Perjalanan panjang RUU TPKS selama kurang lebih 6 tahun memasuki babak baru. Pernah mandek dalam pembahasan dan menuai prokontra, akhirnya pada Senin 28 Maret 2022, pembahasan substansi RUU TPKS bersama pemerintah dan Balegnas dimulai. Agenda ini dijadwalkan rampung pada 5 April 2022 dan diharapkan akan disahkan paling lambat pada tanggal 14 April di masa penutupan persidangan yang akan datang.
Seperti diketahui, ada beberapa hal substansif yang hilang ketika RUU TPKS ini disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR. Hal substansif tersebut terkait pengaturan ragam bentuk kekerasan yang banyak dipangkas, serta jaminan hak, pemulihan dan perlindungan korban yang hanya disebutkan di ketentuan umum.
Aktivis perempuan, Anis Hidayah yang mengikuti jalannya sidang mengatakan bahwa dirinya optimis hal substansif tersebut bisa goal dalam sidang pembahasan kali ini. Hal ini disampaikannya melalui live instagram bersama Kalis Mardiasih. Setidaknya itu yang dirasakannya selama mengikuti proses persidangan. Tentu ini adalah sebuah progres yang baik dan layak untuk diapresiasi.
Penting sekali untuk mengawal hal substansif dari RUU TPKS ini agar bisa goal dan akhirnya disahkan. Khususnya dalam konteks penanganan kekerasan seksual di wilayah konflik. Dalam situasi konflik, perempuan bisa menjadi korban berkali-kali. Konflik dan perang kerapkali dijadikan legitimasi simbol kekuasaan yang dipraktikkan dengan cara kotor dan hasrat seksual yang membabi buta. Perkosaan dan pelecahan seksual kemudian menjadi bagian dari situasi konflik yang seperti ini.
Kekerasan terhadap perempuan dalam situasi bersenjata umumnya didasarkan pada pandangan tradisionalis bahwa perempuan adalah hak milik (property) dan objek seksual semata. Sejak dahulu, perempuan diberi peran sebagai penerus kebudayaan dan simbol bangsa atau komunitas. Karena itu, kekerasan terhadap mereka dianggap sebagai serangan terhadap nilai-nilai atau kehormatan suatu masyarakat/komunitas yang diperangi.
Dalam konteks seperti itu, kekerasan seksual terhadap perempuan kemudian dijadikan senjata untuk melaksanakan teror mental agar hegemoni tegak berdiri. Perkosaan menjadi bentuk ejeken kepada laki-laki musuh karena gagal melindungi, merusak generasi pihak yang ditaklukkan, dan demoralisasi perempuan.
Perkosaan di wilayah konflik bukan hanya sekedar pelecehan seksual semata, namun menjadi strategi politik yang melambangkan kekuasaan dengan menghilangkan kehormatan perempuan pihak lawan. Dampaknya, impunitas menjadi subur saat konflik. Perempuan yang melapor akan mudah dianggap sebagai GAM/Oposan, atau menggunakan teror ancaman akan dibunuh keluarganya untuk membungkam korban.Tentu ini menjadi teror psikologis yang mematikan.
Romantisasi syariat dan adat yang memberikan stigma bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hinamemberikan dampak yang sungguh pelik. Penyangkalan suami yang berakibat pada KDRT dan perendahan istri sehingga koyak relasi keluarga, diolok-olok dan hidup dalam stigma yang berkepanjangan, hilang hak Pendidikan dan pemiskinan. Sehingga banyak kemudian korban kekerasan seksual ini yang memutuskan menjadi pekerja seks, dan banyak juga yang mengalami gangguan kejiwaan.
Pada bulan Juli 2003, Pengadilan Militer Lhoksumawe menvonis hukuman penjara antara 2,5 hingga 3,5 tahun terhadap 6 anggota TNI dalam kasus perkosaan di Aceh. Terlalu ringan jika dibandingkan dengan penderitaan korban yang berlipat-lipat.Ini menunjukkan bahwa relasi kuasa masih kuat. karena keputusan tersebut tampak lebih berpihak kepada pelaku kejahatan ketimbang korban. Penyelenggaraan kekuasaan tanpa kontrolatas nama situasi darurat demi keutuhan nasional pun dilanggengkan.
Padahal dalam konstitusi disebutkan bahwa hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat terkurangi dalam situasi apapun, baik dalam situasi konflik bersenjata maupun pada situasi darurat sekalipun.
Melihat realitas di atas, maka penting sekali untuk segera memberikan payung hukum yang komprehensif dan berpihak pada korban. Di sinilah urgensi RUU TPKS yang diharapkantidak hanya menghukum keras pelaku kekerasan seksual, namun juga layanan terpadu untuk memenuhi jaminan hak, pemulihan dan perlindungan korban.
Sebagai kelompok rentan, perlindungan dan kepentingan perempuan harus menjadi prioritas pada masa mitigasi konflik dan pasca konflik sekalipun. Keadilan yang berpihak pada korban harus ditegakkan. Bagaimana prosedur pelaporan dan keseluruhan hukum acara peradilan itu berpihak pada korban. Jangan sampai korban menjadi korban birokrasi seperti polisinya tidak responsifketika ada pelaporan, atau belum mempunyai perspektif adil gender. Penting juga pedampingan korban dan saksi sehingga korupsi dan segala ancaman dalam sistem pengadilan bisa terhindarkan.
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan, Jaminan atas hak untuk mendapatkan reparasi yang meliputi jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi juga menjadi langkah pemenuhan dan jaminan ketidakberulangan. Karenanya, membangun layanan sebagai ruang aman berbasis komunitas yang mendukung pemulihan trauma, edukasi dan pencegahan konflik menjadi urgen untuk ditunaikan.