Salah satu yang saya banggakan dari NU adalah tradisi otokritik, mengkritik diri sendiri, kritik yang dilancarkan oleh orang dalam. Tak jarang memang terlewat blak-blakan, sehingga bikin kuping merah.
Tradisi otokritik di NU/pesantren tidak mulus-mulus saja. Siapa sih yang tidak “kaget” dikritik temannya sendiri, diinterupsi anggota keluarga sendiri?
Otokritik betul-betul bikin “awak ngilu”. Mendengar kritik dari dalam, badan ini seperti sedang diurut, ngilu betul. Yang tidak tahan, akan berontak, marah, . Yang bahkan menyerang balik. Yang setengah tahan, akan diam saja, sambil menahan ngilu. Yang ketahanannya di atas rata-rata akan tenan-tenang saja, bahkan mengambil sisi positif dengan cepat, sambil kasih pemahaman pada teman-temannya yang tidak tahan atau hanya setengah tahan.
Tradisi otokritik sudah ada sejak awal NU berdiri. Satu contoh, kalau kita baca majalah NU terbitan tahu 40an, ada dua orang yang kerap berbalas opini. Satu orang mengkritik bahwa NU/pesantren terlalu longgar dalam menseleksi kader, bahkan orang ini bilang banyak orang bukan ulama diminta posisi sebagai ulama. Ada yang merespon opini tersebut dengan tenang, menerima kritikan, tapi juga menolak beberapa argumen yang mendasari kritik itu, dengan santun. Siapa dua orang yang saling berbalas di media ini?
Orang pertama bernama Abdul Karim Hasyim. Orang kedua adalah kakaknya sendiri, Abdul Wahid Hasyim. Keduanya adalah putra Hadratusy Syekh Muhammad Hasyim Asy’ari. Ya, keduanya saudara kandung pendiri NU.
Kiai Wahid Hasyim sendiri kritis pada NU, hingga pada suatu saat diisukan telah keluar dari NU.
Tak hanya itu, fatwa Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari sendiri juga sering mendapat fatwa “tandingan”, dikritik dari dalam oleh sesama kiai. Kalau kita baca “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” karya Kiai Saifuddin Zuhri ada satu adegan Mbah Hasyim risau karena fatwanya menghalalkan drumband ditolak sahabatnya melalui surat pribadi.
Kiai Abdul Wahab Chasbullah, ulama kharismatik setelah Mbah Hasyim sering mendapat kritikan dari para kiai, terutama oleh Kiai Bisri Syansuri, adik iparnya sendiri. Kiai Idham Chalid yang memimpin NU sangat lama, adalah “sasaran empuk” teman-temannya. Bagaimana dengan Gus Dur?
Oh, cucu pendiri NU ini berkali-kali “disidang” kiai-kiai, baik persidangan formal ataupun informal, sekedar kritik lewat sindiran-sindirian di pengajian atau obrolan. Kiai Hasyim Muzadi dan Kiai Said Aqil tentu saja ketua umum PBNU yang kenyang kritik dari tubuh NU sendiri.
Pertanyaan, mengapa tradisi otokritik di NU begitu hidup?
Banyak jawabannya, tapi saya ingin mengajukan satu jawaban saja. Apa itu?
Adalah tradisi Islam bermazhab yang punya andil besar menghidupkan tradisi otokritik di lingkungan NU. Kiai-kiai saling mengkritik atau mengkritik NU, organisasinya biasa saja, seperti mereka biasa membaca perbedaan dalam tradisi intelektual Islam klasik, baik dalam disiplin ilmu kalam, tasawuf, fikih, hingga bahasa. Tentu saja politik.
Saling kritik, saling mengungguli satu pendapat atas pendapat lainnya biasa saja. Bahkan, kritik tidak hanya terjadi antarmazhab, tapi juga mazhab yang sama. Kita tahu misalnya dalam mazhab fikih Syafi’iyah, ada Imam Nawawi, ada Imam Rafi’i.
Tentu saja, tradisi ini tidak selamanya positif. Ada juga dampak negatif. Misalnya ada saja “nada” yang tidak kompak, tidak sesuai irama yang diatur pemimpin orkesta. Tapi secara umum, tradisi otokritik ini menghidupkan NU, Nahdliyin amat dinamis, berkembang pemikiran yang tidak biasa-biasa saja. Namun, ada satu bab di NU yang “mujma ‘alaih”, bulat, tidak pro dan kontro, yakni bab ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
Bagaimana dengan ormas lain?