Hidup rukun adalah pola kehidupan yang dilakukan oleh sekelompok atau seseorang yang saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Seperti halnya gotong royong yang dilakukan oleh Suku Baduy. Terutama saat harus berpindah dari daerah satu ke daerah lain yang lebih subur karena mereka merupakan suku nomaden dan penganut sistem ladang terbuka.
Masyarakat Suku Baduy juga memiliki kebiasaan saat ada acara baik itu pahit atau manis, mereka harus menumbuk padi yang dilakukan secara bersama-sama. Meskipun zaman sudah modern, mereka masih taat dan patuh terhadap aturan dan tradisi yang sudah ada.
Suku Baduy hidup dialam pegunungan Kendek, Kabupaten Lebak, Banten. Warga Suku Baduy hidup berdampingan dan bergantung pada alam sekitar. Suku Baduy tidak mau mengirimkan anak-anaknya untuk bersekolah layaknya masyarakat pada umumnya. Karena mereka takut akan berdampak kurang baik kedepannya. Suku Baduy terbagi menjadi beberapa kelompok yaitu Baduy luar, dan Baduy dalam. Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada tata cara melakukan adat atau yang dikenal pikukuh.
Suku Baduy ‘dalam’ masih memegang teguh aturan adat dan menjalankannya dengan baik. Suku Baduy dalam memakai ikat kepala berwarna putih, sementara Suku Baduy ‘luar’ sudah terpengaruh pola hidup masyarakat modern zaman sekarang. Suku Baduy luar memakai baju berwarna hitam. Masyarakat Suku Baduy ini juga menganut agama sunda wiwitan. Sunda wiwitan adalah aliran kepercayaan monoteisme yang percaya terhadap animisme atau dinamisme. Di mana kepercayaan terhadap Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Agama ini merupakan agama sinkretis antara Islam dan Hindu. Jadi ibadah seperti apa yang dilakukan Suku Baduy ya? Ya berbuat baik, berkata baik, dan berperilaku baik.
Masyarakat Suku Baduy juga sering memberikan sumbangan kepada warga desa yang sedang melakukan hajatan atau pesta, seperti hajatan perkawinan atau khitanan atau yang biasa disebut nyambungan. Uniknya tradisi ini dilakukan dengan sistem timbal balik. Jadi, meskipun memiliki tujuan untuk membantu meringankan beban warga yang sedang hajatan, tetapi suatu saat penyelenggara hajat akan mengembalikan bantuan itu kepada pemberi bantuan. Sebearnya mirip dengan tradisi nyumbang di beberapa daerah di pantura.
Masyarakat Suku Baduy juga sering melakukan kerja bakti dalam membersihkan lingkungan desa. Kerja bakti ini dilakukan untuk mengurangi sampah plastik yang mengotori dan mencemari lingkungan desa tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan 3 kali dalam seminggu secara rutin setiap pagi hingga siang, dan juga membersihkan rumput-rumputan yang dilakukan setiap 3 bulan sekali. Biasanya kegiatan ini semua masyarakat Suku Baduy turun untuk membantu.
Meskipun masyarakat Suku Baduy dikenal sebagai masyarakat yang taat dan patuh, tapi faktanya dalam kehidupan mereka pernah terjadi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi konflik. Hanya saja konflik yang terjadi pada masyarakat Suku Baduy tidak sampai membesar sehingga menimbulkan banyak korban, harta, tempat tinggal seperti yang terjadi pada masyarakat diluar Suku Baduy. Penyebab dari tidak membesarnya konflik yakni, karena tingginya kesadaran masyarakat Suku Baduy bahwa antar manusia adalah saudara, dan keteladanan hidup para ketua adat.
Dalam kepercayaan Suku Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah tetapi dalam kepercayaan Suku Baduy mereka tetaplah satu kesatuan yang utuh. Masyarakat Suku Baduy masih meyakini bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah belah hanya karena perbedaan dalam pola pikir. Karena menurut masyarakat Suku Baduy saudara tetaplah saudara dan tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, meskipun mereka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan nantinya.
Di antara adat Baduy yang menggambarkan kerukunan yakni: Jauh tidak akan menentu yang tuju (jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung di balik gunung, lebih baik malu dan hina daripada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan. Maksudnya orang Suku Baduy tidak senang akan hal perperangan, karena peperangan menurut mereka hal yang dilarang dalam kepercayaan Suku Baduy.
Suku Baduy juga memiliki tradisi setiap tahunnya, seperti tradisi seba Baduy. Tradisi seba Baduy dilakukan secara bersama-sama untuk bertemu sejumlah kepala daerah di Banten guna menyampaikan aspirasi serta rasa syukur atas hasil panen berlimpah dengan berjalan kaki sejauh 50 kilometer menuju pusat pemerintahan Kabupaten Lebak di kota Rangkasbitung untuk bertemu Ibu Gede atau Bupati Lebak. Tradisi seba Baduy ini sudah dijalankan secara turun-temurun sebagai bukti kesetiaan kepada pemerintah. Tradisi ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali diiringi dengan penyerahan hasil bumi.
Mata pencaharian Suku Baduy ini adalah bertani dan berladang yang dilakukan secara bersama-sama. Orang Baduy dalam juga sering pergi bersama ke kota besar seperti Serang, Jakarta, atau Bogor untuk menjual madu dan hasil alam lainnya. Untuk menjaga kelestarian alam, masyarakat Suku Baduy juga membangun rumah dengan menggunakan pondasi dari bahan batu kali. Hal ini dilakukan tanpa adanya galian tanah, jadi tidak heran jika tekstur tanah dipermukiman suku ini masih terlihat bergelombang dan alami serta tidak longsor.
Masyarakat di sana juga melakukan siskamling atau ronda untuk menjaga keamanan desa mereka. Karena kebanyakan masyarakat di sana sering berpergian untuk bertani yang lahannya jauh dari rumah mereka, dan belum tentu mereka akan pulang pada hari yang sama. Oleh sebab itu seringkali desa menjadi sepi. Untuk menjaga keamanan di desa tersebut, maka dibuatlah sistem tunggu lembur (menjaga kampung). Tunggu lembur biasa membutuhkan sekelompok orang untuk menjaga desa selama 24 jam secara bergantian.
Dari Suku Baduy ini kita bisa belajar tentang hidup rukun. Khususnya pada masyarakat Suku Baduy dalam yang masih sangat menjaga adat dan tradisi mereka. Meskipun mereka mungkin banyak bertentangan tentang kepercayaan, tetapi mereka masih tetap menjaga kerukunan. Suku Baduy ini bisa dibilang jauh dari kemewahan, tetapi masyarakat Suku Baduy sangat rukun dan menikmati kehidupan mereka. Bisa diambil dari garis besar bahwa setiap kebudayaan, adat, dan tradisi itu mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Jadi kita sebagai sesama manusia harus menjunjung tinggi rasa menghormati perbedaan tersebut.