Di reruntuhan Masjid Jihad Kotobaru, Kenagarian Koto Barapak, saya tertegak. Betapa tidak. Masjid bersejarah itu tampak mengenaskan. Sejak ditinggalkan bertahun-tahun lalu, di mana warga membangun masjid baru di lahan yang sejajar dengan badan jalan, masjid lama dibiarkan begitu saja. Menunggu ambruk sepenuhnya. Bagian-bagian dalam seperti dinding dan plafon telah lebih dulu runtuh. Tinggal tiang-tiang dan tonggak tua seakan bersikukuh menahan atap dan dua kubah untuk tak rubuh.
Padahal lokasi masjid ini sangat elok. Di tepi batang Bayang yang airnya dialirkan tali-tali irigasi melewati pelataran masjid. Pancuran bambu mengucurkan air segar ke kolam-kolam ikan penduduk. Pula masih tersisa rumah-rumah beratap “tanduk kerbau” sebagai latar. Persis suasana masjid-masjid indah di daerah darek.
Saya menggigit bibir dengan hati perih. Teringat cerpen “Robohnya Surau Kami” AA Navis yang bikin giris. Dan di depan saya ada masjid tua menanggung nasibnya sendiri.
Menurut M. Amrin, penduduk setempat yang saya temui sebelum turun ke lokasi masjid, sebenarnya para tetua sempat menolak meninggalkan masjid lama. Selain pernah jadi basis perjuangan rakyat dan ulama, ketenangannya disukai dan ketersediaan air juga melimpah.
Hanya memang letaknya agak di lembah dengan jalan menuruni anak-anak tangga beton. Dan beberapa kali sungai sempat meluap ke pelataran. Konon inilah yang dijadikan alasan oleh “kaum muda” untuk memindahkan membangun masjid baru dengan nama sama di bagian atas.
“Kasihan orang-orang tua naik turun lembah,” Pak Amrin yang berusia hampir 75 tahun, menirukan mereka punya alasan. “Sebenarnya, cukup dengan memapas sisi tebing dan dibuat jalan yang landai, beres. Masalah banjir, itu jarang sekali,” katanya setengah mengurut dada.
Tentu saya tak layak menyamakan kasus ini dengan petentangan ulama tua vs ulama muda yang pernah mengguncang ranah Minang pada akhir abad ke-19. Sebab dalam hal perpindahan Masjid Jihad, pertentangan itu sepertinya sebatas teknis. Kaum muda ingin masjid baru yang lebih kekinian, di tepi jalan raya dan tidak tersuruk ke lembah. Sementara kaum tua tetap betah dengan masjid lama yang punya ikatan batin dengan mereka.
Tanpa mengabaikan dinamika yang terjadi, kaum muda menang, dan yang tua mengalah. Kini sebuah masjid pengganti—syukur masih dinamai Masjid Jihad—telah berdiri megah di tepi jalan. Arsitektur dan warna-warnanya cerlang ala selera sekarang.
Sayang masjid lama terbiarkan. Padahal masjid yang dibangun tahun 1885 ini tempat mengajar mengajar Pakih Jamil, seorang ulama Perintis Kemerdekaan (wafat 1966 dalam usia 80 tahun). Dan dinamakan Masjid Jihad karena dulu jadi pusat perlawanan rakyat. Mulai masa kolonial hingga era PDRI. Cikal-bakal Masjid Jihad adalah surau Syekh Muhammad Jamil, leluhur Pakiah Jamil.
Di samping reruntuhan masjid, terdapat makam Pakih Jamil yang sangat sederhana. Nyaris dalam semak kebun kopi. Keramik putih yang melapisinya terlihat mulai kusam. Hanya huruf-huruf di batu nisan masih jelas terbaca: Pakiah Jamil, Perintis Kemerdekaan.
Saat termangu sendiri di makam Pakih Jamil, saya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki tua. Ternyata Pak Amrin yang sempat saya jumpai di depan rumahnya. Sebelum turun tadi saya bertanya letak makam Syekh Jamil kepadanya. Ia menyusul karena khawatir saya tak dapat menemukan makam tersebut. Kekhawatirannya benar belaka. Tanpa kedatangannya saya memang bakal kesulitan. Letak makam jauh dari masjid. Pula, dalam lahan kebun kopi yang kurang terurus.
Selesai berdoa di makam Pakih Jamil, saya ikuti Pak Amrin yang mengenakan sarung. Kami menyusuri tali irigasi. Setelah menyeberangi air yang jernih di atas jembatan titian kecil, kami sampai di sebuah bangunan tua berupa kubah raksasa. Terbuat dari semen tebal khas bangunan Belanda. Penuh lumut dan perdu. Itulah makam Syekh Muhammad Jamil.
Kuburnya sendiri sebenarnya amat sederhana. Hanya gundukan tanah biasa dengan dua nisan dari batu. Tapi cungkupnya yang besar berupa kubah (masyarakat setempat menyebutnya gobah), memberi suasana dan nuansa lain pada makam tua itu. Badan Pelestarian Cagar Budaya Sumbar mengukuhkannya sebagai peninggalan cagar budaya. Tapi entah kenapa tidak termasuk sekalian dengan masjidnya. Padahal usianya juga sudah sangat tua.
Saya mengucap salam, bersimpuh dan berdoa di gobah Syekh Jamil.
Sesudah itu terdengar lagi Pak Amrin cerita. Katanya, gobah ini cukup sering didatangi orang luar Bayang. Ada untuk ziarah, ambil foto, dan ada juga yang meneliti. Ketika muda ia masih berjumpa dengan Pakiah Jamil. Tapi dengan Syekh Muhammad Jamil ia hanya mendengar ceritanya saja.
“Gobah-nya sudah ada sebelum saya lahir,” tunjuknya kepada makam Syekh Jamil. Tak lupa ia ceritakan kesaktian gobah. “Suara gemuruh akan terdengar dari mulut gobah sebagai isyarat akan datangnya suatu bahaya atau malapetaka. Biasanya bersahutan dengan gobah Asamkumbang (makam Syekh Abdurahman). Misalnya, sebelum datang wabah cacar, gempa bumi dan banjir besar.”
“Begitulah ulama, Pak, dari alam baqa pun masih sempat menjaga anak-cucu,” jawab saya menahan haru. Spontan saya teringat Gus Dur yang memuliakan tradisi ziarah kubur.
Jembatan Akar, Jembatan Akal
Saya menatap aliran batang Bayang yang tak kalah gemuruh. Saat itu hujan baru turun dari hulu. Sungai ini memang beberapa kali tercatat pernah meluap. Tapi sebenarnya ia sangat bersahabat. Bukan hanya sebagai sumber pengairan, namun di sejumlah titik di sepanjang tepiannya terdapat surau tua tempat para ulama membuka halaqah.
Uniknya, di atas batang Bayang di daerah agak ke hulu, yakni di Puluik-Puluik terdapat Jembatan Akar. Jembatan itu terbuat dari jalinan akar dua batang pohon yang terletak berseberangan. Dianggap sebagai satu-satunya di dunia, sebelum ada klaim bahwa jembatan sejenis juga ada di India. Tapi lebih pendek.
Dalam dunia pariwisata Kabupaten Pesisir Selatan khususnya dan Sumatera Barat umumnya, Jembatan Akar sangat terkenal. Jauh sebelum Kawasan Mandeh dan Pantai Carocok Painan yang kini moncer. Selain itu, Bayang punya air terjun Bayang Sani, tempat pemandian noni-noni Belanda zaman “saisuak”. Ada juga Ngalau Dewa, bekas tempat persembunyian para pejuang. Pedalaman Bayang memang kaya dengan potensi wisata alam dan sejarah.
Inisiator dan pembuat Jembatan Akar tak lain seorang ulama bernama Pakiah Sokan. Ia tinggal di kampung Lubuk Silau, seberang Puluik-Puluik. Tiap hari ia lihat warga kesulitan beraktivitas. Termasuk anak-anak yang hendak pergi dan pulang mengaji. Sekitar tahun 1916, ia mengajak masyarakat menjalin akar-akar dua pohon beringin besar yang tumbuh di kedua sisi batang Bayang. Itu semua dipelihara bertahun-tahun sampai bisa dilewati sebagai jembatan.
Saya pernah menulis khusus tentang Jembatan Akar di Harian Suara Merdeka, Semarang. Saya menyebutnya “Jembatan Akar, jembatan akal.” Kenapa demikian? Karena perhatian besar dan panjangnya akal seorang ulamalah maka jembatan unik itu terwujud. Wujud hablum minallah dan hablum minannas seorang ulama. Ini menjadi representasi wujud kiprah para ulama dari Bayang. Membawa berkah bagi semua orang.
Kejayaan dan Kisah Sebuah Trah
Saya mengenang Bayang dengan segala sisa kejayaan silam. Salah satunya kemegahan sebuah masjid di Pasarbaru, ibukota kecamatan Bayang. Yang menarik perhatian, masjid itu disebut sumbangan H. Is Anwar Dt. Rajo Perak, pengusaha kelahiran Tarusan tapi punya keluarga di Bayang. Peresemiannya dilakukan gubernur Sumbar kala itu.
Kini dari segi kemegahan dan ukuran fisik, tentu kalah dengan Masjid Raya Painan yang dilengkapi taman dan tagline “Pasisie Rancak”. Juga keunikan masjid terapung, Masjid Illahi, Pantai Carocok. Tapi nilai masjid Is Anwar tak pernah pudar. Sama seperti Masjid Al Munawwarah, Kapencong, Lubuk Gambir atau Masjid Taqwa Asamkumbang yang bersejarah. Tapi ketika ingat Masjid Jihad lama di Koto Barapak, hati saya miris.
Saya juga mengenang Bayang dengan perusahaan busnya yang termasuk awal di Pesisir Selatan. Bus Rambayan Sati sudah ada sejak tahun 70-an. Lalu PO Mansiro dan DMB. Bertahun-tahun kemudian saya berkenalan dengan salah seorang anak pemilik perusahaan bus tersebut. Namanya Aldo Zirsov, seorang dokumentator literasi Minangkabau di Jakarta.
“PO Rambayan Sati, DMB (Djasa Murni Bayang) dan jauh sebelumnya lagi ada PO Epi Djaja, semua didirikan ayahku. Ia juga mendirikan PO Mansiro sebelum izin trayeknya dijual,” tulis Aldo menanggapi tulisan saya tentang bus-bus legendaris di Pessel, di sebuah laman. “Ayah saya sempat lama menjadi Wakil Ketua Perhimpunan Buruh Transport Agen dan Pengusaha Bus Oto Terminal Lintas Andalas,” tambahnya.
Yang menarik, nama perusahaan oto bus keluarga Aldo mengambil nama-nama lokal di Bayang. Selain Djasa Murni Bayang (DMB) yang maksudnya murni usaha orang Bayang, Rambayan Sati diambil dari nama batu besar di tengah batang Bayang. Ada pun Mansiro merupakan nama pancuran mandi orang Asamkumbang. Tahun 90-an, dari keluarga lain, muncul PO Bayang Sani Indah. Itu jelas diambil dari nama objek wisata air terjun legendaris di sana.
Dari Aldo saya juga dapat cerita sebuah trah. Meski diceritakan trahnya sendiri, namun terkait dengan sejumlah nama. Potret dan representasi keluarga besar di Bayang.
“Dalam sejarah diceritakan bahwa Syekh Bayang pergi belajar ke Alahanpanjang. Beliau berguru kepada Syekh Muhammad Salih bin Muhammad Saman. Nah, Syekh Salih ini adalah kakek buyutku dari pihak ibuku. Dari beliau yang menikah dengan perempuan Asamkumbang, lahir kakekku, Muhammad Nazir Dt. Rajo Batuah, kepala kepolisian Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci sebelum meletus PRRI. Kakekku menikah dengan perempuan Bayang juga, dan lahirlah ibuku sebagai anak kedua,” tulis Aldo yang ber-japri-ria dengan saya.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Syekh Salih juga punya istri orang Alahanpanjang dan Solok. Salah satu istrinya itu menurunkan Gamawan Fauzi, mantan Mendagri dan gubernur Sumbar. “Saya dan Pak Fauzi itu satu level dalam silsilah,” sebut Aldo.
Menurutnya, keluarga besarnya memelihara tradisi ziarah ke makam Syekh Salih bin Muhammad Saman di Alahanpanjang. Itulah momen reuni keluarga. Saya bayangkan alangkah nikmatnya bersilaturahmi dengan keluarga besar, baik yang hidup maupun yang mati. Apalagi Alahanpanjang, tempat kelahiran M. Natsir tersebut, sejuk dan indah nian.
Di kota kecil itulah Gamawan Fauzi kini tinggal dan berkebun, dan sesekali menulis artikel. Mungkin juga sambil menggubah lagu. Siapa tahu nanti ada lagu persembahan kepada leluhurnya, Syekh Salih, yang sebagian keturunannya berkembang pula di Bayang.
Untuk nama-nama tempat yang terkenang, ada baiknya saya kutipkan sebait sajak Deddy Arsya dari bukunya, Odong-odong Fort de Kock (2014). Deddy, penyair dan dosen sejarah Islam kelahiran Bayang, sekarang mukim di lereng Gunung Singgalang, Pandai Sikek. Tulisnya:
Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentak
Yang bisa bergeser antara lupa dan ingat.
Kami melepasnya untukmu yang jauh pergi begitu lama
dan pulang sekali saja,
menjelang senja hari, menjelang mati
Sungguh mengharukan, ibu saya selalau bercerita tentang Syaikh Moh Jamil, yg berlindung di gubah samping mesjid jihad tsb,
Para pejuang dulu berjuang betul betul dengan tuntunan agama yg sangat kuat, pada umumnya adalah ulama Sufi, Thn 1663 sd 1772 konon terjadi perang Bayang yg di pimpin penghulu di bayang, dengan bantuan dari Tiku, Sungai pagu, dll. Mempertahankan tambang emas di salido kecil (Tambang). Sementara bandar sepuluh, daerahnya mulai dari Batang kapas arah selatan yg di pimpin sultan dari Indrapura mempersilahkan penjajah masuk, org Aceh bilang dgn istilah Traktat Painan, Perjanjian Belanda dgn sultan di Bandar sepuluh, bayang adalah tempat perjuangan, makaanak cucunya sampai sekarang tidak pernah gentar merantau kemanapun, ada suatu istilah org Bayang biasa mati menelungkup (Tengkurap) mungkin mati Sahid dalam peperangan.🙏