Sedang Membaca
Tunas GUSDURian (2): Tunas Yang (Tak) Terbatas
Andi Ilham Badawi
Penulis Kolom

Penikmat Sepak Bola dari Pinggiran

Tunas GUSDURian (2): Tunas Yang (Tak) Terbatas

Whatsapp Image 2020 12 16 At 01.18.19

Temu nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian mengantar saya menjejakkan kaki di tanah Jawa untuk kali pertama, Agustus 2018 silam. Saat itu, bersama empat orang penggerak dari Makassar, saya mengarungi lautan, dari Pelabuhan Soekarno-Hatta menuju Kota Surabaya. Di atas geladak Kapal Ciremai, bayangan akan Yogyakarta timbul tenggelam. Ada rasa penasaran, pun ketegangan.

Dari Surabaya, kereta api mengantarkan saya ke Stasiun Lempuyangan. Tiba jam dua siang, di tengah terik-teriknya Yogyakarta, rombongan kami memutuskan satu keberanian: berjalan ke arah Malioboro. Bukan rahasia jika Malioboro adalah primadona para pendatang. Daya tariknya terlampau kuat, panggilannya begitu berdeging.

Saya hampir lupa jika di rombongan kami tak satupun yang pernah ke Jogja. Berkat Google Maps, kami tiba dengan nafas ngos-ngosan, tubuh sempoyongan, dan keringat bercucuran. Sepanjang sore hingga pukul 10 malam, kami menikmati setiap gelagat Malioboro: ramai, riuh, menyenangkan, dan bikin kenyang.

Harus diakui, setiap penggerak merindukan momen layaknya Tunas GUSDURian. Terutama bagi mereka yang pernah merasakan leburnya tawa dan harapan di tengah ratusan penggerak yang bikin aula gedung sumpek bukan main dan tentu saja, pesona Yogyakarta yang bersahaja. Pun bagi mereka yang sempat melewatkan peristiwa tersebut karena kesibukan, atau baru berdiri di barisan penggerak kurang lebih setahun belakangan, Tunas GUSDURian adalah satu dari sekian resolusi.

Baca juga:  Jejak Perjuangan Guru Muhammad Zainuddin Madjid, Pendiri Nahdlatul Wathan

Perjumpaan memang tidak selamanya meninggalkan kesan ataupun pesan. Namun, Tunas Gusdurian mengecualikan hal itu. Memasuki tahun 2020, beberapa penggerak di Makassar yang berkata,

“Wah, tidak lama mi Tunas. Bisa mi lagi ke Jogja.”

“Belum pa’ saya ikut Tunas, mudah-mudahan bisa tahun ini deh.”

Alih-alih tercapai, 2020 meringkus banyak harapan dan juga nyawa. Sejak Maret hingga kini, dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga New Normal, apa yang telah direncanakan berbelok arah. GUSDURian yang selama ini mengikuti teladan Gus Dur untuk memperbanyak silaturahmi, menggelar diskusi rutinan, membela kaum tertindas, pun menziarahi makam, mesti menepi sejenak, menyusun kembali agenda untuk menyelamatkan rakyat yang dilanda krisis. Sampai akhirnya, GUSDURian Peduli ada di mana-mana.

Ketika Agustus terlewati, saya sempat berpikir, barangkali Tunas GUSDURian 2020 bakal seperti EURO 2020 yang diundur ke tahun 2021, tetapi dengan judul-judulan yang masih sama. Namun, Tunas bukan EURO yang wajib dilangsungkan secara offline. Kalau balbalannya online, kan sudah ada di gim PES ataupun FIFA, hehehe. Tunas GUSDURian akhirnya diselenggarakan secara online sepanjang 7-16 Desember 2020.

Sejak pandemi melanda, Sekretariat Nasional GUSDURian mulai mengajak komunitas di daerah untuk mulai beradaptasi di tengah pembatasan aktivitas fisik. Pandemi bukan penghalang untuk menggerakkan komunitas, tetapi penyemangat demi menciptakan inovasi baru. Mengandalkan aplikasi penyedia meeting daring, komunitas secara perlahan membangun kekuatan digital. Batasannya barangkali soal percepatan pengetahuan mengenai digitalisasi dan tentu saja, akses jaringan internet di beberapa wilayah yang kurang memadai, jika tidak bisa dikatakan belum tersedia.

Baca juga:  Hagia Sophia: Bermula Gereja, Masjid, Museum, Kembali Jadi Masjid Lagi

Di hamparan keterbatasan, Tunas GUSDURian ternyata mampu menyuguhkan sesuatu “yang tak terbatas” atau kemungkinan-kemungkinan baru untuk perubahan. Tunas kali ini bisa diikuti banyak penggerak, bahkan terbuka untuk umum. Isu yang dibahas pun menyentuh banyak spektrum nilai, pemikiran, dan keteladan Gus Dur. Tak lupa, menghadirkan pembicara yang bukan kaleng-kaleng dan mampu memberi perspektif menyegarkan.

Kebosanan memang jadi cemilan di situasi serba online, ibarat menonton anak asuh Jose Mourinho yang memainkan sepak bola bertahan dan hanya mengandalkan serangan balik. Tapi, seperti Tottenham Hotspurs yang memuncaki klasemen Liga Inggris dan berpeluang mengantongi gelar juara musim ini dengan gaya main defensif-nya, barangkali impian GUSDURian mewujudkan “goal” untuk melakukan perubahan sosial di negeri ini pun dapat tercapai. Semoga!!!

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top