Pertama kali bertemu sosok mulia ini, KH. Agus Sunyoto, adalah saat mengikuti PKPNU (Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama) di Rengasdengklok Karawang Jawa Barat tahun 2013.
Beliau mengisi banyak sesi, tidak hanya satu sesi. Sejarah kepahlawanan ulama-ulama NU beliau sampaikan secara mengalir deras tanpa henti. Beliau hafal di luar kepala tokoh, tahun, alur cerita, dan friksi yang terjadi yang intinya menghilangkan peran kesejarahan ulama dan Nahdlatul Ulama dalam sejarah bangsa.
Beliau meluruskan sejarah yang coba dibuang oleh rezim yang berkuasa. Penggalian sejarah beliau mengagumkan. Walisongo beliau kupas habis dengan bukti-bukti otentik yang sulit ditandingi.
Beliau menyampaikan bahwa sejak dulu Indonesia adalah negara besar dengan jejak keilmuan, peradaban, dan teknologi yang mengagumkan. Bangsa Portugis, Belanda, dan Jepang sangat paham itu, sehingga politik memecah belah adalah senjata paling ampuh.
Era Kerajaan Islam Demak Bintoro, teknologi persenjataan sudah sangat dahsyat. Peluru dan bom canggih sudah mampu diciptakan anak negeri. Benteng-benteng dibangun sangat kokoh sehingga sulit dihancurkan kolonial.
Beliau kemudian membangkitkan kader muda supaya bangga menjadi Indonesia dan jangan terpengaruh dengan distorsi sejarah yang dibangun kaum kolonial yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kuli, budak dan sejenisnya yang ingin menghancurkan mentalitas anak negeri. Strategi membunuh mental yang dilancarkan kaum kolonial ini memang terbukti membunuh mentalitas anak bangsa sehingga harus direkonstruksi secara serius.
Self confidence memang barang mahal. Mentalitas ini mampu mendorong anak bangsa untuk tegak berdiri menatap masa depannya dengan keberanian, optimisme, dan tekad kuat dalam mewujudkan impian besar.
Kaum kolonial, khususnya Belanda, benar-benar membunuh mentalitas bangsa ini sehingga tidak muncul ‘inisiasi’ merdeka. Ketundukan total adalah tujuan Belanda dengan politik ‘menjajah mental’ ini. Tiga abad lebih bangsa ini terus dikuasai Belanda dengan membunuh mental ‘self confidence’.
Seseorang era Belanda tidak boleh menunjukkan keturunan ningrat, bangsawan, dan tokoh karena membuatnya ‘menegakkan kepala’ yang membahayakan stabilitas ‘status quo’ Belanda. Resiko besar bagi orang yang berani menunjukkan ‘keturunan besarnya’.
Oleh sebab itu, KH. Agus Sunyoto mendorong kader muda untuk melangkah maju menatap masa depan. Salah satunya adalah membangkitkan gerakan ‘post hegemony’. Beliau mendorong anak muda untuk tidak dihegemoni Barat dengan terminologi yang menggiring kepada peradaban mereka. Modernisasi, rasionalisasi, dan globalisasi adalah salah satu contoh terminologi hegemonik yang dibangun secara sistemik oleh Barat untuk mengendalikan peradaban dunia sesuai kehendak mereka.
Dalam konteks NU, KH. Agus Sunyoto mendorong kader-kader mudanya untuk mendalami ilmu para kiai zaman dulu yang tidak membeda-bedakan ilmu. Ulama zaman dulu mempelajari semua ilmu yang akan membentuk satu kesatuan yang integratif-kolaboratif. Ilmu hizb dan wirid misalnya adalah ilmu yang sudah tidak digemari anak muda sekarang. Namun ilmu tersebut sangat penting untuk memperkokoh bangunan keilmuan para santri dalam menghadapi gempuran globalisasi.
Pesantren salaf menurut KH. Agus Sunyoto adalah distingsi khas bangsa ini. Dari rahim pesantren salaf ini lahir nasionalis-patriotis sejati yang mendarmabaktikan ilmu dan perjuangannya demi negeri. Mereka tampil sebagai pioner kemerdekaan bangsa dan aktif membangun masyarakat tanpa ‘pamrih’.
Pesantren salaf yang khas NU ini mempunyai sumber nilai, kurikulum, dan visi keilmuan-sosial khas yang sulit digoyahkan yang berhasil melahirkan generasi ‘pembangun bangsa’.
Banyak sekali program yang dilancarkan untuk merobohkan kokohnya bangunan pesantren salaf ini. Namun, justru pesantren salaf ini terus eksis dan semakin menunjukkan ‘keunggulan kompetitif’ yang sulit ditandingi lembaga lain.
Pesantren salaf inilah yang justru harus menjadi prototipe pendidikan Indonesia karena terbukti mampu melahirkan ‘nasionalis-patriotis sejati’. Jangan dibalik, pesantren salaf dipaksa mengubah dirinya agar seperti lembaga pendidikan yang belum jelas visi, misi, dan kiprah alumninya. Inilah salah satu contoh implementasi gerakan ‘post hegemony’ yang dibangkitkan KH. Agus Sunyoto untuk menatap masa depan Indonesia.
Membaca karya-karya KH. Agus Sunyoto menjadikan mata hati dan pikiran kita terbelalak sadar bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang sarat prestasi. Seyogianya anak bangsa ini bangga dan percaya diri menjadi bagian dari bangsa besar ini. Jangan ‘tercekoki’ stigma negatif bahwa bangsa ini adalah bangsa kuli.
Selamat jalan guru. Karya-karyamu akan abadi dikaji sepanjang masa. Inspirasi gerakanmu akan membangkitkan anak negeri ini untuk menatap masa depannya dengan optimisme dan konfidensi tinggi.
Ampunan, kasih sayang, dan ridla Allah untukmu ila yaumil qiyamah, amiin.
Selasa, 15 Ramadan 1442 – 27 April 2021