Pada masa 1950-an, Kirdjomuljo tercatat sebagai pujangga penting dan berpengaruh di Indonesia. Ia tekun menggubah puisi dan membesarkan (naskah) teater. Ratusan puisi digubah mengabarkan alam, menuntun pembaca menikmati sawah, sungai, gunung, pepohonan, dan lain-lain. Ia teranggap fasih menekuni perpuisian alama. Kirdjomuljo pun tergetar dengan lakon-lakon kebangsaan. Puisi-puisi kondang biasa bertema kebangsaan, memuliakan para tokoh pergerakan, sejak masa kolonial. Puisi-puisi berseru Indonesia.
Ia mendahului berpuisi, sebelum kemonceran Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, dan lain-lain. Pada masa 1950-an dan 1960-an, pergaulan di Jogjakarta memungkinkan para pengarang memasuki pelbagai ranah seni. Mereka bersastra tapi tekun pula dalam musik, teater, atau film. Pergaulan itu memungkinkan ada gejolak-gejolak berbahasa dan olahan tema. Pergaulan makin terbaca dalam penerbitan majalah-majalah seni di Jogjakarta atau terbit di Jakarta tapi beredar di Jogjakarta. Kirdjomuljo hadir dengan pilihan mengisahkan alam dan kebangsaan tapi kadang mengerjakan tema-tema berbeda. Di tema religius, ia malah tak luwes. Kita menduga gara-gara ia memang jarang sampai masalah keagamaan dan ketuhanan secara rutin dalam biografi kepengarangan.
Ia pernah menggubah puisi berjudul “Tuhanku”. Kita membaca ada kekakuan dibandingan puisi-puisi lain. Simak kutipan sebait: Tuhanku tahu laut yang kukehendaki/ Di mana perahu-perahu melancar/ Memburu gairah untuk mengucap untuk menjawab/ Tetapi kepadamu segala kukembalikan. Puisi biasa saja dalam bermain metafor. Keinginan sampai ke religius agak terbaca dalam puisi berjudul “Tidak Ada Jalan Lain.” Ia tak mencantumkan Tuhan dalam puisi tapi pembaca merasa ada kedekatan. Kita membaca: Bila akhirnya harus terjadi ajalku yang terhina/ Ujung tikaman sampai ke ujung usiaku// Tidak aku memilih jalan lain. Datang yang hendak datang/ Mati seorang lewat seribu jalan. Puisi tanpa sesak simbol agama. Pada akhir, ia malah menulis lagi kebangsaan. Ia kembali lagi mengukuhkan sebagai pengisah kebangsaan.
Puisi berjudul “Pintu ke Mana” justru terbaca ada kedalaman religius. Di situ, pembaca sudah menduga pencarian dan kebingungan memilih. Situasi wajar bagi orang-orang mengolah batin. Puisi bermetafor pintu, lanjutan dari penggunaan dalam puisi-puisi terdahulu sering dalam sastra-tasawuf. Pada masa orang-orang ingin berbahasa dan mengabarkan simbol-simbol kemodernan, pintu tetap tercantum dalam puisi-puisi ditulis dalam bahasa Indonesia, sejak awal abad XX. Chairil Anwar pun memerlukan “pintu”. Kita menuju suguhan Kirdjomuljo (1967): Daun-daun pintu terbuk. Angin mendesak/ Langkah yang termangu kurasa membantu/ Di dalam kelam, di luar kelam/ Seribu kata mencengkam gelisah/ Aku bertanya. Tetapi dunia membisu. Pada masa 1950-an, sastra Indonesia mendapat pengaruh filsafat eksistensialisme. Kita menduga sekian puisi dimaksudkan menampung gejala-gejala pengaruh filsafat, selain mendalamkan makna alam dan religius.
Filsafat terasa dalam deret kata. Kita pun menduga ada penguatan dalam pengalaman batin, mendekati ke khazanah tasawuf. Kita membaca lagi: Daun-daun pintu terbuka. Tetapi pintu siapa?/ Tak dapat kutahu lewat derita manapun/ Tak dapat kutahu lewat rongga nafasku/ Aku memang tidak menuju ke mana pun. Larik-larik itu pergumulan atas pencarian dan kesanggupan memasuki jalan kerohanian. Bimbang termiliki, sebelum menentukan dan bergerak melalui pintu. Gagal dalam penentuan, manusia berada di tempat sama dalam derajat sulit meningkat atau jatuh dalam kesemuan. Kirdjomuljo tak membuat khotbah tapi menginginkan puisi itu mendalam. Kita simak: Kecemasanku bila kutak sampai/ Kepada suara yang pernah memanggil dalam kelam/ Dari sebuah perahu layar. Sebuah perahu layar/ Yang menuju ke dalam kekelaman lautan/ Tetapi kenapa harus kucemaskan. Kita membaca tiada kepastian. Manusia belum tentu bergerak dan sampai. Begitu.