
Jakarta, (25/4). Moderasi beragama menjadi agenda penting dalam menjaga harmoni sosial, kebinekaan, dan perdamaian di masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Peraturan Presiden (Perpes) Moderasi Bergama Nomor 58 tahun 2023 bahwa Kementerian Agama (Kemenag) RI menjadi institusi yang menjadi leading sector implementasi moderasi beragama yang dengan berkolaborasi antar lintas sektor, termasuk media.
Sub Direktorat Bina Paham Keagamaan Islam Kemenag, Muhammad Syafaat menyampaikan dalam kepemerintahan Menteri Agama, Prof Nasaruddin Umar bahwa moderasi beragama tidak hilang, namun istilahnya berubah menjadi kerukunan, cinta kemanusiaan, dan ekoteologi.
“Istilah kerukunan di zaman Narasuddin Umar diganti namanya menjadi beragama maslahat yang dicanangkan menjadi jilid kedua yang bukan lagi berfokus pada isu internal umat beragama, antar agama dengan pemerintah, namun isu yang lebih baru yaitu agama dengan lingkungan, agama dengan kemanusiaan,” ujarnya dalam Acara Webinar Media Gathering pada Jumat (25/4/2025).
Ia mengatakan bahwa pelaksanaan kerukunan berpusat di Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Badan Pengembangan Moderasi Beragama dan Sumber Daya Manusia (BMB/BPSDM).
“Sebanyak 89 persen umat di Indonesia ini beragama Islam, konflik paling tinggi setelah pasca-reformasi dari umat Islam yang melibatkan agama atau keyakinan. Disitulah kami bekerja untuk menangani konflik-konflik tersebut,” katanya.’
Syafaat menjelaskan dasar hukum moderasi beragama berawal dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduknya untuk memeluk agamanya dan beribadat berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Ia menambahkan bahwa didukung dengan adanya Perpres 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama, Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, dan PMA 18 2020 tentang Restra Kementerian Agama 2020-2024
“Kemenag tidak memiliki standar, nilai, dan hak untuk mendefinisikan, menfasirkan, menerjemahkan, atau memberikan stempel bahwa agama tertentu benar, agama yang lain salah, agama lain dianggap sejalan dengan negara, agama yang lain tidak, itu negara tidak memiliki hak itu,” tegasnya.
Ia mengatakan bahwa media sebaiknya tidak menggunakan kata sesat, menyimpang, dan simpangan dalam menuliskan keragaman agama di Indonesia.
“Ada berita tentang ada aktivitas keberagamaan masyarakat di Sulawesi, ada masyarakat muslim mengatakan adanya 11 rukun islam, maka media menyebar informasi diluar Kemenag bentuknya menyimpang atau sesat. Nah ini tidak mungkin kami (kemenag) keluarkan informasi itu,” ucapnya.
Ia mencontohkan konflik yang pernah terjadi di daerah Pandeglang, Banten bahwa terdapat 15 masyarakat yang melakukan mandi di tempat umum dan viral karena pemberitaan menggunakan tiga kata yang tidak dianjurkan.
“Perlunya rekam media mengonfirmasi kegiatan yang dilakukan tersebut sehingga tidak langsung menyampaikan bahwa ajaran itu sesat, tapi nyatanya mereka sama juga melakukan sholat lima waktu, puasa, hanya saja thoharoh (bercuci) ada perbedaan yang tajam,” katanya.
Syafaat menyampaikan bahwa dalam menuliskan moderasi beragama perlu menyandarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 332 Tahun 2023 tentang Sistem Deteksi Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan terutama pada Bab II Prinsip dan Sumber Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan dan Bab III Komponen Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.
“Kalau melihat konflik di Pandeglang, Kemenag akan menyampaikan bahwa 15 masyarakat tadi masuk kedalam konflik paham, sikap, dan perilaku keberagamaan,” ujar Syafaat.
Ia menegaskan bahwa untuk mengkonfirmasi konflik keberagaman yang berada di masyarakat hingga tingkat desa, media dapat menghubungi Pranata Humas Kemenag yang tersebar di Indonesia. Saat ini, terdapat 776 Pranata Humas di Kemenag, Bimas Islam tersebar di 512 Kabupaten/Kota, 5.917 KUA di tingkat kecamatan, dan 45 ribu PAI Nasional.
“Dengan tersebarnya kantor Kemenag, rekan-rekam media dapat lebih mudah mencari Informasi mengenai konflik tentang keberagamaan agama,” katanya.
Sementara itu, Anggota Penyusun Panduan Peliputan Media Toleransi, Alvin Nur Choironi menyampaikan bahwa tugas media adalah menjadi resolusi dan meredamkan konflik sehingga kedamaian toleransi umat beragama di Indonesia terus berjalin.
Ia menyampaikan bahwa Informasi dari media digunakan dalam mengambil kebijakan untuk menangani konflik. “Maka media punya peran penting untuk mencegah kerusuhan dan kerugian itu terjadi,” katanya.
Alvin menyampaikan dalam konflik beragama, media harus menerapkan prinsip jurnalisme advokasi untuk meredakan konflik dan melindungi korban. Media perlu menghindari bias dan menjaga berita agar tidak menambah kebencian terhadap kelompok tertentu karena tujuan jurnalisme advokasi adalah mendorong kebijakan pemerintah untuk melindungi korban.
“Media itu jangan mengambil informasi dari akun yang tidak jelas, justru menggali informasi lebih detail di lapangan dan menjadikan korban sebagai narasumber utama, sehingga pihak berwenang dapat mengungkapkan kebijakan yang sesuai,” ujarnya.
“Sehingga konflik ini tidak jadi viral, tidak meluas kemana-mana, dan bisa diselesaikan dengan baik, disini peran media untuk meredam konflik beragama,” sambungnya.
Alvin mencontohkan salah satu konflik toleransi yang terjadi adalah umat non-Muslim mengkritik suara toa Masjid di daerah Sumatera. Menurutnya, media memiliki peran untuk meredam konflik tersebut.
“Itukan panjang konfliknya, harusnya media itu membuat konfliknya semakin menurun. Itukan sebenarnya konflik antar tetangga, isunya semakin naik karena Miliana sebagai non-Muslim dan toa sebagai bentuk syiar Muslim, kemudian dibawa kemana-mana karena media tidak meredam konflik itu,” katanya.
Ia menekankan bahwa dalam menulis suatu pemberitaan, media diharuskan mendapatkan informasi dari korban, pelaku, saksi mata, pihak berwenang, dan pengamat. Penting juga untuk melindungi narasumber, terutama dari kelompok rentan.
“Korban harus menjadi narasumber utama, ini penting. Kita perlu melihat perfektif korban, melihat sebelum konflik itu terjadi, sebelum kelompok itu terjadi, jangan sampai karena sulit mencari korban, dan tokoh agama setempat sudah mengumumkan langsung menjadi narasumber utama tanpa mengecek kembali konflik terjadi,” ungkap Alvin.
Alvin mengatakan ketika mencari informasi langsung kelapangan, perlu memiliki prespektif HAM, keberagaman, dan menguasai konteks lokal.
“Jangan sampai ketika ke lapangan, langsung aja warga diwawancarai tanpa melihat latar belakangnya, orangnya seperti apa, daerah setempatnya seperti apa, wartawan harus informasi ini,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa media perlu menghindari enam aspek, yaitu (1) tidak memahami agama dan tafsir kelompok yang diliput; (2) melibatkan tafsir dan kepercayaan pribadi; (3) melakukan stereotyping dan melibatkan prasangka; (4) menampilkan judul dan diksi provokatif mengandung SARA dalam penulisan berita; (5) motivasi misi/dakwah/penyebaran agama; dan (6) tidak sensitive terhadap istilah dan simbol agama.
“Jangan sampai satu kata yang ada diberita menjadi landasan kelompok tertentu untuk mengintimidasi, memberikan ancaman, melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain,” ujar Redaktur Islami.co.
Alvin menyampaikan perlunya melindungi diri saat mencari informasi langsung kelapangan diantaranya menjaga dari kekerasan, terdapat jaminan kesehatan, kondisi fisik sehat dan siap, memahami budaya lokal, mempersiapkan akomodasi, dan kewaspadaan terhadap ancaman digital.
Senada, Aktivis Inklusi Sosial, Abi Setio Nugroho menyampaikan bahwa masyarakat sipil memiliki fungsi sebagai penyeimbang negara dan penyambung kelompok rentan serta berperan sebagai agen transformasi sosial dan politik dalam konteks kebebasan Beragama dan berkeyakinan (KBB).
“Dalam isu kebebesan beragama, masyarakat sipil menjadi intermediary antara masyarakat korban intoleransi dan pengambil kebijakan,” ucapnya.
Ia menyampaikan bahwa fenomena konflik antara moderasi dan realitas intoleransi yang tercantum dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 dan Peta Jalan Moderasi Beragama (PJMP) masih terdapat ketimpangan antara dokumen kebijakan dan realitas.
“Kita contohkan pada kasus GKI Yasmin, Gereja di Cilegon, dan Ahmadiyah di Kuningan Sukabumi, Lombok, dan Sintan ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak beragama, yang kemudian diangkat oleh media dan masyarakat sipil,” katanya.
Abi menyampaikan perlu peran strategis dari media dan masyarakat sipil diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Wahid Foundation, dan Gusdurian Networking yang aktif memproduksi narasi tanding dan konten digital bernuansa toleransi.
“AJI dan LBH Pers telah mencatat bahwa peliputan yang tidak sensitif kerap memperburuk stigmatisasi terhadap minoritas agama, dan laporan dari SETARA Institute tahun 2023 terdapat 180 pelanggaran KBB dan 61 persen diangkat pertama kali oleh media,” ungkapnya.
Ia menyampaikan terdapat studi dan riset pendukung dalam menyebarkan berita tentang keberagamaan, diantaranya Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Google tahun 2020 dengan topik “Memahami Dunia Digital” menemukan bahwa konten toleransi lebih banyak dikonsumsi, tapi kalah cepat dari konten kebencian dalam algoritma.
“Penelitian dari Paramadina, YLBHI, ICRS, dan CRCS UGM, The Asia Foundation, dan Oslo Coalition for Freedom of Relogion of Belief pada tahun 2022 dengan judul Refleksi Advokasi yang menyoroti lemahnya kapasitas jurnalis memahami isu KBB, sehingga seringkali bias dalam peliputan” ujar Abi.
Ia menyampaikan tantangan yang dihadapi media yaitu fragmentasi narasi media yang berbeda-beda dalam memaknai isu agama, ancaman jurnalis melalui digital, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak minoritas agama sebagai narasumber.
“Undang-Undang Pers belum cukup melindungi jurnalis dari ancaman ketika mengangkat isu sensitif keagamaan, minimnya pendanaan dari media dan godaan mengejar traffic untuk memperbanyak pengunjung,” katanya.
Abi menyarankan bahwa perlu penguatan kapasitas media melalui pelatihan jurnalis dalam peliputan berbasis HAM dan pluralisme, serta terdapatnya penyusunan panduan liputan sensitif terhadap isu keagamaan.
“Advokasi kebijakan perlu merevisi kebijakan penyiaran agar sensitif pada KBB, dan mendorong pemerintah daerah menyusun acuan penanganan intoleransi berbasis pelaporan media dan masyarakat sipil,” katanya.
“Perlu juga koalisi media dan masyarakat sipil, dan platfrom kerja yang kolaboratif untuk membangun media yang menayangkan konten lintas agama, suku, gender, dan keyakinan,” lanjutnya.