
Setiap buka puasa, meja makan penuh dengan gorengan, kolak, es buah, sampai nasi ayam. Ujung-ujungnya perut kekenyangan, takjil menumpuk enggak kemakan. Lucu, katanya niat puasa buat tahan diri malah jadi ajang balas dendam makan. Ibadah kok seperti mukbang. Terus Natal. Kayaknya lebih identik dengan pohon cemara tinggi, lampu kelap-kelip, dan dekor gold-silver yang estetik parah. Memang kelahiran Sang Almasih yang dekat dengan orang miskin itu harus dirayakan dengan vibes mall dan diskon besar-besaran? Atau kita cuma suka suasana cozy-nya.
Waisak juga. Damai, tenang, haru, tapi yang kita cari hanya momen lampion yang mengudara. Dilihat-lihat sih bagus juga buat dijepret kamera. Yang penting estetik dulu, urusan refleksi spiritual? Kayaknya entar belakangan. Malam Imlek? Harapan rezeki dan kebahagiaan dibakar dalam bentuk petasan dan pesta warna-warni. Kemeriahannya disusul dengan Cap Go Meh. Tapi makin ke sini, nuansanya lebih ke momen yang paling heboh ketimbang suasana kumpulnya yang paling bermakna.
Diakui ataupun disangkal, cara beragama kita memang kayak begitu adanya. Beragama melalui berbagai praktiknya sudah menghasilkan limbah ritual. Tentunya hal ini terjadi karena momen-momen tersebut melibatkan banyak bahan material. Ada banyak festival, upacara, peribadatan, dan devosi yang memerlukan dupa, bunga, makanan, dan kertas. Beragama juga telah mengundang orang-orang untuk datang berziarah ke tempat suci, yang lalu meninggalkan botol plastik dan sisa bekalnya. Lebih dari itu, berkembang juga agen travel dan akomodasi penginapan, yang turut membuang asap pembakaran karbon juga emisi gas pendingin.
Entah sejak kapan, kita mulai menganggap yang sakral itu cuma yang enggak kelihatan dan yang ada jauh di sana (metafisik). Dunia yang kita injak dan lewati tiap hari malah diposisikan najis dan kotor, kayak cuma tumpangan buat menuju puncak spiritual yang katanya lebih luhur. Kenapa kita enggak pernah pikir kalau agama juga membimbing cara hidup yang terkoneksi sama realitas dunia sehari-hari kita? Bukan cuma urusan langitan, tapi juga buat hidup sekarang di bumi, di lingkungan sekitar.
Betul, agama menawarkan banyak kedamaian, keselamatan, dan pembebasan. Tapi sering kali kita lupa kalau itu semua juga berkaitan sama cara kita menjaga dunia. Lupa bahwa urusan etika dalam agama itu enggak berhenti di manusia doang, tapi juga ke alam semesta. Yap ke gunung dan laut sebagai tempat berlangsungnya siklus air, air yang suka kita pakai buat ritus. Ke udara tempat naiknya doa-doa kita, ke tanah tempat kita berlutut, bersila, dan sujud. Termasuk api yang kasih penerangan sampai kita bisa baca kitab suci sebelum tidur.
Alam bukan cuma properti visual buat retreat rohani atau feed Instagram. Ia bagian dari hidup, tempat kita mengada. Jadi pas kita ikut andil dalam merusaknya, sedikit ataupun banyak, itu bukan cuma tindakan konyol tapi juga bentuk pengkhianatan pada ruang kita beragama. Kalau benar kita mau sungguh beragama, ketimbang mengasingkan diri ke alam-alam lain mending berani menarik diri untuk hadir di sini dan kini. Kita menyatakan keberagamaan dengan mengambil bagian dari tugas merawat dunia hingga lebih adil dan lebih lestari.
Padahal agama-agama itu sebenarnya punya narasi kosmik yang kaya banget. Lewat sistem keyakinan dan tata ibadahnya, mereka mengajarkan satu hal penting kalau kita bukanlah pusat segalanya. Manusia bukan satu-satunya yang eksis. Di luar sana, semesta ini juga dihuni makhluk-makhluk lain ada dewa-dewi, roh leluhur, boddhisatwa, malaikat, jin, bahkan kedirian-kedirian yang enggak bisa kita jelaskan secara ilmiah.
Tapi sayangnya kita sibuk mengklaim dunia. Main tebang, main buang, main gali, seolah alam ini milik kita seorang. Lihat saja, ibu bumi lagi sekarat. Iklim makin kacau. Di titik ini, semestinya agama-agama jadi tempat kita buat balik arah. Menemukan pandangan penting yang bisa dibawa buat bantu kita bertahan. Ahimsa, misalnya, mendidik kita buat enggak menyakiti makhluk hidup lain. Tikum olam dari tradisi Yahudi bilang dunia ini harus diperbaiki bareng-bareng. Wu wei mengajak kita buat menjalani hidup selaras sama alam, bukan melawannya. Juga zuhud dan qanaah, menolong kita buat hidup lebih ugahari.
Kalau beragama cuma dijalani lewat nilai ekstravagansi yang penuh dengan kehebohan, viral, dan sesak simbolisme luar, kita harus banget merasa khawatir. Jangan-jangan yang kita kejar bukan berkah dan anugerah tapi validasi. Jangan sampai niat darma dan bakti malah berubah jadi ajang pamer. Padahal katanya pengen ke negeri sana, tapi kok langkahnya lebih sibuk mencari-cari unsur “duniawi”?
Sekarang sudah waktunya kita memilah lagi cara beragama yang enggak cuma ikut tren dan menempel di status, tapi benar-benar yang membumi. Beragama yang khidmat, ada maknanya, dan ada maslahatnya buat sekitar kita. Karena sejatinya agama bukan soal tampilan, tapi soal dampak yang nyata. Perjalanan kita masih panjang, kita perlu hadir di masa kini dengan berbuat aksi yang sungguhan. Siapa tahu kan bisa jadi bahan cerita kelak di sana.
Janji ya, habis ini kita berlebaran, natalan, waisak, kumpul imlek, dan berhari-raya lainnya dengan penuh kesederhanaan. Enggak-enggak lagi deh buat hambur dan boros. Tahu kok ini bukan langkah yang mudah, tapi yuk bisa yuk!