Satu hari, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melontarkan sebuah lelucon tentang tiga pemuka agama yang berlomba-lomba merasa dekat dengan Tuhan.
Pemuka agama Hindu menyebut agamanya sangat dekat dengan Tuhan. Buktinya, mereka memanggil Tuhan dengan sebutan ‘Om’. Kurang dekat apa hubungan antara om dengan keponakannya?
Pendeta menyangkal pendapat itu. Di agamanya, bahkan Tuhan dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’. Mana yang lebih dekat antara hubungan bapak dengan anak?
Gus Dur terkekeh mendengar pengakuan kedua tokoh agama itu, lalu keduanya bertanya ‘Apa, kamu ingin menyebut bahwa agamamu yang paling dekat dengan Tuhan?’. Lalu Gus Dur secara ajaib menjawab, “Boro-boro deket, manggil aja masih pakai TOA (speaker).”
Pecahlah tawa pendengar menyimak lelucon itu. Kondisilah yang membuat orang bisa melihat sisi kelucuan dalam humor tiga pemuka agama. Di lingkungan sosial kita, masjid memang menjadi rumah ibadah yang paling meriah. Sehari lima kali azan dikumandangkan dengan keras.
Di bulan Ramadan, suara speaker lantang digunakan mengaji hingga tengah malam. Tak sampai tiga jam kemudian, suara TOA kembali menyibak keheningan untuk membangunkan warga yang bersahur. Terkadang karena enggan atau tidak bisa mengaji, takmir hanya memutar murattal dan kemudian tertidur lagi.
Praktik ini sempat dikritik oleh Gus Dur melalui artikel ‘Islam Kaset dan Kebisingannya’. Suara kaset yang diputar dengan suara tinggi justru mengganggu orang-orang yang sebenarnya membutuhkan jam istirahat, seperti orang jompo, bayi, dan tetangga lain yang tidak punya kepentingan untuk terbangun.
Namun ada juga sebagian orang yang gagal paham dengan humor. Misalnya, humor di atas dianggap melecehkan karena menganggap agama tertentu jauh dari Tuhan. Alih-alih melakukan otokritik, sebagian melakukan berbagai upaya agar si pencipta humor menerima sanksi, baik secara sosial ataupun hukum.
Kisah itu bisa kita temukan ketika seorang pria asal Kepulauan Maluku Utara diperiksa aparat kepolisian karena mengunggah humor Gus Dur soal tiga polisi jujur. Aparat merasa terganggu dengan postingan dan berusaha menggali niat mengapa pria itu mengunggah joke Gus Dur.
Humor lagi-lagi ‘memakan’ korban. Kali ini seorang penceramah Tengku Zulkarnain dilaporkan oleh salah seorang netizen karena joke-nya soal ustaz Sumatera dan Jawa. Bagi pelapor, konten Tengku sudah mengarah pada rasis. Sebagai suku Jawa, si pelapor merasa tersinggung dengan ucapan Tengku.
Bagi saya yang kebetulan keturunan Jawa dan tinggal cukup lama di Sumatera, apa yang disampaikan Tengku sebenarnya biasa saja. Ia hanya mempersoalkan standar sopan santun yang memang berbeda antara daerah asalnya yang Batak dengan Jawa, khususnya Solo, yang dikenal lebih halus.
Bukankah itu bisa jadi kritik bagi orang-orang yang suka menghukumi orang lain berdasar standar dirinya sendiri? Sejak zaman dulu, orang Batak ya punya gaya bicara yang memang terlihat seperti orang marah bagi orang Jawa. Sebaliknya, orang Batak menganggap orang Jawa terlalu lirih.
Standar unggah-ungguh pun berbeda. Di lingkungan Jawa, kita bisa saja bermain simbol. Mulut mengucapkan iya tapi dengan intonasi tertentu dan gestur yang diatur sedemikian rupa. Bagi yang bisa menangkap kode, maka kata iya harus diartikan tidak. Namun bagi masyarakat lain seperti Batak, kejujuran adalah segala-galanya. Iya ngomong iya di depan. Horas!
Saya beruntung memiliki beberapa teman bersuku Batak sejak di sekolah dasar. Pembawaan mereka ya memang seperti itu. Makanya menonton ceramah ustaz-ustaz asal Sumatera pun saya sudah terbiasa.
Beberapa kali Gus Dur melontarkan humor bernuansa ‘rasis’ ini. Misalnya ketika di satu rapat bersama DPR, Gus Dur mengajak agar audiens berhati-hati dengan politik orang Jawa atau Sunda kalau bilang monggo atau mangga (silakan).
Orang Jawa dan Sunda selalu mengacungkan ibu jari dan menggenggam lainnya. Kata Gus Dur, itu berarti satu dilepas, empat lainnya dipegang. Hadirin yang mendengarkan tertawa terbahak-bahak. Namun bagi yang gagal paham, humor yang demikian bisa jadi ditanggapi dengan methenteng.
Secara pribadi saya memiliki banyak perbedaan pandangan dengan Tengku Zulkarnain. Terutama perihal pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang bagi saya, pendapat Tengku sangat ngawur. Namun membenarkan ada orang yang ingin membawa joke Tengku ke ranah hukum ya tidak bisa, dong. Apalagi menyebutnya sebagai rasis dan bagian dari ujaran kebencian.
Masalahnya, di tengah masyarakat yang terbelah, instrumen hukum acapkali secara serampangan digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang tidak disukai. Jika tradisi seperti ini terus dibiakkan, yang terjadi di masa depan kita akan memanen buah-buah kebencian.
Kita hanya bisa berharap agar ruang kebebasan berekspresi tidak dikubur oleh masyarakat itu sendiri. Apalagi hanya karena sentimen kebencian. Apalagi hanya karena secuil orang merasa tersinggung. Apalagi hanya karena kita gagal menangkap maksud dari sebuah humor. Wallahua’lam.