Pada tanggal 2 Maret sore, saya melihat banyak orang membagikan gambar—kalau memang penyebutan meme kurang sesuai, karena tidak memeable—melalui status WA yang memberitahukan bahwa 30 hari lagi bulan Ramadan tiba. Dan pada tanggal 3 Maret pagi, melalui radio tetangga, yang tidak sengaja saya dengar, saya mendengar lagu ikonik yang selalu diputar menjelang atau ketika bulan Ramadan—secara tidak langsung terstigma sebagai penanda bahwa Ramadan telah tiba—apa lagi kalau bukan lagu, “Ramadan tiba, Ramadan tiba…” Yang tentu saja kita tahu siapa penyanyinya. Silakan dilafalkan namanya dalam hati masing-masing.
Hampir semua penceramah agama, di awal-awal bulan Ramadan hampir bisa dipastikan akan memberitahukan kepada umat, jamaah atau apalah sebutannya, bahwa sebagai orang Islam seyogyanya kita bahagia ketika bulan Ramadan tiba. Kalau kita bahagia berarti hati kita bersih, masih diberi hidayah, dan lain-lain, dan lain-lain. Apa yang disampaikan penceramah agama tersebut memang ada dasar dalilnya. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah lagu tersebut adalah simbol kebahagiaan menyongsong Ramadan?
Sebelum pertanyaan itu dijawab, kita kroscek terlebih dahulu, di mana lagu itu biasanya terdampar? Ya, tepat, di iklan-iklan, di pasar-pasar makanan, di pasar-pasar pakaian. Kalau pasar itu modern bisa berupa hotel, mall. Kalau pasar itu kultural-ekonomik, di pinggir-pinggir jalan atau tempat khusus yang memang disetting untuk festival Ramadan, bisa disebut pasar Ramadan, pasar Tiban.
Jika melihat apa yang sering terjadi, maka lagu itu adalah simbol hingar bingar, festival, komunalitas yang berperilaku konsumtif. Yang mohon maaf, justru menjadi antitesis atau paradox dari Ramadan itu sendiri. Ramadan adalah puasa. Puasa adalah menahan diri. Dan menahan diri adalah jalan sunyi. Bagaimana bisa menahan diri oleh manusia di zaman kiwari disimbolkan dengan perilaku-perilaku konsumtif dengan membeli beraneka ragam makanan, pakaian atau apapun yang membuat batin terpuaskan melalui media uang-benda?
Oleh karenanya, jika kebahagiaan tentang bulan Ramadan adalah semacam kebahagiaan karena adanya hingar bingar, festival dan komunalitas yang berperilaku konsumtif, apakah itu yang dimaksud dengan hati bersih, suci karena kita masih merasa bahagia karena bulan Ramadan tiba?
Orang-orang bilang puasa akan lebih mudah jika dilakukan bersama-sama. Ramadan adalah kesempatan melakukan puasa bersama-sama. Namun, semakin ke sini, apa yang disebut bersama-sama tersebut justru menjadi jalan munculnya antitesis, paradox dari Ramadan dan puasa. Orang-orang pandai, yang sudah sejak lama berdamai, bahkan bersahabat dengan kapitalisme tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Maka, komunalitas dalam bingkai agama yang seharusnya menjadi jalan kemaslahatan umat hanya menjadi kemaslahatan dari para sahabat kapitalisme. Orang-orang miskin di dusun-dusun mengeluh. Bahwa bulan Ramadan pengeluaran meningkat berkali-kali lipat. Yang bagaimanapun, dipaksakan harus punya dana untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah bagaimanapun caranya.
Padahal, seharusnya kebahagiaan menyambut Ramadan adalah kebahagiaan yang berbanding lurus dengan kekhusyukan, keintiman dengan Tuhan. Yang dalam kehidupan sosial terejawantah dalam kemaslahatan-kemaslahatan bersama. Komunalitas Ramadan seharusnya bisa menjadi titik balik untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Sebagaimana kita tahu, di bulan Ramadan sampai menjelang shalat Idul Fitri, ada kewajiban yang juga dijalankan umat Islam. Membayar zakat. Puasa-Zakat sebagai ritual individual-sosial adalah simbol sempurna dari kekhusyukan-kemaslahatan.
Namun, sebagaimana yang kita alami setiap tahun. Hal tersebut hanya berakhir sebagai simbol. Yang karena kebodohan kita—di Al-Qur’an manusia disebut dzoluman jahula (zalim dan bodoh)—apa yang diperintahkan Allah tersebut tak memberikan perubahan apa-apa dalam kehidupan kita. Kecuali tak terbendungnya nafsu kita untuk mencari keuntungan demi keuntungan dari manusia.