Suatu hari pada 1765—sebelas tahun sebelum Amerika Serikat menyatakan kemerdekaannya dari Inggris, seorang mahasiswa hukum asal koloni Virginia membeli sebuah terjemahan Alquran. Mahasiswa itu bernama Thomas Jefferson, seorang yang kelak menjadi penulis teks Deklarasi Kemerdekaan, presiden Amerika ketiga, serta penyusun undang-undang pertama di negara modern mengenai kebebasan beragama.
Rasa ingin tahu Jefferson pada Islam terbilang unik. Pasalnya, pada masa itu sebagian besar penduduk Amerika merupakan penganut Kristen Protestan yang pandangannya terhadap Islam masih berasal dari Eropa abad pertengahan warisan Perang Salib—pandangan yang sebenarnya juga dianut oleh Jefferson.
Kendati demikian, hal itu tak menghalangi Jefferson untuk mempelajari Islam. Motivasi itu, seperti ditulis Denise A. Spellberg dalam Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013) kemungkinannya berangkat dari minat kajian Jefferson yang luas, yang tidak terbatas pada hukum dan kebudayaan Inggris dan Eropa daratan saja, melainkan juga terhadap hukum dan kebudayaan di luar itu, salah satunya adalah Islam.
Alquran yang dibeli Jefferson adalah edisi terjemahan karya George Sale yang terbit pertama kali di Inggris pada 1734 dengan judul “The Alcoran of Mohammed”. Dalam karyanya itu, Sale tidak hanya menerjemahkan teks Alquran, melainkan juga menulis sebanyak dua ratus halaman mengenai sejarah, praktik ibadah, dan hukum Islam.
“George Sale (m. 1696-1736), seorang pengacara dan penganut Kristen Anglikan, di halaman pertama karya terjemahannya, mendeskripsikan Nabi Muhammad saw sebagai “Legislator Bangsa Arab”, sebuah gambaran yang akan menarik minat Jefferson sebagai pengacara,” catat Spellberg.
Pada masa itu, mayoritas penduduk Amerika tak mengetahui bahwa kaum Muslim hadir di tengah-tengah mereka. Seperti ditunjukkan Michael A. Gomez dalam artikelnya Muslims in Early America (1994), kehadiran kaum Muslim di Amerika bagian utara bukan saja mendahului kedatangan para koloni Inggris, melainkan juga jumlahnya mencapai ribuan bahkan puluhan ribu di masa Jefferson hidup.
Kaum Muslim di Amerika merupakan bagian dari ratusan ribu para budak yang diangkut secara besar-besaran dari Afrika ke Amerika—diawali oleh bangsa Spanyol yang menguasai Florida sejak 1565 sampai 1763, lalu diikuti bangsa Perancis, kemudian Inggris. Namun, seperti disebutkan di atas, fakta ini kala itu tak diketahui oleh mayoritas penduduk Amerika.
Hal itu, misalnya, terlihat dari satu episode kecil dalam kehidupan George Washington. Sebagai pemilik perkebunan kala itu, Washington tak terlepas dari memperkerjakan budak. Dalam daftar properti yang dimilikinya terdapat dua perempuan budak asal Afrika Barat, seorang ibu dan anak perempuannya, yang bernama “Fatimer” dan “Fatimer kecil” seperti nama putri Nabi Muhammad, Fatima.
Suatu hari Washington menulis sepucuk surat kepada seorang temannya ketika ia tengah mencari seorang tukang kayu dan tukang tembok pada 1784—tiga tahun sebelum ia menjadi presiden pertama Amerika. Dalam suratnya ia menjelaskan bahwa apa pun keyakinan si pekerja tidak menjadi masalah buatnya.
“Jika mereka para pekerja yang baik, tak masalah apakah mereka itu … Mahometan [Muslim], Yahudi, Kristen dari berbagai sekte, atau Ateis,” tulisnya.
Pandangan yang pluralis ini sejalan dengan dukungan yang diberikan Washington, sebagaimana Jefferson, terhadap hak-hak Muslim dan penganut agama lain yang non-Protestan. Ironisnya, pengakuan terhadap hak-hak tersebut tidak akan bisa dinikmati oleh “Fatimer” dan “Fatimer kecil”.
“George Washington,” tulis Spellberg, “yang menganjurkan pengakuan hak kaum Muslim, tidak menyadari bahwa sebagai pemilik budak ia tengah mengingkari hak orang Muslim di lingkungannya sendiri, termasuk hak untuk menjalankan keyakinan mereka.”
Perbudakan memang menjadi duri dalam narasi tentang kesetaraan hak di Amerika kala itu. Namun, terlepas kontradiksi itu, apa yang dicita-citakan Washington dan Jefferson menjadi kenyataan. Amerika Serikat menjadi negara modern pertama yang melindungi kebebasan beragama dalam undang-undangnya.
Pertama, Statuta Virginia tentang Kebebasan Beragama yang ditulis Jefferson pada 1777 berhasil disahkan dan ditetapkan dalam undang-undang negara bagian Virginia pada 1786. Kedua, prinsip-prinsip dalam statuta tersebut menjadi bagian penting dalam Amandemen Pertama dalam konstitusi Amerika perihal kebebasan beragama pada 1791.
Dalam Jefferson and Religious Freedom, seperti dilansir The Atlantic, Merril D. Petterson mengemukakan bahwa Jefferson memiliki tiga hal dari semua pencapaian yang pernah diraihnya yang ingin ia guratkan di nisannya, yakni sebagai “Penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Statuta Virginia tentang Kebebasan Beragama, serta Pendiri Universitas Virginia”.
Bahwa Jefferson lebih memilih diingat sebagai penulis Statuta Virginia tentang Kebebasan Beragama ketimbang sebagai presiden ketiga Amerika menunjukkan betapa visionernya ia sebagai seorang pemimpin—sebuah kualitas yang sayangnya kini tak ada dalam diri Donald Trump.