Sedang Membaca
Mesir Gencar Menata Jalan untuk Memberi Hak Pejalan Kaki

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Mesir Gencar Menata Jalan untuk Memberi Hak Pejalan Kaki

Belakangan ini pemerintah Mesir sedang gencar dalam merobohkan bangunan-bangunan yang melanggar aturan guna mempermudah proyek pembangunan jalan dan jembatan. Hal ini cukup ramai diperbincangkan dan menjadi “Trending” di berbagai media sosial, dan ternyata ini bukan kali pertama Mesir melakukan hal tersebut.

Abu Hamid al-Maqdisi as-Syafi’i memaparkan dalam salah satu risalahnya “pada awal tahun 882 Hijriah terjadi beberapa kejadian yang jarang terjadi di kota Kairo. Di antaranya, pasar-pasar ditutup, kedai-kedai dihancurkan, juga beberapa masjid dan madrasah dilarang beroperasi. Semua itu dilakukan semata-mata untuk menegakkan hak bagi para pejalan kaki, karena bangunan-bangunan tersebut telah menghalangi dan mencaplok sebagian dari jalanan umum. Walhasil,kebijakan ini menjadikan jalanan kota Kairo yang tadinya kelam dan gelap, seketika berubah menjadi terang dan hidup, semuanya menjadi renggang kembali, seakan-akan kegundahan dan kesuraman yang dulu menyelimuti kota Kairo hilang seketika.”

Syahdan, sebab dari kejadian tersebut karena infrastruktur jalanan kota Kairo pada tahun 882 bisa dibilang semrawut. Kemajuan arsitektur pada masa tersebut menjadikan orang berlomba-lomba untuk memperelok bangunannya tanpa memperhatikan rambu-rambu yang telah digariskan dan malah menjadikannya tak terkendali. Karenanya, Kairo yang saat itu di bawah pimpinan Amir Yusybek mengambil keputusan untuk merobohkan bangunan apapun yang menghalangi jalanan, guna meluruskan hak bagi para pejalan kaki. Sontak saja kebijakan ini memicu pemberontakan dari warga yang tidak terima terkena gusur.

Baca juga:  Barus, Kali Pertama Islam Masuk ke Nusantara

Agar menghindari kekacauan, syekh Abu Hamid membuat sebuah risalah singkat yang mengagak-agihkan konsep haqqu ath-thoriq (حق الطريق) dalam Islam, besar harap bisa menyadarkan publik betapa pentingnya menjaga hak jalan dan tidak sembarang dalam membangun sesuatu.

Lebih lanjut, untuk menggenjot laju masyarakat dan produktivitas sebuah kota, merancang kota haruslah berdasarkan dari pemikiran yang matang, perencanaan yang mendetail dan tentunya tidak boleh terlepas dari aturan yang telah digariskan dalam islam. Syekh Syihabuddin Ahmad menerangkan didalam kitabnya yang berjudul “سلوك المالك في تدبير الممالك على التمام و الكمال”

Setidaknya ada delapan hal utama yang harus diperhatikan bagi siapa saja yang ingin merancang sebuah kota, di antaranya:

  1. Mampu membuat jalan secara proporsional, tidak terlalu sempit maupun lebar
  2. Hendaknya membangun sebuah masjid strategis di tengah kota, agar bisa dijangkau dari jalan manapun
  3. Mampu menyediakan pasar-pasar yang tersebar di penjuru kota, guna memudahkan penduduk dalam melengkapi kebutuhan mereka

Dukturoh Amal ‘Umri ikut berkomentar bahwa nilai suatu negeri dapat diukur dari konsep jalanan serta kenyamanan dan keamanan para pejalan kaki di tempat tersebut.

Dari beberapa syarat diatas menunjukkan betapa vital dan pentingnya sebuah jalan dalam kacamata Islam.

Bukti nyata yang masih bisa kita lihat sampai hari ini adalah masjid Qijmas al-Ishaqi yang terletak di kota kairo, masjid yang menjadi ikon di uang 50 Pound Mesir ini terbilang unik, karena tempat wudu dan tempat sholatnya terpisah oleh jalan kecil, dan dihubungkan oleh jembatan diatas jalan setapak tersebut. Meskipun hanya jalan kecil, tapi haknya harus tetap dipenuhi seutuhnya dan tidak bisa diremehkan, bahkan Imam Ghazali pun melarang menaruh kayu, ataupun menjemur biji-bijian di jalanan jika dirasa bisa mengganggu para pejalan kaki.

Baca juga:  Islam Struktural Vs Islam Kultural di Aceh

Imam Ahmad bin hanbal juga berpendapat jika suatu jalan yang sering dilalui orang menjadi sempit dikarenakan masjid, maka hendaknya masjid itu dihancurkan sebagian atau seluruhnya.

Kendati demikian, menghancurkan dan merobohkan suatu bangunan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan, ada aturan tertentu dalam pelaksanaannya. Bisa-bisa yang terjadi bukannya menegakkan hak jalan tapi malah merebut hak orang lain, yang tentunya haram secara mutlak.

Sebagai penutup, Syekh Abu Hamid mengakhiri risalahnya dengan kalimat “Inilah risalah singkat yang sengaja saya buat untuk menunjukkan betapa kemanusiaan dan haknya sangat dijunjung tinggi dalam Islam”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top