Sedang Membaca
Kisah Kefanatikan Kiai Ali Maksum pada Timnas Argentina

Lahir di Gresik, 19 Oktober 1996. Riwayat Pendidikan: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sosiologi Agama, Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta. Aktif di Lembaga: Lingkar Studi Pengembangan Pondok Pesantren (LSP3), ISAIs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Institute For Humankind and Political Studies Yogyakarta. Media Sosial: FB: Afrizal Qosim Sholeh, IG : @afrizalqosim, Twitter: @afrizal_ahmad

Kisah Kefanatikan Kiai Ali Maksum pada Timnas Argentina

Copa Amerika mendentam, usai Argentina dipaksa menerima kenyataan duduk di peringkat ketiga kasta tertinggi Benua Amerika Selatan tersebut. Perhelatan itu memang telah usai, namun perkara yang menyangkut La Albiceleste beserta bintangnya Lionel Messi masih berlanjut, bahkan kabar terkini, La Pulga (Si Kutu, Lionel Messi) dihadapkan pada reputasi karier sepakbolanya sebab menuduh Conmebol korup dan mencurangi Argentina.

Mau seperti apa, Copa America 2019 sudah memilih juaranya: Brasil. Tapi di sisi lain, perhelatan akbar ini menarik ingatan saya pada kisah seorang kiai yang sebegitu fanatiknya terhadap Argentina di era Diego Maradona. Berikut kisahnya.

Jagad pesantren adalah makelar budaya. Pesantren menyajikan sajian unik, represif, dan tentunya ideologis. Sajian unik itu, selain terlihat dari gairah masyarakat pesantren itu sendiri, juga terlihat dari kehidupan luar yang memengaruhi. Ranah kehidupan luar dalam pesantren tidak mengganggu, tidak pula merusak, tetapi menjadi warna baru yang mendampingi kaum santri.

Seperti sepakbola, jenis olahraga yang kepalang mendunia ini, hampir digemari masyarakat dari berbagai kalangan. Gemar yang dimaksud adalah gemar memainkannya dan juga menonton pertandingannya. Mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, lansia, laki-laki maupun perempuan, bahkan kiai pesantren masuk dalam kategori tersebut.

Di antara banyak kiai yang gemar sepakbola, tersebutlah Kiai Ali Maksum. Menantu Kiai Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.

Mbah Ali, biasa orang menyebutnya, adalah salah satu kiai pengagum bola. Dalam dunia bola beliau mengagumi Argentina, yang di era tersebut, masih dipunggawai oleh Sang Tangan Tuhan, Diego Armando Maradona.

Baca juga:  Nasruddin Hoja dan Seekor Kucing

Kekaguman beliau terhadap Argentina terbilang fanatik. Pasalnya, ketika perhelatan akbar Piala Dunia, Mbah Ali sengaja memasang jadwal pertandingan Piala Dunia di depan rumahnya, tepat di jendela rumah. Hal ini, membuat santri yang tidak tahu maksudnya, terheran-heran hingga menjadi pembicaraan serius di setiap asrama santri beliau.

Pertanyaan yang selalu didaras santri beliau adalah pertanyaan “Kenapa Mbah Ali memasang jadwal pertandingan Piala Dunia di depan rumahnya?” Berbagai asumsi jawaban pun muncul. “Mungkin Mbah Yai tidak menghendaki kita untuk melihat Piala Dunia sebab jadwal pertandingannya selalu berbenturan dengan jadwal mengaji kita”, ucap Salim dengan rokok ting-we (nglinting dewe) di tangan kanannya.

Asapnya mengepul memenuhi ruangan kamar. Sejenak kamar menjadi hening hanya kopi, asbak, dan kepulan asap rokok Salim yang berani berperan. “Iya, iso wae, kalau kita tidak terlihat dalam pengajian dan ketahuan nonton bola, mesti kenek takzir! mesti kuwi!”, timpal Bejo, yang baru berbicara ketika selesai menyetrika baju dengan setrika arang yang disewanya dari lurah pondok seharga lima perak per pakaiannya.

Mendengar argumen-argumen dari Salim dan Bejo tersebut, para hadirin yang notabene masyarakat kamar diam meng-iya-kan. Mereka memakai terminologi ijma’ bissukuti (bersepakat dengan diam).

Tetapi yang didapati para santri berbeda dengan ekspektasi mereka sebelumnya. Ketika jama’ah maghrib usai, para santri berbondong-bondong menuju rumah kiai, mengaji. Banyak yang terlambat karena tertidur di masjid. Sandal-sandal tertata rapih di depan rumah kiai.

Saking rapinya, dikira tikar, banyak santri yang terpaksa duduk di hamparan sandal tersebut. Karena melihat di dalam sudah penuh. Masing-masing dari mereka mencari tempat proporsional yang compatible bagi pantat mereka, sebab pengajian kiai tidak sebentar.

Baca juga:  Mbah Dim Dan Lawatan Gus Usman dalam Buku Anjangsana

Bisa sampai tengah malam. Biasanya lima sampai sepuluh halaman kiai memaknai kitab kuning yang masih gundul tersebut, kemudian dibandong para santri yang juga memegang kitab yang masih gundul. Yang belum ada maknanya.

Namun, apa dikira, Mbah Ali berhenti di halaman ketiga, wallahu a’lam bisshowab, ikhtitam kiai. Sontak para santri merasa kaget. Mereka saling pandang satu sama lain, memasang raut muka penuh tanda tanya.

Perlahan sambil menutup kitab, membenahi tempat duduk dan minum sedikit air, yang sebelumnya sudah disediakan Bu Nyai, Mbah Ali berujar. “Kang, sakniki Argentina lagi tanding. Aku nonton sek yo, lah itu jadwal pertandingannya sudah saya pasang. Lah, kalau Argentina tanding, ngge kulo dimaklumi Kang”, dengan senyum manisnya beliau terkekeh, diikuti para santri yang tadinya merasa bingung.

 

*Kisah ini disadur dari sambutan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin pada Haul KH Ali Maksum, 28 Februari 2015. (atk) 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top