Kiai Sahal telah tujuh tahun wafat, meninggalkan warisan pengetahuan yang melimpah. Kitab-kitab karya Kiai Sahal terus tercetak dan tersebar luas di kampus-kampus internasional. Semesta gagasan Kiai Sahal juga terus dikaji hingga kini, ratusan paper/makalah bermunculan.
Saya ingat betul, pada momentum Kiai Sahal kapundut pada Januari 2014 lalu, Pati sedang dikepung banjir besar. Saya bersama istri yang berniat ziarah ke Kajen, datang dari Bandung dan kemudian berputar melalui Purwodadi, Blora hingga Rembang untuk kemudian bisa masuk ke Kajen menerabas kawasan Juwana. Tentu banyak sekali peziarah yang kemudian mandeg di tengah jalan, urung menembus Kajen. Waktu itu, istri saya sedang hamil besar dan di puncak tugas penyelesaian tesis master di Institute Teknologi Bandung (ITB). Tapi, alhamdulillah, kecintaan kami kepada Kiai Sahal, memungkinkan kami menembus jalan-jalan macet sepanjang Pantura dan menyibak genangan air yang mengepung kawasan Pati dan sekitarnya.
Kiai Sahal memang telah meninggalkan kita semua lebih dari 80 purnama. Meski demikian, nilai-nilai perjuangan Kiai Sahal dan petuah-petuah keilmuan beliau terus terasa, baik dalam konteks santri-santri Kajen dan sekitarnya maupun di kalangan para kader NU. Kiai Sahal tetap hadir: dalam perjuangan pendidikan pesantren, kaderisasi santri, pergerakan Nahdlatul Ulama, ekonomi Syariah, pengembangan perguruan tinggi, hingga politik kebangsaan. Kita menemukan gagasan-gagasan Kiai Sahal yang masih relevan, dan tak habis kita resapi hingga kini.
Saya merasa beruntung terlibat dalam masa awal pembentukan Fiqih Sosial Institute, yang saat ini bertransformasi menjadi Pusat FISI. Ini lembaga yang sejak awal diniatkan untuk terus mengkaji khazanah pemikiran Kiai Sahal. Gus Abdul Gaffar Rozien, pada waktu itu menyampaikan tentang pentingnya keilmuan Fiqih Sosial yang dikembangkan Kiai Sahal, sebagai fondasi pengembangan pesantren dan perguruan tinggi. Fiqih Sosial sebagai karakter dasar, dan Pusat FISI menjadi ‘think-thank’ yang menggerakkan transformasi pengetahuan.
Bersama Bu Nyai Umdah el-Baroroh, Neng Tutik N Jannah, Pak Kiai Dimyati, Kang Kiai Jamal Ma’mur Asmani dan Mas Ali Romdhoni, kami mengadakan diskusi berseri dan rapat-rapat kecil untuk membangun fondasi. Saya yang santri pupuk bawang, merasa bahagia bisa belajar bersama para pejuang ini. Dan selanjutnya publikasi-publikasi bermunculan tiap tahun sebagai produksi gagasan. al-istiqomah khairun min alfi karamah, istiqomah ini lebih baik daripada seribu karamah, bahwa kedisiplinan dan kesetiaan pada proses tidak akan pernah mengecewakan. Saya beruntung mendapat amanah menjadi editor buku pertama karya peneliti-peneliti Fiqh Sosial Institute.
Dari pondasi fiqh dan usul fiqh, saya kira gagasan Kiai Sahal sudah sangat solid dan diinterpretasikan secara sangat baik. Ke depan, ini yang saya dambakan, bagaimana Fiqih Sosial juga menginspirasi gagasan Ekonomi Syariah dan Politik Kebangsaan. Tidak hanya menginspirasi, tapi juga menjadi metodologi dan madzhab pengetahuan. Apakah bisa? Bisa dong, fondasi gagasan-nya sudah ada. Yang dibutuhkan adalah barisan scholars yang mengkaji dan merumuskan sebagai perangkat. Ibaratnya, Pusat FISI harus siap ‘bertarung dengan dirinya sendiri’.
Fikih Kebangsaan
Di antara warisan pemikiran Kiai Sahal yang perlu dikaji lebih lanjut yakni ‘fikih kebangsaan’. Ini merupakan gagasan penting Kiai Sahal yang disampaikan beliau lima bulan menjelang wafatnya.
Pada September 2013, ketika menyampaikan pidato pembukaan Rapat Pleno PBNU di Wonosobo, Kiai Sahal Mahfudh menyerukan tentang pentingnya kader-kader NU menjalankan politik tingkat tinggi seraya menghindari politik kelas rendah.
“Politik tingkat tinggi di sini adalah politik kenegaraan, politik kerakyatan dan politik etika,” demikian Kiai Sahal menyampaikan tegas. “NU melakukan penyadaran hak-hak rakyat, melindungi mereka dari kesewenang-wenangan pihak manapun.” Lebih lanjut, Kiai Sahal mengingatkan bahwa NU secara organisasi harus steril dari politik praktis. “Dengan target untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi jalinan persaudaraan di lingkungan NU akan terpelihara, sebaliknya manakala NU secara kelembagaan terseret politik praktis maka akan tercabik-cabik karenanya”.
Kiai Sahal menegaskan bahwa dalam berpolitik, Nahdlatul Ulama haruslah berstrategi politik tingkat tinggi, siyasah ‘aliyah samiyah. Politik kerakyatan dan kebangsaan yang kemudian dibarengi dengan etika untuk menghasilkan keteladanan sekaligus kesejahteraan publik, mashlahah ‘ammah.
Kiai Sahal mempraktikkan politik kebangsaan dalam sikap dan gerakan di Nahdlatul Ulama, MUI dan juga interaksi beliau dengan politisi dan pejabat pemerintah. Kiai Sahal menahkodai NU dan MUI dengan wibawa penuh, kharisma yang memancar, sekaligus tata kelola yang solid. Kiai Sahal juga mendidik kader-kader agar selanjutnya menjadi pemimpin yang siap, kader-kader yang shalih dan akram.
Tentu saja di sepanjang interaksi Kiai Sahal dengan politik kenegaraan ada polemik, ada ketegangan. Namun, polemik itu dapat terselesaikan dengan ‘lembut dan rapi’, khas Kiai Sahal. Kiai Sahal ‘membereskan polemik’ itu dalam diam, dalam keheningan. Tapi apakah Kiai Sahal diam saja? Tentu tidak. Saya yakin Kiai Sahal bergerak dan melakukan hal-hal taktis untuk menyelesaikan masalah. Tapi, itu dibungkus dengan stategi hening yang tanpa riak dan kehebohan. Kiai Sahal ‘bekerja dalam diam’. Saya renungkan, ini merupakan cara master, betul-betul Begawan.
Cara Kiai Sahal dalam berpolitik dan membereskan polemik, menjadi cermin bagi kita semua, bukan?