Sedang Membaca
Air: Sakralitas dan Pengisahan
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Air: Sakralitas dan Pengisahan

Gentong Nusantara

Pengisahan dan pemuliaan Indonesia menggunakan air. Peristiwa-peristiwa akbar dalam arus sejarah berurusan air. Kita tak sanggup membuat album ingatan lengkap. Sejarah baru justru dicipta demi ibu kota baru. Sejarah mengandung tanah dan air.

Di Kompas, 16 Maret 2022, kita membaca: “Gentong berwarna keemasan yang disebut Bejana Nusantara dan berisikan tanah dan air, yang sebelumnya diserahkan oleh para gubernur, wakil gubernur, ataupun asisten sekretaris dari 34 provinsi di Indonesia, itu pada Senin (14/3/2022) malam dikubur dalam lubang tak jauh dari titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.” Peristiwa diharapkan sakral dengan diawali senandung Indonesia Raya. Lagu memuat masalah tanah (dan) air.

Kita ingin mengingat dan mengartikan air. Sekian acuan mengenai air mungkin terperoleh, tak harus berakhir dalam masalah kekuasaan. Sejak ribuan tahun lalu, para leluhur “mengalirkan” beragam makna air: membentuk dan menggerakkan peradaban. Air terus mengalir sampai sekarang. Kita kadang menganggap itu masalah atau berkah.

Di buku berjudul Patirthan: Masa Lalu dan Masa Kini (2013) susunan Ninie Susanti, Agus Aris Munandar, A Rahayu, Dian S, dan Chaidir Ashari, terbaca keterangan dari masa lalu, abad XVIII-XV: “Masyarakat Jawa kuna yang memeluk agama Hindu-Buddha mendirikan berbagai bangunan suci, seperti candi, patirthan (pemandian suci), goa pertapaan, dan punden berundak. Selain candi sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewa, patirthan juga memegang peran penting dalam masyarakat. Patirthan dipandang sebagai tempat untuk mengambil air suci dalam upacara keagamaan.”

Baca juga:  Evolusi Santri, Evolusi Abangan

Sekian patirthan di Jawa dan Bali masih lestari sampai sekarang meski kondisi tak selalu utuh dan indah. Masa lalu itu mengingatkan air bermakna dalam tata kehidupan berpijak religius atau sakral. Patirthan biasa terdapat lereng-lereng gunung. Di situ, air dianggap keramat. Air dan gunung mencipta cerita bermakna sakral, memberi acuan bagi manusia melakoni hidup berharap selamat, bahagia, terang, dan makmur. Air untuk upacara-upacara keagamaan dan kebutuhan di keseharian. Kita diingatkan bahwa sumber air atau mata air menentukan arus peradaban, memberi pengertian-pengertian bagi manusia dalam menunaikan misi-misi hidup selama di dunia.

Upacara diadakan demi IKN Nusantara menghendaki air suci dari pelbagai tempat di seantero Indonesia. Kita belum mengetahui ada pihak mengambil air dari patirthan di Jawa dan Bali. Peristiwa itu memang mendapat perhatian dengan berita-berita dan komentar di media sosial. Kita sadar dampak upacara menggunakan tanah dan air dalam lakon kekuasaan dan masa depan Indonesia. Pemerintah dalam upacara berbekal pemahaman bahwa kedatangan tanah dan air dari pelbagai tempat “melambangkan kebersatuan”.

Pada abad XXI, kita berpikiran lagi tentang air, dari sakral sampai komersial. Perkara komersial telah menimbulkan beragam polemik. Dunia sedang mengalami pelbagai krisis. Konon, krisis air membuat pemerintah, komunitas, dan pelbagai pihak merancang kebijakan-kebijakan demi nasib umat manusia pada masa sekarang dan masa depan. Air terlalu bermasalah. Pada situasi dan peristiwa berbeda, air masih dipahami dalam sakralitas. Kita kadang menginginkan cerita-cerita air suci atau sakralitas terus mengiringi sejarah Indonesia.

Baca juga:  Hikmah Idul Fitri Menurut Gus Dur dan Cak Nur

Kita membuka buku berjudul Mata Air Bulan (1998) garapan Sindhunata. Cerita mengenai air dan religiositas. Kita memaknai air dalam ikhtiar dan doa. Sindhunata bercerita: “… sebelum terjadinya Sumur Kitiran Mas, di samping lelaku kembang pitu kami juga menjalani lelaku tuk pitu. Sama dengan lelaku kembang pitulelaku tuk pitu juga harus kami jalani di malam hari. Kami berjalan menuju sumber-sumber air yang dianggap keramat dan mempunyai riwayat di daerah sekitar desa kami di Pakem… “

Buku agak tebal mengisahkan keberadaan Sumur Kitiran Mas di Pakem, Yogyakarta. Sindhunata menulis segala hal mengenai air. Ikhtiar mendokumentasikan agar orang-orang mengetahui dan berbagi pengisahan kelak untuk anak-cucu.

Penulisan belum terjadi saat pemerintah mengadakan upacara tanah dan air. Para gubernur dan pejabat pemerintah sekadar memberi keterangan lisan, tercatat dalam berita-berita. Dokumen-dokumen dari pemerintah memerlukan imbuhan dengan penulisan cerita dan makna air dari pelbagai tempat. Penulisan demi sejarah dan masa depan.

Peristiwa sudah berlalu. Kita menunggu berita bakal ada penulisan tentang tanah dan air untuk peresmian IKN Nusantara. Pengisahan bisa digenapi foto atau ilustrasi. Pada suatu masa, orang-orang berhak mengetahui babak-babak mengadakan IKN Nusantara. Masalah air dalam pengisahan mungkin memicu kesadaran pelestarian sumber air dan memuliakan Indonesia dengan ikhtiar-ikhtiar menangkal krisis air.

Baca juga:  Pertanu, Laku Selawat Lewat Tari

Pemerintah pun bisa mengajak para pengarang turut menggubah puisi atau cerita pendek mengenai air dan Indonesia. Pengandaian bakal ada kemauan bersama menghormati air dalam kehidupan keseharian dan pemaknaan dalam lakon kekuasaan Indonesia. Pengakuan bahwa negara memerlukan air suci dari pelbagai tempat mengesahkan janji dan pengharapan Indonesia mulia berpijak sakralitas, tak melulu terjerat komersialitas. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top