Banyak orang secara bergilir dalam perjalanan zaman masih berharap untuk terus dapat membaca tulisan demi tulisan atas berbagai hal menyangkut kehidupan maupun kematian. Tak sedikit dari mereka kemudian meniatkan diri untuk menjadi seorang penyaji tulisan atau penulis. Konon, peradaban akan penting dan penuh makna ketika ditopang setidaknya dua hal tersebut. Membaca dan menulis.
Pada gilirannya, zaman bergerak dengan pembacaan peluang termunculkan. Kursus, latihan, hingga sekolah dengan bertajuk “menulis” terselenggara dengan segala iming-imingnya. Alih-alih kemudian langsung menjadikannya bisa dan cekatan, ternyata menulis tak sederhana—menyimak kiat dan motivasi dari pemateri. Menulis kemudian menjadi jalan panjang penuh syarat.
Sayangnya, sedemikian menjamur metode tersebut tanpa pernah memperhatikan bahwa tak terlepas dari menulis adalah membaca. Perlulah, selain ada sekolah menulis digalakkan adanya sekolah membaca. Perkara itu membawa analisis mendalam bagaimana semakin merebaknya zaman digital, membaca semakin menjadi budaya yang sepi, sunyi, dan tak diminati lagi. Ketimbang budaya berkomentar, katakanlah.
Di sisi lain, semakin bertambahnya media dalam jaringan (daring) ada kekhawatiran serius dalam perhatian terhadap sajian tulisan. Banyak media yang tak menghargai keberadaan penulis. Mereka mulai enggan memberikan honor maupun tanda ucapan atas tulisan layak dimuat. Sementara itu, di dalam media cetak yang masih bertahan, dengan keterbatasan jumlah, persaingan rasanya ketat.
Bayangkan saja, sebuah media cetak mampu bertahan tentu bersikap dalam menerima dan memuat tulisan yang masuk. Mereka tak jarang mengutamakan para penyaji tulisan yang sudah populer di kalangan publik, bergelar, hingga memberi jaminan stabilitas oplah media cetak terkait. Apalagi harus dipahami kebijakan redaksi sangat mengikat. Bahwa sebaik tulisan terhadirkan, andai tak menjadi selera redaksi, belum tentu ada jaminan termuat.
Dalam situasi itu, kita teringat sosok Liek Wilardjo, seorang fisikawan dan dosen emeritus di UKSW Salatiga. Di usia yang sudah tua, pria kelahiran 24 September 1939 itu masih rutin menulis, khususnya di Harian Kompas. Menariknya, selain opini, ia tekun mengirim tulisan dalam rubrik Surat Pembaca, baik itu menanggapi sebuah pemberitaan, opini orang lain, hingga memancing perdebatan lebih untuk tema-tema tertentu.
Di tahun 1983, ia memberikan materi dalam kegiatan Penataran Menulis Buku Pelajaran untuk Perguruan Tinggi yang diselenggarakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Materi diberikan judul Pengalaman Menulis termuat dalam bunga rampai, Realita dan Desiderata (Duta Wacana University Press, 1990). Ia tidak pamrih dalam berbagi sepotong kisah hidupnya. Sekalipun kegagalan dan hambatan dalam menulis.
Penjelasannya misalkan tertuliskan: “Kadang-kadang pula tanggapan yang telah selesai dibuat dan naskahnya dikirim kepada redaksi, ternyata ditolak oleh redaksi karena diangap terlalu tajam menyerang dan serangannya dipandang “personal”. Jarang sekali kita sependapat dengan redaksi, tetapi apa boleh buat, dialah yang berkuasa!”
Dulu, opini dan persebarannya dalam media massa menjadai satu hal yang patut dipersoalkan. Kita tengok sebuah buku dengan judul Bagaimana Mempertimbangkan Artikel Opini untuk Media Massa (Kanisius, 1995). Buku dengan penyunting dua nama: Ashadi Siregar dan I Made Suarjana tersebut merupakan hasil kerjasama pihak penerbit dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y).
Tulisan merupakan materi demi materi dari beberapa narasumber beserta dialog yang hadir dari peserta di dalam workshop yang dihadiri oleh sejumlah redaktur opini dari beberapa media cetak zaman itu. Dua nama penyunting buku memberikan pengantarnya. Mereka menyoroti situasi opini distandarkan pada selera redaksi itu bermasalah. Pernyataan itu berupa:
“Selera pribadi yang akan mendikte arus pemikiran yang berkembang dalam masyarakat, tentu sangat merugikan dalam perkembangan masyarakat. Tidak mustahil si redaktur akan mengabaikan sikap atau opini yang berkembang dalam masyarakat itu sebagaimana adanya, sehingga kita tidak lagi menemukan wacana masyarakat secara murni. Si redaktur telah melakukan “dosa” jurnalisme sebab pengenalan terhadap masyarakat menjadi terhalang akibat selera pribadinya.”
Kita kemudian menyimak tulisan dalam sesi narasumber: P. Swantoro dan Th. Sumartana dalam tajuk tulisan berjudul Artikel Opini dalam Pers Indonesia. Mereka memberikan pondasi keberadaan opini di dalam publik dalam sejarah perkembangan pers di Indonesia. Opini itu penting dan perlu. Ia menjadi salah satu sumber penting dalam menilik masa lalu.
Lebih dari itu, mereka memberikan posisi akan mendalam keberadaan opini bagi khalayak umum. Perlu perhatian kualitas mutu dan sarana pendidikan rakyat. Penjelasan tersampaikan: “Dari titik inilah maka rubrik opini diharap sebagai sumber seminar setiap hari/minggu yang bisa memberikan informasi yang memiliki kadar dan mutu ilmiah, memberikan penalaran, dan bisa berfungsi sebagai sekolah. Dan disinilah, seperti pada zaman pergerakan kemerdekaan, pers dianggap sebagai alat pendidik rakyat.”
Dalam situasi dan kondisi yang menyaratkan kecepatan dalam akses informasi, banyak dari kita mungkin sudah ogah memperdebatkan posisi tulisan khususnya dalam rubrik opini di media cetak maupun daring. Apalagi mempersoalkan skema ideal nasib penulis di zaman ini. Penulis tetap pamrih ingin memenuhi kebutuhan ekonomi dengan upaya-upaya menyajikan tulisan utuh terlepas bagaimana keperluan dirinya untuk terus meningkatkan kualitas, memepertajam analisis, dan melibatkan daya penalaran.
Menulis mungkin segera menyusul membaca, sebagai budaya yang tidak akan diminati sebagian orang di tengah gemerlap kecepatan pencarian segala hal. Selain keterbatasan ruang yang mendukung kepamrihan akan faktor ekonomi, juga perilaku media yang mungkin makin sedikit memberikan penghargaan terhadap karya intelektual, ketimbang urusan klik. Kendati Liek Wilardjo sedikit memberi petuah: “Karena itu, mereka yang belum berhasil menulis dan menerbitkan tulisannya hendaknya jangan lekas putus asa.”[]