Beberapa ritual atau perilaku keagamaan yang sering dilakukan masyarakat Banjar adalah ziarah, termasuk di dalamnya Haji. Ziarah ke kubur Wali atau Ulama dan berangkat Haji sudah menjadi kebiasaan atau kultur yang tak terpisahkan lagi di masyarakat Banjar.
Secara statistik pendaftaran Haji yang tercatat di BPS dalam sepuluh tahun terakhir, selalu terdapat peningkatan di semua kelompok umur. Hasrat masyarakat Banjar terhadap perjalanan (baca: naik) Haji bisa dibilang sangat tinggi, bahkan bisa dibilang ini sudah menggejala sejak lama.
Adapun menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama terkait perkiraan keberangkatan dari calon jemaah haji Banjar sudah mencapai hampir 25 tahun. Fakta inilah yang menempatkan Kalimantan Selatan sebagai daerah dengan jumlah antrian keberangkatan Haji terlama dari seluruh daerah di Indonesia. “Jika kita sekarang berumur 2 atau 3 tahun dan mendapatkan porsi pendaftaran Haji sekarang, maka kita berangkat sudah selesai kuliah” sebut salah seorang calon jemaah haji asal Banjarmasin.
Antusiasme masyarakat Banjar yang begitu tinggi terhadap ritual Haji, disambut baik oleh pasar. Berbagai promosi Umrah hingga Haji yang memakai aneka visa terus ditawarkan oleh Travel-travel perjalanan wisata. Bahkan ada beberapa orang teman saya yang bercerita merancang berangkat Haji dengan model Backpacker.
Kondisi ini membuka lebar potensi calon jemaah haji terjebak pada bujukan agen travel yang nakal, dan benar saja kejadian penipuan keberangkatan bodong, terutama Umrah, terjadi sudah berkali-kali. Namun, kejadian demi kejadian yang memilukan ini tidak menyurutkan keinginan masyarakat Banjar untuk mengunjungi tanah suci.
Dalam beberapa obrolan dengan orang yang pernah berangkat ke tanah suci, saya mendapati fakta bahwa selain dipandang sebagai ritual pamungkas dalam Islam, Haji dalam pandangan masyarakat Banjar bagai titik awal untuk kembali kepada ajaran Islam setelah lelah menjalani pekerjaan dan rutinitas selama ini. Haji menjadi titimangsa mereset kehidupan yang selama ini dipandang mereka telah banyak bergelimang dosa di dalamnya.
Poin tersebut merupakan suara-suara mereka berasal dari kalangan kelas bawah, di mana mereka hanya merasakan berbagai kesulitan dalam mengumpulkan dana untuk berangkat ke tanah suci, bahkan kadang harus merelakan kehilangan berbagai harta benda sampai tidak sedikit harus merelakan rumah yang ditempati dijual untuk modal keberangkatan.
Berangkat ke tanah suci bagi sebagian masyarakat Banjar walau harus merelekan menjual berbagai harta benda, juga disertai keyakinan yang cukup familiar di masyarakat Banjar bahwa seluruh harta yang dikeluarkan akan mendapatkan ganti yang setimpal. Dogma seperti ini sangat sering disuarakan oleh beberapa kiai dan ulama sembari menyampai ceramah atau manasik haji, juga sering ditegaskan dengan kesaksian beberapa jemaah yang pernah mengalaminya.
Bahkan ada kiai yang menegaskan bahwa uang yang sudah dibawa ke tanah suci, maka harus dihabiskan di sana karena telah menjadi rezeki masyarakat di dua tanah suci tersebut. “ada uang sekitar 20 Real Saudi yang tersisa di kantong kami pas tawaf Wada’, akhirnya kami putuskan untuk memberikan pada jemaah yang lain pas berpapasan saat pulang dari Masjid al-Haram,” ucap seorang jemaah haji.
Tak pelak, efeknya terhadap gairah belanja oleh-oleh di kalangan jemaah haji asal Banjarmasin cukup tinggi, selain alasan yang disebutkan di atas juga ada anjuran yang berbunyi bahwa belanja barang di sana memiliki keberkahan tanah suci yang bisa dibawa hingga ke tanah air. Bicara soal oleh-oleh, jemaah haji Banjar biasanya juga akrab dengan beberapa buah tangan yang akrab dengan rempah-rempah.
Tidak saja rempah seperti Kapulaga yang sering dibawa untuk oleh-oleh, namun beberapa oleh-oleh berupa buah atau jamu yang akrab dengan narasi seksualitas. Ada Hajar Jahanam buat laki-laki atau Rumput Fatimah dan Misk Thaharah untuk perempuan. Tidak saja berbentuk jamu atau buah, ada juga buah hitam yang disebut oleh masyarakat Banjar dengan “Buah Senang” yang dipercaya bisa memperbesar peluang memiliki keturunan bagi pasangan suami-istri.
Kepercayaan “Tuah” terhadap benda berasal dari tanah suci juga disematkan pada “Kelambu Ka’bah” yang cukup mudah ditemukan, bahkan beberapa mendapatkan tawaran dari orang Banjar yang sudah bermukim lama di Arab Saudi. Kain tersebut dipercaya masyarakat Banjar bisa mendatangkan “keberkahan” rezeki dan kemudahan dalam urusan. Kepercayaan tersebut aset yang bisa dijual mahal di kalangan masyarakat Banjar.
Namun seiring perkembangan media digital, Haji juga memiliki artikulasi khas di ranah dunia teknologi media. Tidak saja digunakan untuk merekam perjalanan nan suci tersebut lewat video dan foto yang diunggah ke laman Facebook ataupun Instagram, layanan jejaring sosial juga menjadi wadah mencari informasi yang terkait keberangkatan atau perjalanan Haji.
Manasik haji yang difasilitasi oleh pemerintah lewat kementerian Agama biasanya dirasa masih kurang oleh kebanyakan masyarakat Banjar, untuk itu kehadiran media sosial seperti Youtube seakan “jalan pintas” bagi sebagian orang Banjar mencari aneka informasi terkait Haji. “Kami tidak mengerti medan di masjidil Haram maka kami mencoba mengenali lanskap masjid tersebut lewat Youtube” aku seorang jemaah haji asal Kalsel.
“Kami menemukan cara untuk mencium Hajar Aswad dari vlog seseorang di Youtube,” ucap jemaah yang lain.
Informasi di luar ritual Haji seringkali didapatkan dari cerita yang beredar luas di media sosial. Bagi masyarakat Banjar Haji tak sekedar ritual yang sudah diatur dalam manasik, namun ada banyak hal yang di luar juga dianggap penting, seperti mencium Hajar Aswad, mencari beberapa rempah yang disebutkan di atas atau ritual “kamar asmara” yang juga populer di kalangan Haji orang Banjar.
Obsesi “mencium Hajar Aswad” bagi orang Banjar adalah satu dari sebagian ritual yang menjadi cerita yang akan dibawa ke tanah air. Selain itu, ada mencari tiang “Jin”, “mengambil air Zam-zam dari asalnya” atau “Air Ja’ranah” adalah sekian kisah (baca: oleh-oleh) yang selalu diinginkan oleh kebanyakan masyarakat Banjar. Mereka rela membayar untuk mendapatkan hal-hal tersebut pada mereka yang bisa menyediakannya.
Di titik inilah konsep Bubuhan dalam masyarakat Banjar muncul. Bagaimana tidak, kehadiran keluarga atau masyarakat Banjar yang telah lama di sana terasa penting sekali untuk “membantu” para jemaah Haji asal Kalsel. Mereka biasanya menyediakan berbagai keperluan dari oleh-oleh hingga aneka jasa yang dianggap “memudahkan” pelaksanaan Haji mereka, seperti penyediaan jasa dorong kursi roda, tim pengaman “mencium Hajar Aswad” hingga layanan penyembelihan Kurban atau Umrah. Kondisi ini kemudian berkorelasi dengan narasi “uang yang dibawa harus dihabiskan di sana” yang banyak beredar di kalangan jemaah haji asal Kalsel.