Sedang Membaca
Buku Baru: Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Nusantara dan Kajian-Kajian Pentingnya
Agus Wedi
Penulis Kolom

Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Surakarta. Aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta.

Buku Baru: Dinamika Tafsir Al-Qur’an di Nusantara dan Kajian-Kajian Pentingnya

Cover Tafsir Al Qur'an Di Nusantara

Sejarah Islam di Nusantara adalah sejarah teks kitab suci Al-Qur’an. Bentangan perjalanan Islam sejak kemunculannya dipengaruhi atau dibentuk oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an. Para ulama gencar mereflekksikan Al-Qur’an baik dalam ceramah atau dalam bentuk penafsiran Al-Qur’an. Disitulah ulama dan tafsir Al-Qur’an menempati posisi penting dalam sejarah peradaban Islam di Nusantara.

Mula-mula, di bumi Nusantara pengajaran Al-Qur’an hanya dibaca. Tetapi kemudian, dengan berbagai kontroversinya, ia diterjemahkan kemudian ditafsirkan. Jika boleh menyebut, banyak tafsir Al-Qur’an diterbitkan dalam berbagai bahasa, dari Melayu, Sunda, Jawa, hingga Madura. Dengan begitu, bisa dikatakan kemunculan dan perkembangan (kajian) tafsir di Nusantara tidak pernah mandeg, tetapi bergerak dinamis.

Respon atas perkembangan tafsir di Nusantara itu dikaji dalam buku ini, Tafsir Al-Qur’an Di Nusantara (2020) yang di editori Ahmad Baidowi. Artikel-artikel yang termuat merupakan kajian mendalam dan terfokus pada kajian Al-Qur’an. Mulai dari dinamika munculnya penafsiran (maudu’i) Al-Quran, hingga penafsiran di media sosial. Mulai dari aspek kecendrungan ideologis mufassirnya atau penulisanya, sampai pada pergulatan metode yang digunakannya.

Kegiatan kajian-kajian macam ini secara nyata sangat penting dilakukan. Sebagai penyampai ataupun pengembangan lebih lanjut. Sebagaimana sambutan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Prof. Dr. Phil. Kamardudin Amin, M.A, bahwa kerja ini bisa mengingatkan kepada masyarakat bahwa negara kita memiliki karya-karya yang luar biasa dan perlu dikenal oleh masyarakat Islam setidaknya di Indonesia. Juga, pentingnya memahami metode dan gagasan para ulama dalam membumikan ajaran atau nilai-nilai Al-Qur’an yang tidak mengesampingkan pendekatan sosial budaya dalam menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Alih-alih menghilangkan, warisan budaya intelektualisme Islam Nusantara, kajian terhadap karya-karya mereka bisa merevitalisasi karya anak bangsa menjadi bagian dari sejarah besar Indonesia.

Susur galur dinamika tafsir di Nusantara itu dikaji Afriadi Putra dalam artikel Khazanah Tafsir Melayu (Studi Kitab Tafsir Tarjuman Al-Mustafid karya Abd Rauf Al-Sinkili). Ia menjelaskan aspek penyusunan, tartib (sistematika), manhaj (metode tafsir) dan beberapa contoh aplikasinya Tafsir Tarjuman Al-Mustafid. Tafsir yang lahir perkiraan akhir abad ke 17 M atau awal abad ke 18 M dengan menggunakan bahasa Melayu-Jawi ini lengkap tiga puluh juz. Artinya, tafsir ini adalah tafsir pertama di Nusantara yang ditulis lengkap tiga puluh juz. Menurut Afriadi, tafsir ini lahir atas kegelisahan Al-Sinkili pada fenomena kontestasi penganut agama di Aceh, antara perkembangan penafsiran sufistik yang dikembangan oleh golongan Wahdat al-Wujud (ini diwakili oleh Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Samatrani), dan sikap golongan al-Raniri yang menganggap doktrin sufi telah menyebabkan banyak orang Aceh “menyimpang”. 

Baca juga:  Negara Rasional dan Politik Ashabiyyah Paham Keagamaan Kontemporer

Kondisi di atas menggugah hati Al-Sinkili untuk menulis tafsir sebagai bentuk jawaban kepada masyarakat untuk memahami ajaran Islam dan pesan-pesan Al-Qur’an. Sistematika Tafsir ini mengikuti tartib mushafi, di mana bentuk penafsirannya berdasarkan turunan ayat dan surat dalam mushaf. Ayat-ayat dituliskan kemudian diberi terjemahan sekaligus tafsir. Bahkan jika ada perbedaan qira’at, Al-Sinkili menerangkan dengan membuat faidah (menjelaskan bacaan imam-imam qira’at di ayat-ayat tersebut). Metodenya menggunakan tahlili/analitis. Menurut pemaparan Afriadi, tafsir Tarjuman Al-Mustafid masuk katagori Tafsir al-Ra’yi dengan corak al-ijtima’i (menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan menggunakan nalar, tetapi tanpa mengesampingkan pendapat dari sahabat-tabiin).

Sebenarnya, ada dua hal penting dalam kajian Afriadi ini. Pertama, posisi tafsir Tarjuman Al-Mustafid dari banyak pendapat, misalnya seperti Snouck Hurgronje yang dikutip Rinkes dan Vorhoeve dianggap terjemahan Tafsir al-Baidawi. Dalam pendapat itu, Afriadi tegas mengatakan, bahwa mereka berpendapat tanpa kajian mendalam, dan boleh jadi mereka terjebak dengan judul yang tertulis di cover: Tarjuman al-Mustafid wa Asrar al-Ta’wil lil Imam al-Qadi Nars al-Din Abi Sa’id ‘Abd Allah ibn Umar ibn Muhammad al-Syairaizi al-Baidawi. 

Kedua posisi tafsir Tarjuman Al-Mustafid ini disinyalir terjemahan dari Tafsir al-Jalalain. Pendapat mereka, seperti Peter G. Riddel dan Salman Harun, berangkat dari kesamaan metode dan gaya penafsiran yang sama persis dengan Tafsir al-Jalalain. Hal itu pula dikuatkan Azyumardi Azra, bahwa Al-Sinkili mempunyai sanad dengan Jalal al-Din al-Suyuti, maka itu Tafsir al-Jalalain bisa jadi dijadikan sumber utama penafsian. Afriadi secara halus menerima pendapat ini, meski dalam catatan bahwa Al-Sinkili juga mengutip Tafsir al-Baidawi dan Manafi’-al-Qur’an.

Baca juga:  Timur Tengah dalam Sastra Indonesia: Menimbang Kontribusi Fudoli Zaini (2/2)

Di buku ini pula, Abdul Mustaqim mengkaji Tafsir Faid al-Rahman, anggitan KH Shalih Darat, salah satu khazanah Tafsir Jawa yang fenomenal. Temuan Mustaqim, tafsir ini memuat banyak elemen-elemen penting yang kadangkala tidak dipahami bahkan disalahpahamai. Misalnya, Tafsir Faid al-Rahman bisa menyeimbangkan ketika menjelaskan makna-makna zhahir dengan makna batin (makna isyari) untuk menelisik pesan-pesan yang tersembunyi di balik teks Al-Qur’an. Bahkan, KH Shalih Darat tetap memperhatikan makna zhahir ayat Al-Qur’an, dan beliau mempersyaratkan ketika sesorang mufassir menafsirkan secara isyari, ia harus lebih dulu mengungkap makna zhahir. Dalam hal ini, ungkap Mustaqim, tidak ada indikator penafsiran KH Shalih Darat tampak anti syariat sebagaimana didengungkan sebagian orang. Justru dia ingin mempertemukan dimensi syariat dan hakikat sebagaimana Al-Ghazali.

Begitu juga dengan pemakaian bahasa Arab Pegon, menurut Mustaqim, itu adalah bentuk “vernakularisasi” (pembahasan lokal atas Al-Qur’an) yang mencerminkan elemen kultural Jawa, di mana Mbah Soleh tidak ingin mengambil jarak pada kondisi realitasnya orang-orang Jawa atau bahasa kaumnya. Juga, penggunaan Arab Pegon itu mengandung makna isyari, yaitu semangat anti kolonialisme Belanda ketika berupaya mempopulerkan huruf latin untuk kepentingan birokrasi. Tetapi, Mustaqim disini tidak menyebut bahwa penggunaan Arab Pegon itu sebagai bentuk strategi politik KH Shalih Darat untuk mencerdaskan orang Jawa yang kemudian bisa diajak melawan Belanda (paling tidak dari segi gagasan).

Di lembar bab tafsir ala pesantren, Islah Gusmian mengkaji Tafsir Yasin Karya KH. Bisri Mustafa Rembang, yang poros kajiannya mengacu pada sejarah penulisan dan metode penafsirannya. Pendapat Gusmian, Tafsir Yasin atau KH. Bisri Mustafa sendiri memainkan peran penting dalam menyuburkan keilmuan, bukan hanya di kalangan pesantren (meski ditulis dengan tradisi pesantren), tetapi pada kalangan umat luas. Dengan begitu, Tafsir Yasin ini menjadi salah satu dokumen penting mengenai dedikasi para kiai dalam dunia literasi. Di tangannya, lanjut Gusmian, menulis 176 karya kitab-tafsir bukan persoalan publikasi atau bisnis, melaikan sosial dedikasi pada penyebaran ilmu dan dakwah.

Babakan terakhir, Ulya Fikriyati mengkaji Madrasah Tafsir Virtual Di Indonesia Kontemporer: Geneologi dan Kontestasi Di Kanal Youtube. Dari pemetaan Ulya, madrasah tafsir pre-digital dibagi menjadi dua bagian: madrasah era awal, mencakup masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabiin; dan madrasah era lanjutan: yang meliputi madrasah tafsir yang ada pada era selanjutnya hingga abad kedua puluh. Madrasah tafsir di Indonesia mencakup: madrasah tafsir akademis seperti pesantren; madrasah tafsir populis semisal pengajian umum atau kelompok; dan madrasah tafsir politis yang dikoordinasi pemerintahan: dan madrasah tafsir virtual yang terseber di media sosial, seperti di Youtube, TV, dan sebagainya.

Baca juga:  Kitab Masa’il: Kitab yang Menyingkap Dialog antara Nabi Muhammad dengan Yahudi

Pembacaan Ulya, terhadap madrasah virtual Youtube di Indonesia dibagi menjadi dua tipe: eksklusif dan inklusif. Tipe eksklusif ini memosisikan diri dalam pola interaksi sosial dengan menanamkan logika opisisi biner dan membagi masyarakat Indonesia dalam dua kelompok: kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group). Ciri khas madrasah ini tergambar pada semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dan semangat hijrah. Di mana semangat itu digolakkan dengan sisipan dalil-dalil tafsir Al-Qur’an. Atau, ini bisa dilihat di siaran MTVnya.

Berbeda dengan eksklusif, tipe inklusif ini mempopulerkan pembacaan-penafsiran kitab suci secara harmonis. Karekternya terlihat dari referensi kitab-kitab (kuning) cetak dibandingkan sumber-sumber dari internet. Tipe ini, juga selalu mengajak pada jalan moderat dan rahmah li al-alamin. Termasuk, audiennya juga lintas kalangan dan generasi baik kaum urban, komunitas tradisional (desa). Tetapi mayoritas  adalah golongan kiai, santri dan orang muslim lainnya.

Kajian tafsir sebagaimana diterangkan di atas, memahami tafsir perlu melihat dari aspek pentingnya: objektivitas, pembelaan, keperpihakan. Mereka menekankan kemampuannya untuk mewujudkan sesuatu yang dianggapnya bernilai: dedikasi. Sekaligus menunjukkan ketekunan yang mengesankan. Hal itu tampak kontekstual, demi perwujudan kualitas pengkajian tafsir di era ini. Meski demikian, buku yang berisi lima belas artikel ini, butuh lebih banyak lagi ilustrasi berbagai kajian penelitian untuk membantu mendaratkan signifikansinya kepada mahasiswa apalagi ke komponen umat. 

Judul Buku: Tafsir Al-Qur’an Di Nusantara

Editor: Ahmad Baidowi

Penerbit: Ladang Kata

Cetakan I: Februari 2020

Tebal: 428 halaman

ISBN: 978-623-7089-67-4

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top