Sedang Membaca
Rasuna Said: Orator Perempuan dari Tanah Minang

Rasuna Said: Orator Perempuan dari Tanah Minang

Rasuna Said

Orator yang vokal  menentang pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, bahkan dijuluki singa betina dari tanah Minang. Aktif menyuarakan kritik di hadapan publik sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Menyampaikan pidato yakni: “Manusia dilahirkan dengan kehendak bebas dan masyarakatlah yang memperbudaknya, bila kita tidak membela bangsa sendiri, lebih baik kita minta Allah untuk mencabut nyawa kita. Saya terus memegang janji bahwa waktunya akan tiba, Belanda akan kalah. Saya ingin menyalakan semangat ‘orang-orang saya.” Sally White, dalam artikel berjudul “Rasuna Said: Lioness of the Indonesian Independence Movement” (2013), menuliskan bahwa pada Oktober 1932.

Bahkan Seringkali dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium oleh aparat pemerintah kolonial Belanda, khusus mengawasi kegiatan politik (PID). Keberanian Rasuna Said berhasil membakar semangat masyarakat Sumatra Barat untuk menentang kolonial Belanda. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah kolonial Belanda, ia dijuluki ‘singa betina’,” sebut Jajang Jahroni dalam “Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan” yang dimuat buku Ulama Perempuan Indonesia (2002).

Rasuna Said memiliki riwayat keluarga sebagai ulama. Ada faktor lingkungan yang erat kaitannya dengan adat Minang dan agama Islam. Membuatnya tumbuh menjadi perempuan yang berkemauan keras, tegas, dan taat pada hukum. Ia secara terus terang menerangkan tindakan yang dilancarkan penjajah untuk memperbodoh dan memiskinkan bangsa Indonesia, serta menanamkan jiwa perbudakan yang menyebabkan rakyat menjadi sangat menderita, malas, dan tidak bertanggung jawab. Ia kemudian dituduh menghasut rakyat, berdasarkan literatur yang ditemukan Jajang Jahroni, Rasuna Said mengatakan “Boleh Tuan menyebut Asia Raya karena Tuan menang perang, tetapi Indonesia Raya pasti ada di sini,” kata Rasuna sambil menunjuk dadanya sendiri.

Baca juga:  Mursyid Perempuan Tarekat Naqsyabandiyah di Madura

Sehingga hukum Speek Delict pada 28 Desember 1932, yaitu hukum kolonial yang menyatakan siapa pun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda dan Jepang. Kemudian diperiksa tentang apa yang dia maksud dengan berbagai sentimen yang diungkapkan dalam pidato tersebut. Dia menjawab setiap pertanyaan tanpa ragu-ragu dan memberikan jawaban yang lugas, sering menimbulkan kehebohan di antara hadirin.

Misalnya, ketika dia ditanya apa yang dia maksud dengan pembukaannya kata-kata dalam pertemuan itu — “Salam bahagia putra-putri yang belum merdeka, tetapi akan merdeka, dan pemerintah Belanda akan hilang” — Rasuna menjelaskan bahwa orang Indonesia itu belum merdeka tetapi “cepat atau lambat akan mencapai kemerdekaan”.

Saya tahu, dan seluruh dunia tahu, bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan. Juga jelaskan bahwa ketika saatnya tiba Indonesia merdeka, maka pemerintah Belanda yang berkuasa sekarang menghilang, dengan sendirinya jatuh.” Ketika ditanya mengapa dia membuat pernyataan itu, dia mengatakan itu dalam rangka “untuk memegang janji waktu yang akan datang. Juga untuk membangkitkan semangat bangsaku.”

Di bawah interogasi, Rasuna menjelaskan bahwa perjuangan melawan penindasan adalah hukum alam yang memperbudak bangsa Indonesia  dan norma Belanda, dan bahwa mereka adalah korban dari imperialisme. Tujuannya adalah untuk meningkatkan semangat rakyat untuk berjuang mencapai kemerdekaan. Ketika hakim menanyakan arti dirinya, dengan pernyataan “Jika saudara-saudaraku merasa takut untuk ikut berjuang, bukankah begitu malu jika kemerdekaan Indonesia diraih oleh perempuan?” jawabnya.

Selama proses persidangan hingga divonis 15 bulan penjara, Rasuna bersama teman lamanya Rasima Ismail. Kabar proses ini tersebar ke seluruh nusantara. Lebih dari seribu orang datang untuk menyaksikan keberangkatan kapal yang akan membawanya ke Jawa. Karena dia satu-satunya perempuan  pada saat itu yang secara terbuka mendukung gagasan kemerdekaan, dia mengkritik pemerintah Belanda di tengah persidangan, meskipun hal ini menyebabkan dia dipenjara dan diasingkan.

Baca juga:  Dari Kartini, Agnes Mo, hingga Najwa Shihab: Perempuan juga Bisa!

Meski dipenjara karena pidatonya, Rasuna Said menuntut kelanjutan perlawanan dari partai. Dalam buku “Women in Southeast Asian Nationalist Movements” (Susan Blackburn dan Helen Ting, 2013:109) disebutkan bahwa Rasuna Said pernah mengirim surat ke Dewan Permian. Ia mengatakan dengan tegas dalam surat tersebut, “jika kita menang dalam perjuangan kita, kita akan mendapatkan dua manfaat. Pertama, Indonesia akan merdeka, dan kedua, surga seperti yang dijanjikan oleh Tuhan akan kita dapatkan. Dan jika kita gagal, kemerdekaan belum tercapai, masih ada surga menunggu karena perjuangan kita. Perjuangan ini adalah keyakinan milik kita!” “Women in Southeast Asian Nationalist Movements” (Susan Blackburn dan Helen Ting, 2013:109)

Sebelumnya, Rasuna Said yang telah terjun lama dalam dunia politik bahkan karirnya semakin bersinar. Pasca pembubaran DPR-RIS, ia kembali terpilih menjadi anggota Dewan Sementara Non Wakil Rakyat (SHR). Perjalanan panjang pemerintahan di Indonesia mengalami pasang surut politik. Memasuki pemerintahan era Soekarno, Rasunah Said banyak berbicara soal perempuan.

Namun, tujuan utama adalah untuk meningkatkan kesadaran di kalangan perempuan tentang gerakan, yaitu melawan kolonialisme. Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, Rasuna bergabung dengan Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia mewakili Sumatra Barat. Dikenal sebagai orator ulung frontal menentang pendukung Belanda, Rasuna Said tercatat sebagai perempuan pertama yang dipenjara atas tuduhan penghinaan terhadap pemerintah kolonial.

Sally White, dalam artikel berjudul “Singa Betina Gerakan Kemerdekaan Indonesia” (2013), mencatat bahwa pada Oktober 1932, Rasuna berbicara kepada beberapa perempuan di partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Dalam pidatonya, Rasuna membahas tentang langkah dan cara berpikir yang dapat digunakan anggota partai untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bagi Rasuna, imperialisme dan kolonialisme adalah musuh yang harus dimusnahkan. Ia mengimbau masyarakat Indonesia untuk tidak bekerja sama dan tidak bekerja di lembaga milik pemerintah Hindia Belanda.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Lubabah al-‘Abidah dari Suriah

Rasuna dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 13 Desember 1974. Ini menjadikannya satu-satunya perempuan kesembilan yang mencapai pengakuan di Indonesia dan orang pertama yang dihormati atas kontribusinya perjuangan nasionalis. Sebelumnya perempuan diakui baik untuk partisipasi mereka dalam perjuangan daerah melawan pemerintahan Belanda, yang mengambil tempat sebelum gerakan nasional, atau untuk kontribusi mereka terhadap gerakan perempuan, memperjuangkan pendidikan, dan hak-hak perempuan.

Rasuna Said hidup pada masa-masa penuh gejolak. Seperti banyak dari generasi dia dilahirkan dalam negara kolonial, hidup melalui suatu periode pendudukan Jepang, ikut serta dalam perang revolusi, dan menjadi bagian dari masa pemerintahan demokrasi pertama di Indonesia. Melalui semua perubahan ini, dia menunjukkan komitmen yang mendalam terhadap tujuan nasionalis, Islam dan kepentingan perempuan.

Gelar Pahlawan yang diusulkan akhirnya diterima pada tanggal 13 Desember 1974 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Tajikistan No. 084/TK/Tahun 1974 sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Nama Rasuna Said telah diabadikan sebagai nama jalan-jalan utama sebagai bentuk penghormatan dan kenang-kenangan atas jasa beliau. Di jalan tanda H.R. Rasuna Said di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sebuah patung berbentuk wajah Rasuna Said juga terletak di pusat festival Pasar di Jalan HR. Rasuna Said Kav. C22, Jakarta Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top