Sedang Membaca
Era Abbasiyah: Mistisme sebagai Etika Pembebasan
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Era Abbasiyah: Mistisme sebagai Etika Pembebasan

Abbasiyah

Abbasiyah adalah kekhalifahan Islam yang masuk dalam periodisasi ketiga setelah runtuhnya kekhalifahan Umayyah. Abbasiyah berkuasa sekitar lima abad sejak 750 M sampai 1258 M. Selama berkuasa, Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh 37 Khalifah, termasuk pemerintahan yang terbilang lama setelah Dinasti Turki Utsmani. dari sekian banyaknya khilafah, Abbasiyah memiliki pemimpin yang memiliki jiwa patriotisme seperti Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun. (Muhammad Habib Adi Putra and Riyadi 2022)

Ketika ibu kota Abbasiyah dipindahkan dari Kuffah ke Baghdad mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. Baghdad menjadi saksi masa keemasan Dinasti Abbasiyah mulai dari berkembangnya ilmu pengetahuan, kestabilan ekonomi, politik dan administrasi pemerintahan.

Dalam Ilmu pengetahuan muncul berbagai macam disiplin ilmu yang lebih maju dan relevan, seperti Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Balaghah, Mantik hingga Sastra. Kemajuan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan atas peran khalifah yang membolehkan para pelajarnya untuk mengkonsumsi ilmu-ilmu yang berasal dari non-Arab. Akhirnya banyak buku-buku atau pemikiran yang berasal dari Yunani, India dan Persia yang diterjemahkan ke bahasa Arab oleh para sarjana. (Muhammad Habib Adi Putra and Riyadi 2022)

Perkembangan keilmuan era Abbasiyah baik di bidang Ilmu Agama atau Sains dan Teknologi disebabkan ada beberapa elemen pendukung, diantaranya adalah pembentukan gerakan penerjemah pada masa pemerintahan Al-Mansur, Harun Rasyid dan Al-Makmun untuk dikirim ke berbagai daerah semisal Konstantinopel untuk mengkaji dan mengambil ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Kemudian diterjemahkan dan diajarkan di berbagai sudut meja sekolah. Ilmu tersebut diantaranya adalah filsafat, logika, kedokteran, matematika, astronomi, musik, geografi dan sejarah. Bahkan Al-Makmun pernah meminta buku-buku pengetahuan dari Raja Romawi untuk diterjemahkan ke bahasa Arab. (Daulay, Dahlan, and Putri 2021)

Baca juga:  Warisan Ketegangan: Soeharto, NU, dan Umat Nasrani di Awal Orde Baru

Elemen pendukung selanjutnya adalah perpustakaan Bait Al-Hikmah dan Darul Hikmah yang menjadi pusat pembelajaran kebudayaan Islam era Harun Al-Rasyid. Perpustakaan ini sekelas dengan universitas karena setiap pojoknya terdapat buku dan kitab yang layak untuk dibaca. Selain itu, tempat ini kerap menjadi ruang diskusi para ulama untuk mengkaji berbagai ilmu pengetahuan.

Perdebatan Teologi

Perkembangan ini menjadi titik berangkat kemajuan sebuah negara. para penguasa menjadi berdaya dalam memimpin pemerintahan, pendapatan negara mulai meningkat melalui para ekonom-ekonom yang dimiliki dan ilmu pengetahuan berkembang  melalui para ulamanya. Kemajuan ini, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan memunculkan banyak paham dan sekte baik dari bidang teologi, fiqih dan lainya. Masing-masing paham tentu memiliki tendensi tersendiri dan saling menguatkan argumentasinya.

Pemikiran teologi Islam yang menikmati manisnya kejayaan Abbasiyah adalah aliran Mu’tazilah yang diprakarsai oleh Washil Bin Atha yang didirikan akhir kekuasaan Dinasti Umayyah. Aliran ini dulu tidak terlalu diminati oleh masyarakat sehingga namanya belum terlalu familiar namun setelah terjadi banyak konflik internal di Dinasti Umayyah, Mu’tazilah memerankan strateginya dengan mendukung Dinasti Abbasiyah untuk meneruskan tonggak kekhalifahan Islam di Bumi. Aliran ini satu-satunya yang ditetapkan sebagai dasar negara pada era Al-Makmun sehingga seluruh hakim dan calon hakim harus mematuhi teologi yang ditawarkan oleh Mu’tazilah. (Muhammad Habib Adi Putra and Riyadi 2022)

Baca juga:  Ganja dalam Literatur Islam

Dengan adanya kebijakan tersebut, muncul juga lembaga mihnah semacam lembaga hukum untuk masyarakat umum guna menyeleksi paham dan menguji orang yang menentang paham tersebut. Ahmad bin Hanbal adalah salah satu dari deretan nama ulama yang menjadi korban hukuman dari penguasa karena keberanian dan kegigihan dalam memperjuangkan pemikirannya.

Selama Al-Ma’mun  berkuasa dan penerusnya, Mu’tazilah menghiasi kisah-kisah keemasan Abbasiyah. Peran teologi menjadi penting dalam urusan politik kenegaraan. Namun pada giliran Al-Mutawakkil berkuasa, Mu’tazilah tidak lagi mendominasi dalam perkembangan paham teologi di wilayah Abbasiyah. Kemudian, muncul Abu Hasan Ali Al-Asy’ari dari Baghdad murid tokoh Mu’tazilah yaitu Al-Jubba’i. Membantu Al-Mutawakkil untuk menghilangkan teori-teori Mu’tazilah dan merekonstruksi ajaran ortodoks yang sekarang menjadi paham ahlussunnah wal jamaah (sunni).

Pemikiran Al-Asy’ari terus berkembang dan mudah diterima oleh banyak kalangan, meskipun dalam prosesnya, paham teologi ini juga mengalami penolakan oleh guru-guru Al-Asy’ari dari Mu’tazilah. Namun banyak argumen yang dipatahkan oleh Al-Asy’ari dengan pandangan-pandanganya yang logis dan filosofis. Teologi Al-Asy’ari ini kemudian dirampungkan oleh Abu Hamid Al-Ghazali seorang ulama dan teolog  Islam terkenal.

Mistisisme Islam (Tasawuf) dan Pembebasan

Perdebatan teologi dan ilmu lainya menjadikan Abbasiyah sebagai pusat keilmuan yang menjadi rujukan dunia. Namun titik lemahnya adalah formalisme ajaran Islam dan Al-Quran menjadi suatu konsekuensi dalam kekuasaan. Perputaran politik dalam Kekhalifahan Abbasiyah menjadi medan pertarungan teologi dan doktrin keilmuan lainya. Sehingga para ulama dan masyarakatnya dinilai mulai menjauhi batas-batas syari’at dan lupa dengan kebesaran Allah swt. (Muhammad Habib Adi Putra and Riyadi 2022)

Baca juga:  Surat-Surat Politik Imam al-Ghazali

Sehingga pada saat itu muncul ilmu mistisisme Islam atau Tasawuf. Pada awalnya Tasawuf bukanlah aliran atau paham namun hanya cara pandang dan perasaan dalam beragama. Tasawuf menjadi  jalan atau wasilah untuk kesadaran masyarakat muslim saat itu. Selain itu, tasawuf menjadi jalan tengah untuk tidak terbelenggu oleh keemasan dan kejayaan kekhalifahan yang sangat intim dengan hal duniawi atas kegemilangannya. Hal ini harus diimbangi dengan urusan kebutuhan akhirat. Era golden age ini menjadi kenyamanan dan kemewahan Abbasiyah, khususnya dari segi ekonomi. Juga menjadi keangkuhan dalam perkembangan dan perdebatan ilmu pengetahuan sehingga masyarakat Islam dan khalifah butuh tasawuf sebagai obat penawar atas kegemilangan dunia.

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top