Akibat penunjukan persona yang tidak right man in the right place , industri musik nasional tidak tertata dengan baik dari hulu ke hilir. Karena menjadi persoalan klise dan klasik di birokrasi, penunjukan nama seorang pejabat, cenderung asal comot saja. Yang penting ada yang mengisi posnya.
“Meski selalu memiliki titik pukau, namun industri musik nasional sangat bergantung kepada sponsor yang terkadang tidak memberikan posisi tawar yang adil,” terang Aldo sembari menambahkan, bahwa pasar musik tidak mengalami banyak perubahan di Indonesia.
Tetapi yang berubah adalah audiens yang saat ini dikuasai oleh Generasi Z (1995-2010). Generasi yang sangat fokus kepada artis semata. Aldo menjelaskan, selama semua pelaku industri mau bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan top 5 problems yang harus ditetapkan terlebih dahulu maka, generasi selanjutnya akan lebih mudah untuk melakukan eksplorasi berkelanjutan.
“Negara harus punya rasa percaya, nyali, dan komitmen untuk melakukan kampanye konten musik Indonesia dalam jangka panjang. Yang dimulai dari skala Asia Tenggara terlebih dahulu. Semua Kedutaan Besar Indonesia harus melaksanakan program berbujet dengan KPI (Key-Performance-Indicator) yang dikontrol dari Pusat. Program ini paling tidak berdurasi 25 tahun,” kata Aldo memberikan rumusan.
Hal senada diungkapkan Eric Martoyo. Menurut dia, prasyarat dan syarat mendasar apa yang dibutuhkan agar “Industri musik hari ini dan ke depan” terus berkembang? Yaitu dengan membangun kesadaran estetika masyarakat dengan musik-musik bermutu yang mengandung local content dan local context.
Apa yang dikatan Eric dan Aldo, berbanding lurus dengan harapan pemerhati, penggiat dan kolomnis musik senior Denny MR. Manajer God Bless ini mengatakan, kehadiran negara dalam membangun peta apalagi ekosistem industri musik Indonesia belum ada. Dengan kata lain Denny MR ingin mengatakan industri musik Indonesia berjalan secara auto pilot.
“Tempo hari Bekraf nampaknya sudah berusaha hadir sebagai payung bagi dunia kreatif. Hanya saja hasilnya belum maksimal, sudah keburu terjadi pergantian antar waktu. Setelah nama lembaga itu berubah menjadi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, biasanya akan ada regulasi baru, ” kata Denny MR.
Turunannya, imbuh Denny MR, persoalan pun akan mentah lagi. “Pemerintah harus benar-benar hadirlah jika ingin Harmusnas memiliki makna. Selama ini para seniman musik berjuang sendiri-sendiri baik di kancah daerah, nasional mau pun internasional. Isu pembajakan sudah nggak up date untuk diperdebatkan,” katanya.
Sepenceritaan Denny MR, industri musik nasional pernah menjanjikan ketika era digital menggeliat di sini, tapi kemudian menjadi tidak sehat karena tidak adanya regulasi yang jelas.
Padahal itu adalah harapan baru bagi para musisi setelah era analog (fisik) berakhir. “Hari ini mulai terasa mulai ada pembenahan. Saya berharap betul pada teman-teman yang kini duduk di kepengurusan seperti James F. Sundah, Ebiet G. Ade, Adi Adrian dan Irfan Aulia. Karena, maju atau mundurnya industri musik sedikit banyak akan tergantung kepada mereka,” harap Denny MR, sembari berharap semua pemangku kepentingan harus mempunyai ketegasan dalam menjalankan regulasi.
Terutama penyelenggara negara. Sebab, pemerintah harus hadir di segala lini. “Korea bisa hadir di negara kita, hingga mempengaruhi gaya hidup karena pemerintahnya habis-habisan mendukung sehingga musisinya dapat berkonsentrasi pada profesionalisme. AS juga memberi perlindungan kepada musisinya, karena sadar betul mereka merupakan salah satu sumber devisa. Begitu juga dengan Eropa,” tekan Denny MR.
Negara, Di Mana Dirimu?
Peran negara seperti apa yang harus dilakukan, jika berkaca dengan kehadiran negara dalam industri musik Korea atau AS, juga Eropa yang melaju dengan cara idealnya?
Serta hal mendasar apa yang paling dibutuhkan untuk membangun ekosistem industri musik, juga perkembangan musik Indonesia kiwari dan ke depannya. Apakah negara sudah berada di jalur yang benar? Atau belum menjalankan fungsinya sepatutnya?
Menurut Ahmad Mahendra, Direktur Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendikbud RI, negara sudah hadir dalam pembentukan iklim industri musik Indonesia. “Buktinya ada Hari Musik Nasional,” kata Ahmad Mahendra, merujuk pada Harmusnas yang diharapkan dapat menjadi medium pengembangan ekosistem musik yang berkelanjutan. Sekaligus evaluasi dan menampung masukan-masukan dari masyarakat, yang kemudian akan ditindaklanjuti untuk perbaikan perayaan atau selebrasi hari musik nasional.
“Harmusnas sebagai momentum penting bagi setiap insan musik untuk lebih meningkatkan setiap upaya mengembangkan ekosistem musik Indonesia. Selain itu, Harmusnas juga menjadi saat yang tepat bagi negara untuk memberikan penghargaan atau anugerah kepada insan musik yang berprestasi dan berjasa memajukan iklim permusikan di Indonesia, baik nasional maupun internasional,” terang Mahendra.
Dia menambahkan, Negara telah hadir untuk melindungi dengan membuat regulasi yang ditetapkan dengan mengacu dan menyerap aspirasi insan musik Indonesia. Selain itu negara juga hadir untuk mengadvokasi pelaku musik Indonesia.
“Sejauh ini perkembangan musik Indonesia secara umum bergerak mengikuti arah perkembangan musik dunia. Harus diakui bahwa ada kendala seperti belum optimalnya penerapan hak atas kekayaan intelektual, namun itu tidak menjadikan industri musik menjadi stagnan atau bahkan mundur ke belakang. Melalui program-program prioritas seperti regulasi, advokasi dan aktivitas-aktivitas seperti kompetisi piano, kompetisi band mahasiswa dan revitalisasi lagu-lagu anak, pemerintah melalui Kemdikbud menjalankan amanah UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” terang Mahendra.
Negara, menurut Mahendra bahkan telah menyiapkan prasyarat dan syarat mendasar yang dibutuhkan agar “Industri musik hari ini dan ke depan” terus berkembang.
“Prasyarat mutlak adalah kesadaran bahwa musik dan industrinya harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sudah ditetapkan melalui UU No. 5 Tahun 2017. Industri musik Indonesia harus lebih baik dan terus berkembang dengan mengedepankan nilai-nilai ke-Indonesiaan dan mampu berkreasi dan berinovasi sehingga mampu berkiprah di pergaulan internasional,” katanya.
Mahendra memastikan Negara hadir sebagai fasilitator yang dapat memberikan dorongan agar insan musik Indonesia, untuk dapat meningkatkan kreatifitas dan produktifitas musik Indonesia.
Serta membangun ekosistem musik Indonesia secara berkelanjutan. Serta memberikan ruang kepada insan musik Indonesia untuk berkreasi seluas-luasnya dan menjamin tersedianya sumber daya dan sistem yang mendukung ekosistem musik Indonesia.
“Tidak kalah penting juga mengenai pemanfaatan dan regulasi keberadaan media-media baru pendukung industri musik seperti Spotify, Youtube dan sejenisnya,” katanya.
Meski jika dikomparasikan dengan negara regional (Asteng) posisi industri dan musik Indonesia menurut Mahendra, masih bisa bersaing. “Untuk informasi yang lebih akurat mengenai komparasi, tentunya dibutuhkan riset yang mendalam. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini pemusik-pemusik Indonesia mendominasi pasar musik tidak saja di Indonesia, tapi juga merambah negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura,” kata Mahendra.
Hal senada diungkapkan Eric Martoyo. Pelaku industri musik Indonesia membutuhkan sesuatu yang sederhana. Yaitu kepastian hukum. “Perlindungan dan penegakan hukum bagi karya cipta lagu. Memajukan musik tradisional Indonesia, serta mendidik selera estetika masyarakat,” kata Eric.
Bagi Eric, kualitas seni-budaya Indonesia termasuk musik, berada jauh di atas negara-negara lain di Asia Tenggara. “Ini yang saya sebut sebagai modal besar. Namun bila musisi, pelaku industri dan pemerintah tidak menyadari hal ini dan tidak berbuat sesuatu maka lambat laun potensi ini akan pudar bahkan hilang. Peluang yang saat ini terbuka akan diisi oleh seni-budaya negara-negara medioker, ” tekan Eric.
Atau dalam bahasa Aldo Sianturi, sebagai Negara, Indonesia harus segera melakukan human capital development untuk sektor bisnis musik. “Musisi di Indonesia itu over-supply namun tenaga pemasar dan pengembang yang mengawal karya cipta itu sangat tidak seimbang jumlahnya. Akhirnya setiap tahun ceritanya selalu sama, semua orang hanya ingin jadi terkenal, jadi bintang, jadi idola namun hilang dalam beberapa tahun,” kata Aldo masygul.
Meski sebenarnya, menurut Aldo, Indonesia selalu disegani di pasar Asia Tenggara, karena geliat musik dalam negerinya. “Namun ya cuma segitu. Belum banyak musisi Indonesia yang dapat menciptakan nilai ekonomi seperti musisi Filipina yang berorientasi ke seluruh belahan dunia. Musisi Indonesia harus lebih bekerja keras dan secara total diekspos oleh Negara Indonesia,” katanya.
Serupa meski tak sama, Denny MR mengatakan, program ekosistem industri musik harus benar-benar dieksekusi. “Jangan berhenti pada wacana,” kata Denny MR sembari menambahkan, Konferensi Musik Indonesia pertama pada 7-9 Maret 2018 di Ambon dengan fokus musik sebagai kekuatan baru ekonomi harus benar-benar diwujudkan.
“Sampai sekarang sih, hasilnya belum keliahatan. Saya lihat masih tumpang tindih he he!,” katanya sembari menyepakati pendapat Eric Martoyo, dan Aldo Sianturi.
“Kalau parameternya Asia Tenggara, industri kita boleh dibilang sejajar. Secara kreatif, musik Indonesia jelas lebih maju dibanding Singapura, Laos atau Brunei karena Indonesia didukung oleh kultur sangat beragam yang menjadi oase tak ada habisnya bagi kreatifvitas,” pungkasnya (habis). (SI)