Dalam Muktamar Sastra 2018, di Situbondo Gus Mus mengatakan, tidak mudah kembali pada Alquran. Banyak ilmu yang harus dipelajari, mulai dari ilmu lughah seperti Nahwu dan Sharraf, ilmu balaghah seperti badi’, ma’ani, bayan, hingga ulumut tafsir. Tanpa belajar semua itu, pemiskinan nuansa dan makna yang akan terjadi.
Saya teringat pada nalar fenomenologis ala Humean, yaitu tentang konsep bundle of perseptions. Atau, dalam bahasa berbeda namun dengan maksud yang nyaris sama, konsep Sartre tentang sequence of acts of consciousness. Maksudnya di sini, David Hume dan Jean-Paul Sartre berbicara tentang individu yang tiada, dan hanya merupakan kumpulan kesadaran.
Apa yang dijelaskan oleh Gus Mus mungkin hanya lazim di kalangan santri dan pondok pesantren. Karenanya, tulisan ini hanya coba menarasikan ulang dengan bahasa yang mungkin akan lebih mudah dipahami kalangan non-pesantren. Dengan meminjam nalar Sartre maupun Hume, Gus Mus sejatinya hanya ingin mengatakan bahwa manusia yang hendak membaca Alquran harus terlebih dahulu menyadari kapasitas intelektual dirinya sendiri. Sejauh apa pengembaraan intelektualnya maka sedalam itu pula pemahaman Alqurannya.
Sequence of acts of consciousness dari Sartre berarti bahwa manusia itu sejatinya tidak ada, kosong, netral. Tetapi pengalaman kesehariannya, latar belakang pendidikannya, interaksi sosial-politiknya adalah sekumpulan aksi yang membentul kesadaran. Jika semua itu berbeda antara satu orang dengan orang lain maka pemahaman pun akan berbeda, termasuk memahami Alquran.
Seorang mubalig muslim yang mengajak umat kepada Alquran sebenarnya dia sedang mengajak umat ke dalam kesadaran dirinya sendiri; supaya umat mengerti pengalaman hidupnya, latar belakang intelektualnya, dan interaksi sosial politiknya. Jadi, tidak betul-betul mengajak umat pada Alquran itu sendiri.
Gus Mus menyayangkan fenomena penyempitan pemahaman Alquran yang semacam ini, sebab di dalam tradisi pesantren, para santri diajak untuk menyelami samudera ilmu yang tak bertepi, bukan pada pengalaman sempit sang guru sendiri.
Gus Mus mencontohkan, katanya: “…mereka memaksudkan kembali ke Alquran versi Kementerian Agama…” Ini pernyataan semiotik untuk menyinggung fenomena sosial yang marak di kalangan generasi milenial. Yaitu, belajar Alquran dengan sedikit perangkat intelektual. Dengan bermodalkan Alquran terjemahan versi Kemenag, mereka telah mendeklarasikan diri mampu memahami Alquran.
Alquran versi Kemenag hanyalah satu dari sekian ribu cara mempelajari Alquran. Bahasa Indonesia tidak cukup memadai menampung segala nuansa bahasa dan kesusastraan Alquran. Jangankan Kemenag, para Adib Arab (Sastrawan Arab) sendiri, sepanjang sejarah peradaban Islam, belum mampu menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Arab mereka, apalagi bahasa Indonesia. Karenanya, banyak Kiai pesantren yang lebih memilih bahasa Arab untuk mengajarkan Islam.
Para Kiai pesantren menolak pemiskinan atas pemahaman Alquran. Kiai mengajak umat untuk mempelajari seluruh ilmu pengetahuan sebelum membaca Alquran. Sebab, para Kiai pesantren sadar betul apa yang dalam bahasa David Hume disebut sebagai Bundles of Consciousness. Yaitu, sekumpulan kesadaran yang harus disadari sebelum bertindak menyadari objek (baca: Alquran).
Islam sudah hidup selama 14 Abad, dan sepanjang itu pula keilmuan dikembangkan untuk memahami Alquran. Tradisi pesantren menyadari hal itu, dan karenanya mereka terus belajar, supaya mereka kenal seluruh ilmu yang pernah dicapai oleh manusia dalam mempelajari Alquran.
Pesantren bukan berarti menolak kembali pada Alquran, tetapi demi kehati-hatian dan tidak jatuh ke dalam jurang kebodohan, tradisi pesantren menggali dan mempelajari semua keilmuan itu sebelum kemudian belajar Alquran.
Di dalam tradisi pesantren, para santri mengumpulkan seluruh kesadaran manusia sepanjang sejarah (bundle of consciousness) dan menggunakannya untuk memahami Alquran. Para santri diajari dan dididik untuk berhati-hati menjelaskan Alquran ke publik, karena di satu sisi, santri harus merangkum seluruh pengetahuan yang sudah berkembang selama 1.400 tahun lebih itu, dan di sisi lain, harus menyajikan pemahaman dengan bahasa sederhana kepada publik yang tentu tidak sempat mempelajari semua ilmu.
Inilah mengapa Gus Mus mengatakan, para sastrawan santri seperti Aguk Irawan MN, tidak akan pernah berani mengajak umat muslim kembali pada Alquran an sich, dengan segala model pendangkalannya seperti yang lazim kita dengar belakangan ini.