Sedang Membaca
Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur’an

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.

Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur’an

Perihal perempuan merupakan salah satu pembasasan yang tak pernah usai untuk diperbincangkan, hal tersebut seiring dengan banyaknya penelitian yang muncul ke permukaan. Mulai dari hal yang paling tabu dibahas sampai pada hal yang paling lazim sekalipun.

Tak luput dari ‘pantauan’ para intelektual dari kalangan Islam, kajian tentang perempuan menjadi hal yang selalu ramai. Berangkat dari hal demikian, maka menjadi penting pula untuk kembali menyegarkan ingatan kita tentang idealitas perempuan di dalam Al-Qur’an.

Citra perempuan yang diidealkan dalam Al-Quran antaranya ialah:

Pertama:

mempunyai kemandirian politik. Sebagaimana Ratu Bilqis yang mempunyai kekuasaan superpower dan mampu memerintah dengan baik dan adil.

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (QS. An-Naml 23).

Dari sebuah riwayat di dalam tafsir Ibnu Katsir diceritakan bahwa Bilqis adalah seorang ratu yang duduk di atas singgasana raksasa yang berhiaskan emas dan berbagai macam intan permata. Ia mempunyai 312 menteri dan setiap menteri membawahi sepuluh ribu orang.

Ini menunjukkan bahwa seorang perempuan sangat layak untuk menjadi seorang pemimpin apabila ia mempunyai kapabilitas. Karena kepemimpinan adalah bentuk dominasi atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu atas perintahnya.

Kedua:

mempunyai kemandirian ekonomi, seperti pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan. Beliau melihat seorang perempuan yang mengelola sebuah peternakan.

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. Al-Qashash: 23)

Baca juga:  Dalih Ajaran Islam pada Pemosisian Perempuan

Ini membuktikan bahwa tidak ada larangan terhadap perempuan untuk keluar rumah demi mewujudkan kemandirian ekonomi, apalagi banyak di antara perempuan-perempuan Indonesia yang terlahir dilematis. Di satu sisi perempuan dituntut untuk ikut berperan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan disisi lain tidak melupakan kodrat kewanitaannya sebagai seorang ibu.

Penempatan kaum lelaki di wilayah publik (mencari nafkah) dan perempuan di wilayah domestik (mengelola rumah tangga dan mengurus anak) seringkali melahirkan ketidakseimbangan status ekonomi. Lebih jauh pembagian ini justru rawan menimbulkan perendahan martabat perempuan yang akan berujung pada tindak KDRT.

Permasalahan ini sebetulnya bukan sesuatu yang baru, karena al-Thabari dalam tafsirnya berpendapat bahwa seorang suami jika melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya tidak terkena hukum qawad

Kemandirian ekonomi perempuan ini bukan dalam rangka memunculkan otoritas tanding (counter culture) perempuan terhadap laki-laki, namun menjadi bagian dari implementasi konsep women and development (perempuan dan pembangunan). Konsep ini secara umum bertujuan untuk mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kiprah dan kontribusi perempuan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan dalam sebuah negara.

Ketiga:

memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya.

“Dan Allah membuat istri Firaun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang lalim” (Al-Tahrim: 11)

Baca juga:  Penguatan Hak-hak Perempuan dalam Islam

Ayat ini bercerita tentang Asiah, istri Raja Fir’aun yang berani dengan teguh mempertahankan kebenarannya untuk beriman kepada Allah walaupun ia dalam pengawasan Raja Fir’aun.

Dalam konteks ini, betapapun lelaki menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga, bukan berarti perempuan harus diam dan berpangku tangan dengan segala keputusan yang ada di tangan lelaki. Perempuan juga harus memberikan kontribusi dalam bentuk pemikiran-pemikiran dan masukan-masukan untuk mewujudkan kesepakatan-kesepakatan yang bisa membawa kemaslahatan bersama.

Tidak hanya dalam lingkup domestik, perempuan juga harus berani menantang publik apabila melihat ketimpangan-ketimpangan yang ada di dalam masyarakatnya. Salah satu potret perempuan yang berani menantang publik adalah Raden Ajeng Kartini. Ia telah menciptakan sebuah usaha melawan arus kekangan adat dengan menuangkan pemikiran-pemikirannya soal bangsa dan negara dalam korespondensi dengan kawan-kawan Belandanya. Pemikiran itu justru berkembang pada masa 1870-an, saat belum banyak peduli dengan pembebasan perempuan. 

Keempat:

Mempunyai wawasan intelektual yang tinggi. Mustahil jika kemandirian ekonomi, kemandirian politik serta kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi dapat diraih tanpa pengetahuan-pengetahuan yang luas. 

Al-Quran dalam beberapa ayat menyebut istilah “ulul albâb” yang tak hanya terbatas untuk kaum lelaki saja. Dalam berbagai data menunjukkan ketimpangan antara ilmuan lelaki dan perempuan. Hal ini menggambarkan seolah dunia pendidikan adalah dunia lelaki. Perempuan tak berhak ikut untuk campur tangan lebih jauh tentang masalah ini. Mereka dituntut untuk belajar hanya sampai pada tahap menghilangkan buta huruf.

Baca juga:  Tips Menjadi Pemuda yang Diinginkan Al-Qur’an

Jika dugaan ini benar, seakan-akan Islam tidak berusaha untuk memaksimalkan potensi yang ada pada perempuan. Padahal kita tahu, Imam Syafi’i mempunyai guru dalam bidang hadits bernama Sayyidah Nafisah. Rasulullah pun pernah berkata “Ambillah separuh ilmu yang ada pada Khumaira’ (Aisyah)”. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Islam pun menuntut perempuan agar menjadi orang-orang yang cerdas.

Perempuan yang cerdas bukan berarti mereka akan menyaingi suami nantinya. Tapi seorang ibu yang cerdas, apa pun pekerjaannya, akan melahirkan masyarakat yang cerdas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemajuan sebuah negara tergantung pada kepedulian perempuan-perempuannya terhadap pendidikan.

Setidaknya dalil-dalil di atas menjadi peneguh di benak kita, bahwa perempuan juga diniscayakan memiliki idelaliatas yang tinggi, karena pada dasarnya, Al-Qur’an memberikan pembenaran atas hal tersebut. Oleh sebab itu, meminggirkan kaum perempuan merupakan hal yang tak dapat dibenarkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top