Syahdan, seorang pemuda mengumandangkan adzan pada subuh yang dingin. Tak ada hujan atau angin musson dari barat. Namun para lelaki dewasa di kampung itu, nampaknya tengah asyik terlelap dibalik kemul selimutnya. Lantas mereka pun alpa menghadiri sembahyang di langgar—yang kesepian. Pemuda kita yang sudah memungkasi iqamahnya, terpaksa maju ke mihrab. Itu bukan kali perdana ia tampil menjadi imam tanpa makmum. Seusai salam, ia tepekur sejenak. Fajar pun merekah di ufuk timur.
Manakala matahari telah naik sepenggalahan, pemuda kita adzan kembali. Belum lagi sempat ia rampungkan panggilan sembahyang itu, datanglah berbondong-bondong lelaki dewasa mendamprat. Mereka menudingnya sesat lantaran adzan bukan pada waktu shalat fardhu. Ia dituduh menjalankan ajaran bid’ah. Lalu dipaksa keluar dari langgar untuk segera mendapat penghakiman. Tapi pemuda kita tetap tenang. Keriuhan itu redam dengan sederet kata yang ia ungkapkan.
“Bagaimana saya bisa dituding sesat, padahal ketika sudah saya kumandangkan adzan pada Shubuh tadi, tak satu pun dari kalian yang hadir di langgar. Pantaskah saya bertanya pada saudara sekalian, ajaran apa yang saudara anut, hingga mau menghadiri panggilan adzan selain waktu shalat fardhu?
Demi mendengar kalimat tersebut, barisan lelaki itu mundur teratur. Kepala mereka tertunduk malu dengan wajah bersungut-sungut. Mungkin mereka baru tersadar, betapa selama ini ada yang salah dari cara mereka berislam. Ada yang keliru dari iman yang mereka yakini. Mereka kadung menganggap Tuhan tak punya cita rasa seni, sehingga bermusik pun dihukumi haram. Bukankah Israfil memungkasi semesta dengan tiupan sangkakalanya yang ketiga? Itulah musik paling musyrik yang perlu diberantas, meureun.
Gerombolan ini juga terlampau menyepelekan pertaubatan dengan hanya mengubah penampilan. Sedari rambut yang tergerai, kemudian ditutup sehelai kain tipis, dan pakaian ketat ke bawah. Nyaris menunjukkan lekuk tubuh yang aduhai. Tak cukup sampai di situ. Mereka juga yakin bahwa laku taubatnya sudah absah hanya dengan menghadiri kajian rutin pekanan. Setelah itu, mengajak orang lain untuk mengafirkan yang tak sama. Menghujat negeri sendiri, yang udara, air, tanah, dan apinya telah menghidupi keluarga besar mereka sejak zaman baheula.
Begitulah bila beragama secara membabibuta. Seolah hidup dan agama itu ruang terpisah. Padahal agama jelas produk kebudayaan manusia. Mengenali Tuhan tak bisa hanya dengan mengandalkan agama semata. Mereka masih harus menyelami ugama, dan kemudian igama. Agama dan budaya merupakan dua dimensi yang secara sederhana sulit dipisahkan, lantaran saling bertautan. Budaya bisa memengaruhi peranan agama, sehingga agama berkaitan erat dengan sistem budaya, dalam memaknai nilai keagamaan.
Di Indonesia, sebagai negeri berkebudayaan pertanian, kebaikan yang paling dihargai adalah kerajinan saat di ladang. Sifat kepribadian yang didukung dalam Hindu-Buddha, menekankan meditasi, kebathinan, dan ketenangan pribadi. Islam yang masuk Indonesia melalui pesisir pantai lewat jalur perdagangan, kemudian banyak beririsan dengan dua agama tersebut, atau kepercayaan lokal khas masyarakat bahari. Islam berkembang lebih lentur, menyerap, pragmatis, dan bergelombang.
Agama sebagai sistem budaya terdiri atas suatu pandangan dunia dan etos yang bergabung untuk memperkuat satu sama lain. Dalam tahap lebih lanjut, muncul adanya adicita agama, seperti kaum skripturalisme. Orang-orang Muslim di Timur Tengah, memandang “perjumpaan dengan Tuhan” sebagai suatu pengalaman yang sublim, sedangkan kehidupan biasa di pasar, politik, tempat rekreasi, tidak benar-benar religius. Sebaliknya di Indonesia, pengalaman keagamaan yang sedikit, tetapi tingkat religiusnya lebih luas melalui simbol-simbol suci yang direkacipta.
Mari kita hijrah ke Wuhan, eh maksudnya bertandang. Pada Januari 2020, seantero dunia seketika geger dilamun kepanikan, dan tentu ketakukan. Tapi ada yang menarik untuk kita amati. Di tempat Covid-19 kali pertama berkembang biak, orang komunis di sana beramai-ramai mendatangi masjid dan belajar berwudhu, hingga mengikuti sholat Jumat berjamaah. Itu mereka lakukan saat Korona nyaris sebulan mewabah.
Sementara di Indonesia, negeri mayoritas Muslim ini, yang terjadi justru sebaliknya. Malah muncul fobia pada masjid sebagai sumber penularan virus paling mematikan Abad-21. Kenapa kok masjid yang jadi sasaran? Santri di pesantren pun, berbondong-bondong dirumahkan. Padahal ditilik dari sudut pandang isolasi, mereka lah yang paling steril dari pengaruh publik. Lalu apakah pusat belanja, kafe, dan sarana umum lain, lebih aman tinimbang masjid? Mengapa pengurus gereja, vihara, pura, dan klenteng, tak pernah melarang warganya beribadah? Jelas mereka tidak pernah berwudhu lima kali sehari seperti umat Muslim melakukannya sejak satu setengah millennium lalu. Ada apa ini, dan pikiran busuk siapakah yang mengajak umat Islam menjadi sedemikian panik?
Umat Islam seketika bubar jalan. Makkah sepi, meski ini bukan yang pertama kali. Madinah sunyi. Ka’bah dipagari. Masjid ditutupi. Jamaah shalat Jumat ambyar. Umrah dihentikan. Haji tak pasti. Lafadz adzan berubah. Salaman dihindari. Korona datang, seolah membawa pesan, “Ritual itu rapuh!” Ya, kita dipaksa mengenali tuhan. Bukan di tembok Ka’bah. Bukan di dalam masjid. Bukan di mimbar khutbah. Bukan ketika thawaf. Bukan pada panggilan adzan. Bukan dalam shalat. Bukan dengan jabat tangan. Melainkan pada keterasingan. Pada mulut yang terkunci. Pada hakikat tersembunyi. Lupakah mereka betapa sesungguhnya Alquran sudah mengingatkan dalam beberapa ayatnya?
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku. Duhai orangorang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah Swt senantiasa bersama para penyabar.” (QS Sapi Betina [2]: 152-153).
Korona mengajari kita, Tuhan bukan (melulu) keramaian. Bukan (melulu) pada syariat. Tuhan bersemayam di jalan keterputusasaan dari dunia yang berpenyakit. Korona seperti hendak memurnikan agama. Tak ada yang boleh tersisa, kecuali Dia sahaja. Sehebat apa pun virus menghempas harapan kita, ia tetap makhluk yang juga lemah. Sama tak berdaya dengan manusia. Toh tanpa kita sadari, saban hari ya ada saja manusia yang mati. Jumlahnya mungkin lebih banyak dari korban pandemi saat ini. Bahkan menurut orang Irak, tentara Amerika di sana jauh lebih berbahaya dan mematikan dibanding Covid-19.
Itulah manusia. Ia selalu menakuti sesuatu yang belum dikenalinya dengan baik. Begitulah bawaan kodrat kita semenjak kecil hingga tumbuh menuju usia akhir. Lantaran kita ini makhluk kasat mata, maka Islam pun masih menyodorkan tawaran lain dalam sikap dzahiriyah, “dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Sapi Betina [2]: 195). Terkait hal ini, marilah kita berbuat baik dengan adil sejak dimulai dari dalam pikiran. Kemungkinan kita meninggal itu seratus persen. Boleh jadi kita memang akan berpulang disebabkan Korona, atau cara lain yang hanya Dia sajalah yang tahu.
Maka senantiasa perlu bagi kita memperbaharui iman. Bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, niscaya menimbulkan rasa kebercukupan di dalam diri. Sadarilah bahwa segala sesuatu terjadi di luar kendali kita, yang hanya seolah-olah bisa. Mengada-ada belaka. “Katakanlah, takkan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami. Dan hanya kepada Allah hendaknya orangorang beriman itu bertawakkal.” (QS. Pengampunan [9]: 51)
Manusia dan zamannya itu, setali tiga uang. Saling terkait berkelindan. Apa pun keadaan yang kita alami saat ini, itulah kenyataan paling shahih yang tak bisa dinafikan. Kita hidup di sini, sekarang. Bukan nanti di akhirat. Gunung dan sungai di tempat berbeda, angin dan bulan di bawah langit yang sama. Pinus dan cemara di musim dingin, tak pernah saling melupakan. Kita adalah ombak dari laut yang satu, daun dari pohon yang senyawa, bunga dari kebun penciptaan yang raya. Mari berhijrah dari kepandiran menuju kepolosan (ummi) hamba sejati. []