Avatar
Penulis Kolom

Peneliti program historical memory Indonesia.

Riwayat Pembredelan Kompas

Ft 43dtuuaefh7s

“Kita perlu mengukur risiko, sebab ketika pejuang itu mati, ia hanya akan dikenang, tak bisa diajak untuk terus berjuang. Perjuangan masih cukup panjang, dan media massa adalah sarana penting untuk menegakkan perjuangan ini.” (Jacob Oetama, 1931-2020)

Saya masih terkenang cerita wartawan Kompas, Jimmy S Haryanto, ketika pada suatu hari (1978) suara-suara mesin ketik di kantor Redaksi Kompas tiba-tiba berhenti seketika. Bagaikan adegan-adegan menarik dalam film peraih Oscar, Spotlight (2016) teriakan lantang itu kontan membuat para wartawan terhenyak: “Cukup, cukup! Mulai besok koran Kompas dilarang terbit!”

Konon, pelarangan itu langsung datang dari Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Disambut oleh Sudharmono selaku menteri penerangan kala itu, bahwa tindakan pemerintah melarang terbitnya harian Kompas (dan beberapa harian lain) merupakan peringatan keras dalam bentuk prevensi terhadap koran-koran tersebut.

Setelah menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Sudharmono tampil di layar televisi dengan senyumnya yang dingin, “Tindakan ini dilakukan karena pemerintah menilai pemberitaan surat kabar-surat kabar dapat memperuncing keadaan. Kalau itu terus berlangsung, dapat mengganggu stabilitas nasional kita.”

Tak lama kemudian, muncul lagi tambahan yang ditegaskan Sudharmono sebagai shock terapy bagi para wartawan, “Ini merupakan kartu kuning untuk tidak sampai dicabut surat izin terbit-nya. Dan saya belum mencabut SIT-nya,” lanjut sang menteri.

Jimmy Haryanto selaku wartawan muda Kompas, mengakui situasi yang teramat genting kala itu. Untuk bisa terbit dan diakui oleh pemerintah Orde Baru, sebuah surat kabar hanya mungkin terbit dengan menyandang dua surat izin sekaligus, yakni surat izin cetak (SIC) dan surat izin terbit (SIT). Kalau sampai SIT dicabut, setelah ditandatangani oleh Pangkopkamtib dan disahkan oleh Departemen Penerangan, maka tamatlah riwayat Kompas sejak dekade awal sekuasa-kuasanya Orde Baru.

Koran pergerakan

Laksamana Sudomo yang diangkat Soeharto selaku Pangkopkamtib bukanlah seorang orator yang temperamental. Ia cenderung berkepribadian tenang dan kalem. Namun, begitu kantor redaksi menerima telepon darinya, suara tak-tik-tok mesin ketik di meja-meja redaksi, seketika berhenti, dan tiba-tiba menjadi sunyi senyap. Suasana berubah menjadi tegang. Selain dari pihak Kopkamtib, dering telepon juga bisa datang dari pihak lain yang ada hubungannya dengan elit militer Orde Baru, seperti Kapuspen ABRI, kantor departemen penerangan, hingga penguasa militer tingkat lokal yang membangun pos kewenangannya sendiri-sendiri.

Baca juga:  Tempat Bersejarah di Tanah Suci dan Arab Saudi (3): Maqôm Ibrahim

Ketika harian Kompas menampilkan aksi demonstrasi mahasiswa di halaman muka (20/01/1978) kontan para petinggi ABRI kebakaran jenggot. Pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa itu diberi judul: “Suara Berbagai Kelompok Mahasiswa”. Tim redaksi dan wartawan Kompas, lantaran merasa jengah dengan berbagai intervensi kepentingan politik, dan merasa kurang leluasa mengekspresikan kebebasan dan hati nuraninya, maka rangkuman demonstrasi yang ada di wilayah Jakarta, Bandung, Semarang, hingga Surabaya, ditampilkan secara serentak oleh para penulis dari wartawan yang namanya diinisialkan secara genuine oleh pihak Kompas.

Sejak akhir tahun 1977, harian Kompas juga menampilkan aksi-aksi mahasiswa Trisakti yang sudah lebih dini menyampaikan tuntutannya pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), agar mereka merealisasikan Ikrar Mahasiswa, serta menolak sistem pencalonan tunggal Presiden Soeharto. Selain itu, mereka juga menolak pencalonan presiden melalui fraksi, serta tidak menginginkan terpilihnya kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden RI.

Di sisi lain, para mahasiswa dengan lantang menyuarakan pentingnya kerjasama untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, antara rakyat dan tentara (ABRI), sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Tak ayal, Kompas juga menampilkan acara dialog ratusan mahasiswa, serta orasi Ketua Dewan Mahasiswa (DM) Universitas Indonesia, Lukmanul Hakim yang melontarkan slogan 4K, bahwa sistem militerisme Orde Baru telah menjangkiti pikiran dan perasaan masyarakat pada Ketakutan, Kebodohan, Kemiskinan dan Korupsi. Nyaris tak berbeda dengan tuntutan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada peristiwa Mei 1998 lalu.

Kompas juga menyoroti aksi mahasiswa di Surabaya, yang serentak menyatakan dukungannya terhadap pernyataan sikap mahasiswa ITB (Bandung) yang dipimpin Heri Akhmadi (Ketua DM ITB). Ia telah berkorban dengan biaya sendiri, mengerahkan kawan-kawan seperjuangan untuk membagi-bagikan ”Buku Putih” kepada para pejabat dan masyarakat. Buku putih itu berisikan tentang berbagai gugatan atas ketidakadilan oleh penguasa Orde Baru, yang merupakan mata rantai tak terpisahkan dari tindak kesewenangan mereka sejak “kudeta merangkak” yang dilakukannya atas kepemimpinan Presiden Soekarno.

Budaya telepon Orde Baru

Kriiing… kriiiing… kriiing…!

Siangnya rakyat Indonesia membaca surat kabar, malamnya telepon berdering-dering di kantor redaksi Kompas. Peneleponnya tiada lain dari Kepala Penerangan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) Jaya, berdasarkan perintah dari Pangkopkamtib: “Mulai saat ini, koran Kompas dilarang untuk terbit!”

Pada tanggal 21 Januari 1978 pagi, semua wartawan berkumpul di kantor redaksi. Tetapi, meja-meja kerja, tempat mesin tik bergeletakan di sana sini, berubah menjadi ”meja permainan”. Ada yang main gaplek, remi, catur, karambol, bahkan pingpong di atas meja kerja.

Baca juga:  Teladan Toleransi Sahabat Nabi

Sehari dua hari, suasana kantor masih berjalan ceria. Setelah lewat seminggu, wajah ceria itu pun mulai memudar. Para wartawan belum juga menerima kepastian kapan harian Kompas bakal terbit kembali. Puluhan koresponden di daerah mulai mengungkapkan kekhawatirannya tentang nasib keluarga mereka jika Kompas ditutup untuk selama-lamanya.

Bagaimanapun, pembredelan oleh Orde Baru terasa sangat menyakitkan, karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Para wartawan memahami bahwa keberlangsungan Kompas sangat ditentukan oleh peran dua pendirinya, yakni PK Ojong (1921-1980) selaku Pemimpin Umum dan Jakob Oetama selaku Pemimpin Redaksi. Pembicaraan serius keduanya berlangsung pada malam tanggal 4 Februari hingga pagi dini hari (5 Februari 1978).

Adapun syarat utama yang diajukan Presiden Soeharto selaku penguasa Orde Baru adalah sebagai berikut: 1) Jika Kompas ingin terbit kembali, maka tak boleh memuat tulisan yang menyinggung pihak pemerintah. 2) Pihak Kompas harus menandatangani perjanjian tertulis serta permintaan maaf. 3) Tidak boleh mengungkit-ungkit perihal asal-usul kekayaan Cendana dan keluarga Presiden Soeharto. 4) Tidak akan mempersoalkan Dwifungsi ABRI. 5) Tidak boleh menulis tentang SARA, serta memperuncing konflik.

“Jacob, tak perlu minta maaf!” teriak PK Ojong, “kalaupun kita mati ditembak hari ini ataupun nanti, apa bedanya?”

Jurnalis berdarah Tionghoa ini sepertinya tak kenal kompromi. Sepanjang tahun itu, ia merasa jengkel dan jengah melihat ulah rezim Orde Baru, seakan-akan telah kehilangan kesabarannya. Terlebih, saat hari ulang tahun Pers Nasional ke-32 (9 Februari 1978), ketika Presiden Soeharto menyalami Pemred Kompas yang turut menghadiri acara tersebut. Dengan gestur dan senyumnya yang khas, Soeharto membisikkan sesuatu ke telinga Jacob Oetama, “Ojo meneh-meneh!”

Penegasan yang senyap dan dingin itu, mengingatkan saya ketika serombongan orang menyerbu kediaman Pramoedya Ananta Toer di akhir tahun 1965, dan hendak membakar rumah miliknya. Pramoedya menyampaikan kesaksian ini kepada Hafis Azhari, penulis buku Pikiran Orang Indonesia dan Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno (Hasta Mitra, Jakarta 2001), saat seorang elit militer membisikkan sesuatu ke telinga Pram, “Anda mau diamankan atau tidak?”

Bisik-bisik yang halus dan lembut gaya penguasa Orba, dapat dipahami oleh Jacob Oetama sebagai jurnalis berdarah Jawa, namun belum tentu bisa dimengerti oleh seorang PK Ojong di usianya yang masih muda kala itu. Y.B. Mangunwijaya kerap menilainya sebagai gaya penguasa Jawa dan Asia yang adem-tentrem, toto-kromo, namun mengandung dendam Durga Umayi laiknya kecantikan pedang Samurai Jepang yang dapat memenggal leher para wartawan Indonesia.

Baca juga:  Masuknya Islam di Nusantara versi Habib Salim bin Jindan

Jacob Oetama memaknai dua kata “ojo meneh-meneh” sebagai kata-kata bersayap dari sang penguasa tiran, yang mengandung arti: “Kalau coba-coba sekali lagi, akan saya habisi kalian!”

Spiritualitas Kompas

Pada titik inilah Jacob Oetama semakin mengambil jarak dari sikap temperamental Ojong. “Jong, menurut saya, kalau pejuang itu mati, ia hanya akan berhenti dan dikenang, tak bisa diajak untuk terus berjuang. Tapi, perjuangan kita masih cukup panjang, dan media massa adalah sarana penting untuk menegakkan perjuangan ini.”

Mengenai perbedaan prinsip ini, Jacob pernah menulis di Tajuk Rencana Kompas (6 Februari 1978), bahwa manusia memang bisa berpikir dan berjuang tanpa memerlukan roti. Namun di sisi lain, dapat juga dikatakan sebagai kebenaran bahwa manusia memerlukan hidup untuk bisa berfilsafat.

Prinsip hidup yang dipegang-teguh Jacob Oetama mengingatkan kita pada pernyataan mendiang Buya Syafii Maarif, ketika KPK disudutkan dan diserang oleh berbagai pihak lantaran kepentingan tertentu. “Kita semua bertanggungjawab untuk meluruskan dan memperbaiki KPK, tetapi kita harus paham bersama, bahwa KPK juga bukan orang-orang suci.”

Hingga akhir hayatnya (9 September 2020), Jakob Oetama masih tetap dalam pendiriannya, yang merupakan inti dari religiositas dan spiritualitas Kompas itu sendiri. “Bagaimanapun, Kompas harus menjadi media yang legawa untuk menerima sumber-sumber kebaikan dari pihak manapun,” demikian tegas Jacob.

Dalam terminologi filsafat, Jacob seakan menyampaikan pesan sentral, khususnya untuk kalangan jurnalis dan wartawan Indonesia, bahwa adakalanya kita mengungkap kebenaran dan keindahan secara jujur dan apa adanya. Tetapi, kita jangan sampai melupakan kebaikan (etika) yang harus menjadi sandaran utama, bila kita hendak menjaga dan melestarikan pluralitas dan kebhinekaan dengan sebaik-baiknya.

Prinsip dan cara Jakob Oetama dalam menghadapi setiap masalah memang tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa, yang cenderung berkemauan keras, pantang menyerah untuk meraih cita-cita, namun juga luwes dan sabar dalam mencapainya. ***

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top