Awal tahun 2020, publik dunia dihebohkan cuaca di kawasan Barat Laut Arab Saudi, yang biasanya berupa gurun pasir nan tandus, tiba-tiba memutih diselimuti salju. Fenomena alam itu bahkan disebut-sebut sebagai ‘tanda kiamat’, hingga membuat warga Arab berduyun-duyun mendirikan tenda wisata di sana. Lokasi itu bernama Tabuk. Pesona alamnya menjadi salah satu ikon destinasi wisata dengan julukan The Natural Jewel of Saudi Arabia. Tabuk dikenal memiliki dua kutub cuaca ekstrem, dengan rekor terdingin -7 °C dan rekor terpanas mencapai 45°C.
Kawasan ini terdiri dari tumpukan pegunungan berbatu cadas, ngarai dengan tebing yang curam, dan lembah gurun pasir serta aliran sungai yang segar; menjadikannya sebagai daerah dengan panorama alam eksotisyang memukau. Tabuk bukan sekadar kota wisata alam biasa, tetapi juga tanah bertuah yang sarat sejarah. Tabuk memiliki sisi historis panjang kebelakang, hingga ia tercatat sebagai kota yang memiliki peran vital bagi peradaban Islam.
Para sejarawan, di antaranya Muhallawi, mencatat Tabuk adalah salah satu kota tertua di kawasan teluk Arab. Kata ‘Tabuk’ berasal dari ejaan Semitik Taabuu atau bahasa Latin Thabuu yang berarti kawasan terpencil, merujuk pada lokasinya yang dikelilingi pegunungan. Atau karena letak geografis Tabuk itu terpencil dari arah selatan semenanjung Jazirah Arab dan dari arah utara berbatasan dengan Syam. Sedangkan versi lainnya, Husein Haikal, menyebutkan berasal dari peribahasa Arab kuno Baqat an-Naqah yang bermakna unta itu menjadi gemuk.
Serapan kata al-Bauk ditambahkan Ta Ta’nis, menjadi susunan Tabuk yang berarti menancapkan tombak ke dalam tanah dan melubanginya untuk mengeluarkan mata air di dalamnya. Penamaan ini karena di kawasan Tabuk terdapat sumber mata air kuno bernama ‘Ain as-Sukari. Konon ia ditemukan mengalir sejak 2000 SM dan menjadi sumber mata air terpenting—satu-satunya—bagi bangsa Arab pada masa Jahiliyyah di wilayah utara.
Tabuk menjadi salah satu kota yang diabadikan dalam Al-Qur’an dengan sebutan Ashab al-Aikah yakni suku yang membangkang pada ajaran Nabi Syu’aib (QS.Shad [38]: 13; As-Syuara [42]: 176; Qaf [50]: 14). Ashab al-Aikah ini pernah tinggal dan membangun sebuah benteng megah di kawasan Tabuk sekitar tahun 1500 SM, sebelum akhirnya porak poranda dan menjadi kota mati. Benteng tersebut beberapa kali dipugar pada masa pemerintahan Turki Ustmani di tahun 1062 M. Dan kemegahan benteng Tabuk masih ada sampai sekarang dan dikenal sebagai Manzil Ashab al-Aikah. Tabuk kembali dihuni dan dibangun sejak 500 SM. Pada saat itulah kota Tabuk dan kota al-‘Alaa didapuk sebagai ibukota dari bagi bangsa al-‘Iyaniyyin. Di mana terdapat kebun kurma subur yang diwarisi oleh Bani Sa’ad dari keturunan A’zrah dari Qudha’ah al-Qahthaniyah.
Perang Tabuk & Mukjizat Nabi
Dalam beberapa riwayat hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad mengikuti peperangan (ghazwah) sebanyak 17 kali, ada juga versi menyatakan 19 kali (HR. Muttafaq Alaih). Tabuk menjadi lokasi perang terakhir yang diikuti Rasulullah. Ia menjadi medan ekpedisi terpanjang bagi Rasulullah di masa senjanya. Sekaligus meninggalkan bukti sejarah bagaimana Rasulullah mengatur strategi militernya. Bahwa, perang yang dilakukan Nabi bukan bertujuan untuk menumpas musuh, tetapi perang untuk menciptakan perdamaian. Perang itu dibatasi oleh dua kondisi, yaitu boleh dilakukan untuk mempertahankan diri, dan harus segera dihentikan manakala hal itu telah usai. Karenanya umat Islam tidak boleh melakukan penyerangan. Mereka harus menanti hingga musuh menyerang terlebih dahulu (sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 190).
Berawal dari kabar persekutuan imperium Romawi—yang dipimpin Heraclius—dengan beberapa kabilah Arab di wilayah Syam. Mereka membangun kekuatan militer yang cukup besar di wilayah perbatasan Palestina, guna menyerang habis-habisan kaum Muslimin. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan dakwah Islam. Rasulullah langsung bertindak tegas menyusun rencana pengiriman ekpedisi militer berkekuatan besar. Rencana ini menjadi sebuah ujian keimanan tersendiri bagi kaum Muslimin.
Mengapa? Pada saat itu adalah masa panen raya kurma. Penduduk Madinah banyak menghabiskan waktu memetik kurma di kebun-kebunnya. Di tambah, kawasan Arab kala itu dilanda cuaca panas yang sangat ekstrem. Sehingga mereka yang bersedia membiayai sekaligus berangkat dalam perang Tabuk adalah para sahabat kinasih, yang rela meninggalkan kenikmatan duniawi demi membela agama Rasulullah.
Sejarawan Izb Dasuki, mencatat bahwa ekpedisi militer Rasulullah akhirnya berhasil dibentuk dengan kekuatan sekitar 30 ribu orang lengkap dengan persenjataan, 10 ribu kuda dan 10 ribu unta. Mereka bergerak menuju Tabuk pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah (630 M). Jarak yang ditempuh sekitar 14 maraahil (istilah untuk nama pos peristirahatan bagi para kafilah Arab), atau sekitar 750 kilometer, memakan waktu perjalanan selama 2 minggu. Mereka menuju Tabuk dengan perhitungan satu kendaraan untuk dua atau tiga orang di tengah terik cuaca ekstrim gurun Sahara.
Tak ayal di tengah perjalanan mereka mengalami dehidrasi berat hingga mengorbankan unta untuk diperas air di perutnya. Ibnu Katsir—dalam al-Bidayah wa an-Nihayah—menegaskan orang-orang munafik kala itu saling menghasud agar meninggalkan ekspedisi militer ke Tabuk karena melewati ujian terberat. Minimnya perbekalan dan kurangnya air. Momentum perjuangan tersebut diabadikan dalam QS. At-Taubah [9]: 117. “Sesungguhnya Allah menerima Taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. Setelah hati segolongan mereka hampir berpaling…” Pada saat iitulah mukjizat Nabi terhampar. Di tengah gurun pasir nan terik, Nabi menengadahkan tangan seraya berdoa kepada Allah, tiba-tiba langit mendung dan hujan turun. Sehingga mereka bisa segar kembali dan mengambil air sesuai kebutuhan di jalan menuju Tabuk.
Jauh di seberang Palestina, Kaisar Heraclius awalnya menyangsikan keberanian pasukan Nabi datang ke Tabuk. Ia sudah perkirakan, di cuaca panas ekstrem seperti itu, unta pun tak akan selamat melewati gurun Sahara. Pastilah, tentara Islam itu binasa di tengah perjalanan. Tapi, setelah mendengar kabar ekpedisi militer Nabi sudah hampir sampai Tabuk dan berhasil menaklukkan daerah Dumatul Jandal yang jadi sekutunya, Heraclius mulai gemetar melihat betapa kuatnya pasukan Islam. Singkatnya Heraclius pada akhirnya mundur meninggalkan Tabuk dan kembali ke Romawi.
Meskipun jumlah pasukannya kala itu sekitar 200 ribu, tetapi ia mengakui kekalahan sebelum berperang melawan pasukan Nabi. Ia tahu bahwa pasukan Nabi diberkahi Tuhan dan seberapapun banyak pasukannya tetap akan kalah. Dari situlah Tabuk menjadi simbol kemenangan sekaligus kekuatan dakwah Islam di semenanjung Arab. Berita kekalahan telak Romawi atas kaum Muslimin menjadi titik balik pengakuan dunia akan eksistensi agama baru yang dibawa Muhammad. Setelah peristiwa itu, berbondong-bondong orang mengimani Islam dan mencari perlindungan pada kaum Muslimin.
Satu tempat yang masih bisa kita saksikan dari kebesaran Tabuk adalah masjid at-Taubah. Di situlah Rasulullah menginap dan melaksanakan shalat. Masjid itu awal mulanya cuma berupa tembok tanah liat beratapkan pelepah kurma. Lalu melewati pemugaran berkali-kali sejak pemerintahan Turki Ustmani dan Saudi, hingga sekarang menjelma menjadi masjid megah dengan menara dan tembok putihnya yang ikonik. Alkisah di masjid itu pula, Nabi mendapatkan wahyu yang membongkar konspirasi upaya pembunuhan yang coba dilakukan oleh kaum munafik dan suku Yahudi (QS. At-Taubah 107-110).
Ibnu Ishaq menjabarkan bahwa sebab turunnya ayat itu berkenaan dengan persiapan ekpedisi Nabi berangkat ke Tabuk. Tiba-tiba kaum munafik itu memberi kabar sudah membangun masjid baru (Dhirar), dan berharap Nabi sepulangnya dari Tabuk, bisa mampir mendirikan shalat di sana. Mereka berencana akan menjadikan tempat itu sebagai jebakan untuk membunuh Nabi dan sudah bekerja sama dengan pasukan Romawi. Tetapi rencana itu terbongkar dan Nabi memerintahkan masjid itu diruntuhkan. Mereka kelak diibaratkan oleh Allah telah mendirikan bangunannya di tepi jurang, dan pada saatnya mereka akan ditimpa bangunan itu yang roboh ke dalam neraka Jahanam. Wallahu A’lam.