Di kampung saya, Losari Cirebon, akhir tahun 1990an sampai awal tahun 2000, air bersih untuk keperluan sehari-hari: mandi, mencuci hingga minum, masih berlimpang, termasuk saat musim kemarau. Tak ada orang beli air putih untuk minum, apalagi memasak. Jika ada orang beli air kemasan, maka serta merta akan dinilai nggaya. “Sombong sekali, air putih saja beli. Kebanyakan uang?” begitu sinisme pada orang yang beli air.
Saya sendiri masih ingat, almarhumah ibu pernah marah gegara saya memegang botol Aqua. Tahun 90an, di kampung saya, daerah Pantai Utara, jarang terlihat sampah botol minuman putih. Itu artinya, tak ada orang beli air. Tamu disuguh air teh, hari Lebaran teko besar dan puluhan gelas di meja tamu, pernikahan bahkan pengajian massal pun sajiannya air teh. Air putih selalu tersedia di kendi, bukan di galon. Saya pun masih ingat, jika istirahat sekolah atau istirahat main bola, kami, anak-anak kampung, minum langsung dari bak mandi milik masjid.
“Glek-glek-glek,” gelasnya pakai gayung. Tak ada yang sakit perut. Artinya, air putih masih steril.
Namun, setidaknya 10 tahun terakhir ini, di kampungku, membeli air untuk minum dan memasak sudah jamak. Anak-anak kecil jika main bola di halaman masjid, bekal airnya ambil di warung, alias beli. Mereka tidak dimarahi, tidak ada yang bilang sombong. Beli air adalah kebutuhan primer
Beli air putih untuk kebutuhan minum, juga terjadi di banyak pondok pesantren. Bilik-bilik santri atau lorong-lorong asrama, terlihat air dalam galon. Ya, mereka beli air, sesuatu yang tak terjadi saaat saya nyantri 20 tahun lalu. Minum dan masak sudah masuk bujet pasti dan rutin.
Di tempat lain, di daerah yang kondisi alamnya tidak baik, krisis air sudah lebih awal terjadi. Dan bisa dibayangkan seperti apa kondisi di musim kemarau 2019 yang amat panjang. Loh, kenapa kitab Fathul Qorib menyebut tujuh macam air “sejati” (ma’ul muthlaq) masih tersedia melimpah? Wait, Fathul Qorib bukan kitab lingkungan. Jadi jika keliru, harap dimaklumi.
Saya membayangkan, 10 tahun lagi, orang membeli air bukan hanya untuk minum atau memasak, tapi untuk wudu dan cebok. Dan jika ingin mandi dua kali dalam sehari, orang harus beli air lebih. Kondisi macam ini mungkin bisa lebih cepat lagi, kurang dari 10 tahun lagi. Siap-siap, orang Cirebon, dan seluruh wilayah Pantura, kemungkinan akan krisis air. Namun saya berharap, situasi macam begini lebih lambat datang.
Orang Islam yang dekat dengan air, manja dengan air, harus memikirkan kondisi seperti ini. Hari ini, kita tidak bisa cebok, kecuali dengan air. Wudu kita hari ini, jika tidak diulang tiga kali untuk tiap-tiap yang wajib dibasuh atau diusap, rasanya tidak sah, padahal dalam berwudu disunnahkan menggunakan “hanya” 665 gram air (satu mudd, sekitar satu botol air mineral 500 ml).
Memikirkan kelangsungan air, inilah sejatinya PR besar kita. Kita juga harus sadar, bahwa air bukan urusan takdir. Iya, air itu takdir, tapi volume air, sedikit atau berlimpah, adalah ikhtiar.
Ironisnyanya, bab tentang air tidak banyak diperhatikan ulama. Kecuali Gus Mus, Gus Zaim, kasus gunung kendang di Rembang adalah contoh terbaik untuk membuktikan bahwa kita tidak begitu memperhatikan satu hal yang penting: Air.
Di Facebook, WA, Twitter, Instagram, YouTube, tema ucapan natal, sinterklas, agama pemimpin, Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah, dan isu-isu kelompok dalam Islam atau kelompok agama di luar Islam, jauh lebih ngehits daripada isu pendirian pabrik semen di Gunung Kendeng, Rembang, dan sekitarnya.
Air, bagi saya sudah masuk “akidah”. Lihat saja dalam Al-Baqarah ayat 22, urusan air disandingkan dengan larangan menyekutukan Tuhan. Jelas urusan air ini soal “keimanan”. Maqom air ini harus naik, bukan hanya ada dalam bab fikih. Sebab, air menyangkut nasib semua lini kehidupan, bukan saja soal mandi, tapi orang bisa baku bunuh karena air. Ingat, “peradaban gurun” telah merekam bagaimana antarsuku berebut sumur atau “wadi”, alias got penyalur dan penampung air hujan. Dan asal tahu saja, teman para petani kita nungguin pintu air di sungai irigasi bukan kopi, melainkan golok.
Akhirulkalam, nasib air bukan saja nasib tata cara keberagamaan kita, tapi juga politik, ekonomi, budaya, semuanya bergantung air. Jangan sampai, proyek jalan tol dan gegap-gempita bisnis di dunia internet melupakan kelestarian alam, yang unsur pokoknya adalah air sehat.