Sedang Membaca
Al-Jilli dan Perihal Hati
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Al-Jilli dan Perihal Hati

Bila para theolog berdebat tentang dan di mana itu arsy Allah, serta ilmuwan dengan keras merumuskan apa itu baitul ma’mur, berarti ini terkait kisah Isra’ miraj Nabi yang super heroik itu. Maka, Abdul Karim Al-Jilli pada karyanya Insanul Kamil datang dengan pandangan yang berbeda dan sangat mengejutkan.

Tidak ragu lagi, bagi Al-Jilli, bahwa arsy yang disebut sebagai tempat bersemayamnya Tuhan itu ada di dalam hati (qalb) tiap manusia, dan baitul ma’mur adalah semacam ruangan atau bagian dan sekat yang berada dalam hati itu.

Di dalam hati itulah ada ‘penampakan’ atau tajaliyat Tuhan. Ia ciptakan hati sebagai tempat sirr-Nya dan semua muara realitas dan perjalanan waktu (Juz 2, hal.20)

Menurut Al-Jilli lagi, hati itu semacam mir’ah atau cermin. Bagian atas adalah lensa yang ia sebut sebagai al-hamm, sementara bagian belakang atau punggung ia sebut sebagai al-qofa’. Al-Qofa‘ ini adalah pembatas antara lensa dan benda lain yang tak bisa menangkap bayangan. Maka, jika lensa hati (cermin) itu dihadapkan ke atas, di sanalah asma, sifat, af’al bahkan dzat Ar-Rahman akan tersingkap dan nampak.

Sementara jika bagian punggung itu dihadapkan ke atas atau kemanapun, maka yang ada hanya kegelapan. Bagian kegelapan ini Al-Jilli sebuat sebagai alam materi atau realistas kebendaan yang fana. Kenapa demikian? Karena ia tak punya sesuatu yang mengandung lensa.

Baca juga:  Abu Nawas Mengajari Kita Menahan Diri

Karenanya al-Qofa’ ini harus dibiarkan menghadap ke bawah. Sebagai tamsil bahwa sudah seharunya para salik, kita, melihat dunia dengan sudut pandang ke bawah. Adapun jika lensa itu dihadapkan ke kanan, maka ia akan bertemu dengan kebenaran syariat dan kebaikan akhlak.

Sementara jika menghadap ke kiri, maka ia akan bertemu dengan mungkar, juga fasiq. Terlalu seringnya lensa hati menghadap ke kiri membuat hati kotor, berkerak dan kehilangan daya tangkap lensa. Karena itu, bagi pemilik hati yang kehilangan daya tangkap ini, ia tak punya lagi filter jika berbuat maksiat.

Ruang lingkup kefasikan itu diantaranya jika lisan sering mengeluarkan sumpah serapah, bualan-bualan, termasuk juga janji-janji manis. Sesuatu yang pada hari-hari ini menjadi lalu lintas demokrasi. Menurut Al-Jilli, banyak bersumpah dan janji manis bisa menggerus kecemerlangan lensa hati dan itu berimplikasi pada sifat arif. Wallahu’alam bishawab.

Kereta Taksaka Cirebon-Yogyakarta. 28 Maret 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • (وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا * فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا * قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا * وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا)
    [Surat Ash-Shams 7 – 10]
    demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,
    maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejasungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),hatan dan ketakwaannya,
    sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),
    dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.

Komentari

Scroll To Top