Tugas kesarjanaan bukan untuk menghakimi suatu pandangan dan pendapat sebagai salah atau benar melainkan menguji kekuatan dan kelemahannya. Penghakiman adalah bentuk arogansi intelektual yang mengindikasikan ketidakmampuan berdialog secara konstruktif.
Problem paling krusial dan tak kunjung selesai didiskusikan terkait hadis Nabi saw ialah persoalan otentisitas. Hadis dapat dijadikan sebagai sumber historis dengan validitas periwayatan tertulis (oral transmission) atau hanya refleksi kejadian belakangan yang diproyeksikan ke masa yang lebih awal (masa Nabi saw) dengan metode yang hanya secara lisan (oral transmission).
Hal ini telah banyak menyita perhatian dalam diskursus kesarjanaan modern; baik itu kesarjanaan tradisionalis ataupun kesarjanaan revisionis. Agaknya, pemetaan Fred Donner dalam karyanya ‘Narrative of Islam Origins (1998) cukup tepat untuk dijadikan sebagai representasi kecenderungan pengkajian kesarjanaan modern terkait persoalan ini.
Donner memetakan empat tipologi pendekatan kesarjanaan modern dalam menyikapi sumber-sumber Islam tradisional (termasuk di dalamnya persoalan dalam tulisan ini). Diantaranya; pendekatan deskriptif, pendekatan kritik sumber, pendekatan kritik tradisi dan pendekatan skeptis. Hemat penulis, keempat pendekatan yang diuraikan Donner dalam bukunya ini menunjukan sebuah diskursus keilmuan yang sangat apik dan dinamis. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya karya tulis lintas generasi dan seminar di berbagai kampus ternama.
Selain Donner, J. Koren dan Y.D Nevo juga memiliki pandangan mengenai tipologi pendekatan dengan karengka yang lebih sederhana. Menurut mereka, setidaknya terdapat dua kecenderungan pendekatan, yakni pendekatan tradisionalis dan pendekatan revisionis. Sederhananya, pendekatan yang pertama meneliti sumber-sumber Islam (termasuk hadis Nabi saw-metode transmisinya) dan mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan argumen sumber-sumber Islam. Sebaliknya, pendekatan kedua beranggapan bahwa, temuan-temuan akrkeologi, epigrafi dan numanistik lah yang dapat dijadikan sebagai alternatif penelitian, melihat banyaknya masalah dalam warisan sejarah sumber Islam.
Dalam kaitan persoalan kajian hadis, agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, Ignaz Goldziher dan Joseph Schact merupakan perwakilan kelompok revisionis. Sementara Mustafa Azami, Fuat Sezgin dan Nabia Abbott merupakan perwakilan dari kelompok tradisionalis. Secara priodisasi, kedua tokoh ini agak jauh berbeda, Goldziher dan Schacht terbilang lebih awal dibanding Azami, Abbott dan Sezgin.
Goldziher terkenal sebagai revisionis pertama yang mengajukan narasi keraguan terhadap otentisitas hadis Nabi saw dan kemudian dilanjutkan oleh Schact dengan argumen yang lebih radikal (berhasil meyakinkan sebagian orang akan ketidak autentikan hadis Nabi saw). Sementara Azami dan yang lainnya dikenal sebagai cendikiawan yang berusaha untuk meruntuhkan argumen kedua tokoh revisonis tersebut. Berikut, penulis akan coba refleksikan secara singkat argumen-argumen dari kedua kelompok ini.
Pertama, Ignaz Goldziher dengan karyanya Muhammedanische Studien yang pada intinya menyimpulkan bahwa, sebahagian besar hadis merupakan akibat dari perkembangan Islam secara religius, historis dan sosial selama dua abad pertama. Ia tidak bisa dijadikan sebagai dokumentasi historis, tapi lebih kepada refleksi historis dari berbagai kecenderungan dan kepentingan belakangan.
Setidaknya, terdapat empat argumen besar di balik keraguan Goldziher ini; pertama, kelokesi hadis belakangan tidak menyebut bukti tertulisnya dan lebih banyak menggunakan istilah isnad yang menggambarkan metode periwayatan lisan (oral transmission) dibanding tulisan (written transmission). Kedua, banyaknya hadis-hadis yang kontadiktif. Ketiga, terdapat hadis yang muncul belakangan tapi tidak ada dalam koleksi lebih awal dan yang keempat, para sahabat kecil lebih banyak mengetahui Nabi saw (meriwayatkan hadis) dibanding sahabat besar.
Kedua, Joseph Schacht dengan karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbilang lebih ‘radikal’ dibanding Goldziher. Ia terkenal dengan teorinya backward projection yang kemudian diringkas dengan postulat the most perfect and comple isnad are the latest. Secara sederhana menurut penulis titik berangkat dari munculnya teori ini ialah pandangan Schacht terkait isnad bahwa, awalnya isnad hanya sesuatu yang sederhana yang disampaikan dari lisan ke lisan (oral transmission), namun kemudian diperbaiki sedemikian rupa hingga mencapai kesempurnaan dalam koleksi kitab hadis klasik paro abad ke III hijriah.
Pandangan kedua tokoh revisonis di atas tentu saja mendapat respon keras dari kalangan kesarjanaan tradisonalis. Fuat Sezgin dalam salah satu karyanya yang merupakan hasil riset terhadap bentuk-bentuk naskah yang dipakai oleh para periwayat hadis, berargumen bahwa proses pencatatan hadis telah ada sejak zaman Nabi saw dan terus berlanjut dengan sanad yang bersambung hingga munculnya koleksi kitab hadis abad ke-III H. Jadi, proses penulisan hadis sebenarnya jauh lebih awal ketimbang yang dipahami oleh Goldziher dan Schacht.
Menurut Sezgin, kesalahan Goldziher salah satunya terletak pada kesalahpahaman nya terkait sigat-sigat yang dipakai oleh para perwi hadis dalam transmisi hadis. Hasil riset sezgin menunjukan bahwa, dari delapan metode tahammul wa al-ada (smia’, qira’ah, ijazah, munawalah, kitabah, i’lam, washiyyah, wijadalah) hanya ada dua metode yang melibatkan hafalan yakni; sama’ dan qira’ah, sementra yang lain harus melibatkan bahan tertulis. Bahkan, sama’ dan qira’ah sendiri seringkali juga tetap menggunakan verifikasi bahan tertulis. Olehnya, Sezgin berargumen bahwa written transmission memang sudah menjadi kebiasaan dalam teransmisi hadis layaknya oral transmission.
Nabia Abbott dalam karyanya juga mendukung argumen Sezgin, ia menyatakan bahwa tradisi tulis-menulis dalam transmisi hadis sudah berlangsung sejak awal dan dilakukan secara mutawatir/berkesinambungan. Dalam artian, para sahabat Nabi sejak awal menggunakan sarana tulis-menulis dalam meriwayatkan hadis, selain tentunya juga secara lisan. Hal ini terus berlanjut hingga masa kodifikasi hadis (kanonisasi hadis). Lebih lanjut ia berargumen bahwa, kegiatan tulis-menulis bahkan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam (menulis syair atapun jalur nasab keturunan mereka). Kisah-kisah mengenai Nabi saw telah ditulis sejak Nabi masih hidup.
Bantahan-bantahan Sizgen dan Abbott di atas, kemudian juga dilanjutkan oleh Mustafa Azami dalam karyanya Studies in Early Hadith Literature dan On Schact’s Origins of Muhammadan Jurisprudence yang pada intinya kembali menegaskan bahwa, hadis yang terdapat dalam kitab kanonik klasik dapat dipercaya kevalidannya dan tidak ada alasan untuk menolak sistem isnad karena menurutnya sistem isnad adalah sistem yang dapat dipercaya.
Refleksi singkat peta perdebatan di atas, sekaligus menjadi penutup tulisan singkat ini. Namun, agaknya penulis perlu untuk menekankan bahwa, uraian di atas hanyalah bagian terkecil dari luasnya paparan masing-masing tokoh. Olehnya, dalam pembacaan yang komprehensif penulis merekomendasikan membaca masing-masing karya dari tokoh tersebut. Sebagi bekal untuk membaca, kata Mun’im Shirry dalam bukunya bahwa, tugas kesarjanaan bukan untuk menghakimi suatu pandangan dan pendapat sebagai salah atau benar melainkan menguji kekuatan dan kelemahannya. Penghakiman adalah bentuk arogansi intelektual yang mengindikasikan ketidakmampuan berdialog secara konstruktif.