Sosok Snouck Hurgronje bisa dibilang merupakan sosok enigmatik dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dengan Islam. Bagaimana tidak, sosoknya akan selalu dikenang sebagai mata-mata pemerintah kolonial dalam menundukkan umat Islam di Nusantara khususnya di Aceh namun di sisi yang lain terdapat banyak kontribusinya yang masih lestari hingga kini di Indonesia.
Sebut saja lembaga Kementerian Agama yang bisa dibilang merupakan suatu institusi yang berkelanjutan sejak diformalkannya lembaga Kantor Urusan Pribumi di masa Hindia-Belanda dan berkembang menjadi Shumubu atau Departemen Urusan Agama di masa Pendudukan Jepang.
Kontribusi menonjol lainnya yang sering diulas adalah bagaimana Snouck Hurgronje memberikan nasihat-nasihat kepada pemerintah kolonial khususnya pimpinan tertingginya yaitu Gubernur Jenderal. Salah satu idenya terkait pengaturan agama khususnya Islam dalam pemerintahan adalah idenya mengenai asosiasi.
Secara sekilas ide asosiasi yang diajukan Snouck Hurgronje adalah bagaimana penduduk Hindia Belanda dapat berasimilasi dengan budaya modern khususnya yang dibawa bangsa Eropa. Ide ini mengangankan adanya semacam inkorporasi spiritualitas dimana meski negeri jajahan dan negeri induknya terpisah jarak geografis ribuan kilometer, namun memiliki kedekatan secara batin. Jauh di mata dekat di hati.
Suatu hal yang menarik adalah bagaimana ide asosiasi yang dikembangkan oleh Snouck Hurgronje rupanya tidak hanya berhenti sebatas nasihat atau rekomendasinya terhadap pemerintah. Secara pribadi, Snouck Hurgronje mempraktikkan idenya dengan melakukan semacam uji coba. Uji coba tersebut dilakukannya dengan membawa beberapa orang anak hasil didikan pesantren untuk kemudian diberikan pendidikan dasar dan lanjutan di lembaga sekolah modern. Hampir semua pemuda yang dijadikan uji coba oleh Snouck kemudian memegang banyak jabatan penting, salah satunya adalah Achmad Djajadiningrat.
Achmad Djajadiningrat bisa dibilang merupakan anak didik pertama yang dibuat Snouck Hurgronje sebagai uji coba ide asosiasinya. Sebagaimana yang ditulis dalam memoirnya, Snouck Hurgronje sendiri mengakuinya sebagai “de eerste proefneming” atau eksperimen pertama kalinya. Pertemuan Snouck Hurgronje dengan Achmad Djajadiningrat sendiri bukanlah berlangsung secara tiba-tiba. Snouck Hurgronje telah berhubungan dengan salah satu kerabat Djajadiningrat yang tinggal di Jeddah yakni Raden Aboe Bakar Djajadiningrat.
Memoir yang ditulis oleh Achmad Djajadiningrat
Untuk menggambarkan bagaimana proses eksperimen ide asosiasi tersebut berhasil atau tidak, ada baiknya kita mengamati tulisan dari Achmad Djajadiningrat di dalam memoirnya. Tidak hanya berisi tentang bagaimana pengalamannya setelah bertemu Snouck Hurgronje, Achmad Djajadiningrat juga memberikan keterangan tentang bagaimana ia terlebih dahulu menuntut ilmu sebagaimana semua anak-anak pribumi ketika itu yakni di dalam pesantren. Dari perjalanan hidup yang dituliskannya sejak masa kecil hingga ia pensiun, kita bisa melihat bagaimana ide asosiasi tersebut dalam praktik keseharian yang riil, bukan sesuatu yang abstrak seperti dalam nasihat-nasihat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial.
Dari keterangan Achmad Djajadiningrat disebutkan bahwa ia dan rekan-rekan sebayanya di Banten biasanya mendapatkan pelajaran mengaji setelah dikhitan. Pertama kali keluarganya menyerahkannya kepada seorang guru mengaji yang mengajarkan bagaimana membaca setiap huruf Arab. Pada guru mengaji ini Achmad Djajadiningrat belajar mengeja kata-kata Arab dan belajar terkait Rukun Islam khususnya sembahyang lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadan. Sayang sekali rupanya hanya sedikit kemajuan yang dicapai oleh Achmad Djajadiningrat ketika belajar mengaji di sini. Karena dianggap tidak kondusif, ayahnya memindahkan Achmad Djajadiningrat untuk mengaji di rumah kerabatnya yang juga guru mengaji. Rupanya kepindahan ini membawa hasil. Achmad Djajadiningrat dianggap mencapai banyak prestasi, salah satunya mampu mengkhatamkan Quran hanya dalam waktu 40 hari. Sejak saat itu masyhurlah nama Achmad Djajadiningrat sebagai anak yang cerdas dan berbakat.
Melihat capaian dan bakatnya tersebut, banyak kalangan menyarankan sang ayah agar Achmad Djajadiningrat melanjutkan pendidikannya di pesantren. Ayahnya sendiri merupakan seorang pejabat yang tentu menginginkan agar anak-anaknya juga berkarir dalam dunia pangreh praja seperti dirinya. Menurut Achmad Djajadiningrat sendiri pada waktu itu ia lebih berkeinginan menjadi seorang guru agama Islam atau guru mengaji daripada harus menjadi pegawai pemerintahan. Oleh karena itu, Achmad Djajadiningrat membulatkan tekad untuk bisa melanjutkan belajar agama di salah satu pesantren terkemuka di daerahnya yang diampu oleh kerabatnya. Pada akhirnya ayahnya mengijinkan untuk melanjutkan belajar di pesantren tersebut.
Beberapa foto di dalam memoir Achmad Djajadiningrat dimana terdapat bangunan milik salah seorang haji di daerahnya
Menurut Achmad Djajadiningrat, kehidupan di pesantren jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari di rumah tangga pada umumnya. Taat dan tertib kepada guru, menuruti segala perkataan dan perintahnya, hidup teratur siang dan malam, sama rasa dan seiya sekata sesama santri adalah hukum di dalam pesantren. Kegiatan sehari-hari adalah sebagai berikut:
Mulai dari pukul lima sampai enam pagi berkumpul di masjid untuk sholat Subuh berjamaah. Sambikl menantikan waktu sholat, para santri melantunkan sholawat serta puji-pujian terhadap leluhur mereka khususnya para Sultan Banten. Di dalam lantunan kidung-kidung tersebut tidak jarang terdapat kata-kata yang berisi kebencian terhadap kaum kafir khususnya Belanda. Dari pukul tujuh sampai Sembilan para santri mengaji. Santri-santri senior mengaji dengan guru, sedangkan yang baru dan anak-anak dengan lurah pondoknya. Setelah mengaji para santri ke dapur menanak nasi. Pada saat terang bulan, para santri belajar silat di halaman pondok masing-masing.
Cita-cita Achmad Djajadiningrat untuk menjadi guru agama rupanya tidak tercapai. Setelah ia selesai mempelajari beberapa kitab, Achmad Djajadiningrat harus kembali ke rumah orang tuanya karena sakit. Alih–alih meneruskan pelajarannya di pesantren, orang tuanya memutuskan untuk mengirimkannya ke Pandeglang untuk menempuh pendidikan di sekolah modern. Achmad Djajadiningrat menyebutnya Sekolah Barat. Pada awalnya banyak yang khawatir ia tidak dapat segera menyesuaikan diri dalam mengikuti pelajaran-pelajaran dalam Bahasa Belanda dan huruf Latin. Namun karena memang Achmad Djajadiningrat pada dasarnya adalah anak yang cerdas sehingga tanpa membutuhkan waktu yang lama, ia telah mampu menguasai semua pelajaran yang diberikan.
Pada tahun 1890 atau pada usia 13 tahun, Achmad Djajadiningrat pertama kali bertemu dengan Snouck Hurgronje. Sejak saat itulah kemudian Snouck Hurgronje mengangkat Achmad Djajadiningrat sebagai percobaan pertamanya terhadap ide asosiasi yang digagasnya. Apabila secara sepintas kita mengamati perjalanan karir dari Achmad Djajadiningrat, tampaknya ide asosiasi dari Snouck tersebut membuahkan hasil. Semua tahapan di sekolah modern ditempuhnya dengan lancar bahkan membuahkan prestasi. Seperti misalnya ketika Achmad Djajadiningrat lulus ujian masuk sekolah paling elit di Batavia ketika itu yakni sekolah Koning Willem III dengan nilai tertinggi.
Sayang sekali karena keadaan keluarganya, Achmad Djajadiningrat tidak bisa melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi. Ia harus meniti karir dalam birokrasi pemerintahan setelah mangkatnya sang ayah. Rupanya kondisi ini bukan merupakan penghalang bagi Achmad Djajadiningrat untuk berprestasi. Dalam waktu yang singkat atau hanya dalam selang waktu tiga tahun, ia sudah diangkat sebagai Bupati Serang dengan gelar Tumenggung. Kerja kerasnya dalam memajukan rakyat Serang sangat dihargai kalangan bumiputera maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada saat dibukanya Dewan Rakyat atau Volksraad, Achmad Djajadiningrat tampil sebagai salah satu anggota pertamanya. Puncak karirnya dalam pemerintahan tercapai manakala ia diangkat sebagai anggota Dewan Hindia Belanda atau Raad van Nederland-Indië yang merupakan lembaga tertinggi ketika itu. Achmad Djajadiningrat merupakan bumiputera pertama yang berada dalam jajaran keanggotaan Raad van Nederland-Indië.
Dalam jalur pendidikan, adiknya yakni Hussein Djajadiningrat berhasil melampaui dirinya. Tidak hanya menamatkan studi di Batavia, Hussein Djajadiningrat menjadi bumiputera pertama yang meraih gelar doktor di Universitas Leiden, negeri Belanda. Ia juga menjadi salah satu pendiri dari organisasi Indische Vereniging atau kemudian dikenal dengan nama Perhimpunan Indonesia yang menjadi bibit persemaian tumbuhnya rasa kebersamaan dan persatuan di antara penduduk nusantara yang berasal dari berbagai daerah.
Sekembalinya di tanah air, karir Hussein Djajadiningrat juga tidak kalah moncer dari kakaknya. Ia menjadi bumiputera pertama yang menduduki tempat tertinggi sebagai wakil penasihat di Kantor Urusan Pribumi. Ketika Sekolah Tinggi Hukum di Batavia dibuka, Hussein juga menjabat sebagai guru besar hukum Islam yang menjadikannya sebagai orang bumiputera pertama yang menempati jabatan sebagai professor.
Melihat karir kedua kakak beradik tersebut, bisa jadi seseorang akan beranggapan bahwa segala prestasi mereka tidak bisa dilepaskan dari Snouck Hurgronje dan ide asosiasinya. Akan tetapi apabila kita melihat pendapat publik bumiputera ketika itu atau yang hidup sejaman dengan mereka, maka anggapan bahwa mereka adalah buah dari ide asosiasi Snouck Hurgronje tersebut salah besar.
Seperti misalnya tulisan dari Tabrani yang merupakan pimpinan Kongres Pemuda Pertama yang merupakan cikal bakal dari lahirnya Sumpah Pemuda. Menurut Tabrani, Achmad Djajadiningrat merupakan Bupati Serang yang dijuluki sebagai Macan Banten karena keberaniannya dalam membela kaumnya dari tindak kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. Salah satu tindakannya yang dikenang adalah ketika terjadi pelarangan terhadap para pelajar dalam membentuk organisasi Jong Java di Serang.
Sang Bupati tampil membela hak para pelajar untuk bisa melanjutkan aktivitasnya di organisasi tersebut meski bertentangan dengan kebijakan pemerintah kolonial. Tidak heran jika kemudian pemerintah memutuskan untuk mengangkatnya sebagai Bupati Batavia dan anggota Dewan Rakyat. Menurut Tabrani, dengan dalih pengangkatan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, hal tersebut justru merupakan upaya pemerintah untuk ‘mengandangkan’ sang Macan Banten agar tidak bertindak lebih jauh.
Dan memang kemudian hingga akhir hayatnya, Achmad Djajadiningrat lebih memilih untuk meninggal di tanah airnya daripada ikut mengungsi bersama Belanda ketika Jepang menguasai Indonesia. Pilihan yang sama juga diambil adiknya Hussein Djajadiningrat yang ketika itu merupakan pejabat tinggi dalam pemerintahan kolonial.
Ide asosiasi yang digagas Snouck Hurgronje sendiri pada akhirnya memang tidak banyak diikuti oleh pemerintah kolonial. Rupanya banyak yang mafhum bahwa di dalam pendidikan sendiri terdapat unsur deliberatif atau memerdekakan diri. Suatu pihak bisa merancang bagaimana luaran atau outcome dari sistem pendidikan. Hanya harus diingat hal tersebut hanya sebatas rancangan. Luaran dari sistem tersebut adalah orang-orang yang telah merdeka pikirannya dan mampu menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya setelah mendapat bekal dari pendidikan tersebut.
Contoh ektsrem lain dari gagalnya ide asosiasi ini adalah munculnya sosok yang lebih radikal dalam melawan pemerintah kolonial seperti yang dialami dalam percobaan asosiasi G.A.J. Hazeu, penerus Snouck Hurgronje dalam Kantor Urusan Pribumi. Dengan ide yang sama dengan Snouck Hurgronje, Hazeu mencoba membuat eksperimen dengan mengambil seorang anak bumiputera untuk kemudian diberi pendidikan modern. Pada akhirnya sang anak tersebut malah berbalik arah melawan pemerintah kolonial dengan cara yang lebih radikal yakni bergabung dengan berbagai organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam hingga kemudian membentuk sendiri partainya yakni Partai Komunis Indonesia. Anak bumiputera tersebut adalah Alimin Prawirodirdjo. Sepak terjangnya bersama kaum santri dalam masa pergerakan akan dibahas pada tulisan berikutnya.