Salah satu perilaku buruk yang terjadi di masyarakat, termasuk di dalamnya dilakukan oleh para santri di pondok pesantren adalah perbuatan gasab. Perbuatan gasab di pondok pesantren biasanya berupa praktik menggasab barang-barang yang dianggap remeh seperti sandal jepit, handuk, sajadah, dan benda-benda yang dianggap tidak memiliki harga. Perilaku buruk ini seringkali dianggap sebagai sebuah kewajaran atau bahkan dianggap tidak melanggar syariat atau minimal dinilai hanya sebuah perbuatan dosa kecil.
Gasab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri. Sebenarnya kata ini merupakan kata serapan dari Bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, secara bahasa kata gasab yang merupakan bentuk masdar dari akar kata ghasaba-yaghsibu, memiliki arti mengambil sesuatu (milik orang lain) secara zalim. Sedangkan pengertian gasab secara istilah bermakna menguasai hak milik orang lain secara paksa dengan jalan yang tidak sah.
Pada dasarnya topik gasab dengan studi kasus pondok pesantren telah banyak dijadikan bahan penelitian. Baik penelitian sebagai tugas akhir mahasiswa maupun artikel jurnal. Meski demikian, perilaku buruk tersebut masih terus terjadi. Sebuah pemandangan yang ironis sekaligus tragis hal demikian terjadi di lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai keislaman yang mengajarkan nilai-nilai luhur. Pertanyaannya, mengapa perilaku gasab ini masih terus terjadi? Bagaimana menghentikan atau minimal menguranginya?
Sejumlah studi menunjukkan hasil penelitian bahwa perilaku gasab masih terus berjalan di lingkungan pesantren sekurangnya karena dua faktor utama: pertama, rendahnya kesadaran yang kembali kepada individu-individu para pelakunya. Kedua, faktor lingkungan.
Lemahnya kesadaran para pelaku gasab menjadi pemicu utama bagi terjadinya perilaku ini. Para pelaku menganggap perilakunya sebagai sebuah kewajaran yang tidak berdampak apa pun, atau minimal menganggapnya sebagai sebuah dosa kecil. Padahal, jika pun masuk kategori perbuatan dosa kecil, jika ia terus dilakukan secara berulang kali atau bahkan menjadi kebiasaan, bukankah dosa tersebut akan kian menggunung?
Sementara faktor lingkungan juga turut mendorong terjadi dan menjamurnya perbuatan ini. Secara teori, lingkungan yang memaklumi perbuatan buruk akan melahirkan kelompok yang berperilaku tidak sehat. Sebaliknya, lingkungan yang tertib, rapi, baik, akan melahirkan kelompok yang sehat.
Untuk itu, perilaku gasab di pondok pesantren dapat dihilangkan dengan mengubah dua hal di atas. Meningkatkan kesadaran para santri agar tidak melakukan perbuatan tersebut sekaligus menciptakan lingkungan yang mendukungnya.
Para pelaku gasab seringkali berkelit membenarkan apa yang telah dilakukannya. Misalnya ia memakai kaidah “’ulima ridlahu” (sudah diizinkan pemiliknya). Kaidah ini kerap dijadikan dasar apa yang telah dilakukannya adalah hal yang dimaklumi dan diizinkan oleh pemiliknya. Padahal, gasab ya tetap gasab. Para ulama sudah bersepakat bahwa gasab merupakan perbuatan haram.
Bukankah Nabi Muhammad SAW dalam sebuah khutbahnya sudah mewanti-wanti bahwa darah, harta, dan harga diri setiap manusia itu haram (diambil alih orang lain) sebagaimana haramnya negeri Makkah. Oleh karena itu, sejumlah ulama mengategorikan perbuatan gasab sebagai perbuatan dosa besar. Sebab, sekecil apapun nilai barang yang digasab ia adalah perbuatan mengambil milik orang lain.
Terakhir, hal lain yang mungkin juga perlu dipertimbangkan adalah mengganti istilah gasab dalam percakapan di antara para santri dengan istilah lain yang lebih bisa menyentuh hati para santri. Misalnya, mengganti istilah gasab dengan pencurian. Jadi, pelaku tindakan buruk ini kita sebut pencuri, bukan pelaku gasab!