang digundahkan oleh Hok-gie sekian tahun silam. Formalisasi keagamaan terus didengungkan. Simbolisasi agama jadi yang utama. Subtansi tak jarang diabaikan. Jutaan orang berkumpul atas sesuatu yang katanya melecehkan agama, namun mereka diam tatkala agama benar-benar dinistakan.

Apa penistaan agama yang sesungguhnya tersebut? Ya, maraknya kasus korupsi yang tak segan menggunakan simbol-simbol agama, menggunakan doktrin jihad untuk membasmi yang liyan, prilaku orang yang mengaku paling beragama tapi suka memfitnah, menebar berita bohong dan lain sebagainya.

Umat beragama sibuk menjadi Tuhan. Merebut semua previlage Tuhan untuk menentukan surga atau neraka bagi umatnya. Kebenaran adalah tafsir kelompoknya, sementara tafsir yang lain adalah kesesatan. Tak ada ampun untuk yang sesat. Bahkan, halal darahnya untuk ditumpahkan.

Baca juga:  Kisah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Tenggara dan Tanda Silang

Di saat seperti inilah, kutipan anonim yang ditemui Hok-gie saat berkunjung ke Amerika Serikat pada 1968, patut untuk direnungkan kembali. God is not dead but unemployed. Tuhan tidak mati, tapi cuma jadi pengangguran! (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top