Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub merupakan sosok ulama ternama Indonesia. Kiprahnya untuk umat islam, khususnya di negeri kita tercinta sangatlah besar. Dia adalah seorang alim di berbagai khazanah disiplin keilmuan, khususnya ilmu hadits. Hadits seakan menjadi nafas KH. Ali Mustafa Ya’qub, pendiri Pondok Pesantren Darus Sunnah ini juga pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Tak ayal lagi namanya tersohor seantero tanah air.
Pencapaian luar biasanya tersebut pastilah dihasilkan dari tindak lampah yang dia lakukan di masa mudanya saat menjadi santri. Seperti yang telah umum di dunia pesantren, para santri biasanya melakukan Riyadhoh atau Tirakat ketika mereka berada di pondok. “Riyadhoh atau Tirakat” ini adalah sebutan para santri terhadap upaya melatih diri mereka agar mendapatkan keberhasilan ilmu yang bermanfaat serta mencapai kemuliaan dunia dan akhirat. Hal seperti ini dilakukan juga oleh Ali Mustafa muda.
Semasa nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Ali Mustafa muda melakukan berbagai macam tirakat. Di bawah bimbingan Kyai Idris Kamali, dia menjadi “ahli tirakat” layaknya santri-santri Kyai Idris yang lain. Memang, dapat dikatakan santri asuhan Kyai Idris semuanya menjadi “orang”. Bagaimana tidak, syarat sebelum menjadi santri Kyai Idris saja harus hafal beberapa literatur kutubus shafra’ (kitab kuning).
Tirakat-tirakat yang diharuskan Kyai Idris untuk para santrinya begitu banyak, bermacam-macam. Dan semua tirakat itu tidak dapat dikatakan mudah. Misalnya saja tirakat puasa. Kyai Idris selalu mengajak para santrinya untuk puasa Senin-Kamis, bahkan dalam bulan Rajab semua santrinya diwajibkan berpuasa sebulan penuh. Semua tirakat ini tentunya dilakukan juga oleh Ali Mustafa muda.
Dari banyaknya tirakat yang Kyai Idris wajibkan pada para santrinya, yang paling dikenang adalah kewajiban sholat berjamaah di shaf/baris pertama. Untuk tirakat sholat berjamaah di baris pertama ini, Ali Mustafa muda melakukannya dengan sedikit berbeda daripada santri Kyai Idris yang lain, lebih istimewa. Ali Mustafa muda bukan hanya istiqomah sholat berjamaah di baris pertama, namun lebih tepatnya dia selalu sholat di barisan pertama sebelah kanan pojok Masjid Tebuireng. Secara lebih jelas, dia berdampingan langsung dengan lemari jam hias (standing clock) Masjid Tebuireng kala itu. Seakan Ali Mustafa muda mempunyai “mihrab” nya sendiri untuk sholat.
Mihrab Ali Mustafa muda ini sampai sekarang masih dapat ditemukan di Masjid Pondok Pesantren Tebuireng. Bedanya, lemari jam hias yang dulunya bersanding dengan Ali Mustafa muda sudah tidak ada lagi di dalam masjid. Lemari jam hias itu sekarang telah dipindahkan ke Kantor Takmir Masjid Tebuireng. Dari pernyataan ustadz-ustadz senior yang penulis temui di Pondok Tebuireng mengatakan bahwa lemari jam hias itu dipindahkan sekitar tahun 2006-2007.
Baris pertama sebelah kanan pojok Masjid Tebuireng ini memang tempat yang nyaman. Posisinya yang langsung bersebelahan dengan dinding masjid bisa dijadikan sandaran oleh orang yang menempatinya. Tempat ini juga berhadapan dengan salah satu jendela masjid. Angin yang masuk dari jendela tersebut pun dapat menerpa wajah dengan mudah. Sangat nyaman untuk berlama-lama i’tikaf di tempat tersebut.
*Berdasarkan Buku “Khodimun Nabi; Membuka Memori 1971-1975 Bersama Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub”, karya Cholidy Ibhar (Alumni Pondok Pesantren Tebuireng Tahun 1970-1980).