Di masa pandemi, saat seluruh aktivitas menjadi sangat terbatas, maka membaca buku adalah cara terbaik untuk mengisi waktu sekaligus memastikan asupan gizi intelektualitas kita terus terjaga. Apalagi, tanggal 17 Mei 2020 bertepatan dengan Hari Buku Nasional.
Cara memilih buku tidak bisa dilakukan secara sembarangan terkhusus untuk generasi muda di era digital sekarang ini. Survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017 menunjukkan bahwa 54,87 persen generasi muda Indonesia lebih memilih blog dan media sosial untuk mempelajari agama dibandingkan belajar melalui jenjang pendidikan madrasah maupun pesantren. Akibatnya, 58,5 persen diantaranya memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal.
Kiai Hasan Maolani, seorang ulama terkemuka dari Kuningan, Jawa Barat, menyampaikan beberapa pandangannya tentang bagaimana cara memilih buku (kitab) yang benar. Pandangannya ini terekam dalam surat-surat yang dikirimnya dari Kampung Jawa Tondano di Sulawesi Utara ketika menjalani hukuman pengasingan kolonial di abad ke-19. Beliau tinggal satu kamp dengan Kiai Modjo dan pasukan eks Perang Jawa (1825-1830).
Dalam memilih buku, Kiai Hasan Maolani menekankan pada kejelian kita dalam memperhatikan kualitas pengarangnya (muṣannif). Setidaknya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan ketika kita memilih sebuah buku. Tiga hal tersebut adalah sanad keilmuan, tingkat kesalehan dan intelektualitas, serta perkembangan pemikiran pengarangnya.
Pertama, sanad keilmuan
Dalam tradisi intelektual Islam, mengetahui silsilah (sanad) keilmuan guru atau pengarang sebuah buku adalah unsur penting karena menentukan cara pandang, metodologi (qa’idah), dan kelayakan dari seseorang dalam menyampaikan sebuah ilmu. Kiai Hasan Maolani merinci cara mengetahui silsilah intelektualitas seseorang adalah dengan cara mengetahui riwayat kehidupannya (pelungguhané), sosok panutannya (imamé), dan perilakunya (lakuné).
Kedua, tingkat kesalehan dan intelektualitas
Dalam konteks spiritual, mengetahui derajat kesalehan pengarang adalah hal penting yang harus dipertimbangkan ketika membaca buku. Derajat kesalehan yang dimaksud adalah tingkatan spiritualitasnya meliputi syariat, tarikat, hakikat, maupun makrifatnya. Selain itu, Kiai Hasan Maolani menggunakan istilah mu’tamad dan dla’if yang berarti mengetahui kekurangan dan kelebihan dari guru atau pengarang dari buku yang kita baca sehingga kita bisa menilai seberapa jauh tingkat intelektualitasnya.
Ketiga, perkembangan keilmuan
Kiai Hasan Maolani menggunakan istilah nasikh dan mansukh untuk menyebutkan perkembangan keilmuan. Dalam kajian keislaman, nasikh berarti dalil yang datang lebih belakangan yang berfungsi untuk memodifikasi hukum dari dalil yang turun sebelumnya (mansukh). Oleh karenanya, seorang ilmuwan harus menyajikan informasi yang aktual serta kontekstual sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.