Di dalam paragraf pertama mengenai Ibu Kota Nusantara (IKN), kita sudah dibuat bingung akan persoalan bahasa. Keresahan mulai diungkapkan beberapa pihak untuk mengantarkan kita bahwa bahasa Indonesia terlalu berisiko kehilangan keberadaannya. Itu terbukti dalam semantik bahasa yang terjadi pada instrumen yang terdapat di sana.
Keresahan demi keresahan diungkap dengan situasi yang terjadi berupa pelibatan bahasa yang cenderung “nginggris”. Itu digunakan untuk pemberian keterangan tempat, narasi media sosial, hingga tema-tema acara yang sejauh ini telah dilangsungkan. Fenomena ini menarik ditelaah.
Ahmad Arianto (2024) mengungkapkan, “media sosial dan laman resmi IKN juga masih gemar menggunakan bahasa asing. Laman resmi IKN yang telah menerapkan fitur dua bahasa juga masih memunculkan bahasa asing dalam fitur bahasa Indonesia.”
Peneliti di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut juga memberi beberapa contoh peristiwa yang ia amati. Di antaranya: groundbreaking, launching, topping off, voice of nusantara, hingga telecommunication and digital center. Apakah gejala tersebut hanya sebatas “keminggris” ria? Ataukah ada struktur makna di balik fenomena tersebut?
Di dalam politik nasional, fenomena kebahasaan itu sudah lazim terjadi. Pernyataan Alif Danya Munsyi nampaknya relevan untuk membaca hal tersebut. Di buku garapannya berjudul Bahasa Menunjukkan Bangsa (Kepustakaan Populer Gramedia, 2005) salah satunya memuat esai berjudul “Ngingris: Penyakit Remaja yang Belum Tanggal pada Orang Tua”. Di sana Alif menjelaskan:
“Menurut anggapan saya, gejala ‘nginggris’ tidak muradif dengan multilingual, poliglot, kecakapan berbahasa banyak, atau apapun sebutannya, yang mengarah ke terminasi kecendekiaan, tetapi lebih aktual sebagai gejala “penyakit keremajaan”: kebingungan mencari identitas dalam kepribadian yang pecah, lantas diekspresikan dengan cara yang aneh-aneh, kenes, genit.”
Agaknya, pemerintah sedang mengidap wabah tersebut—yang dengan sendirinya telah mengajarkan kita untuk berkenes ria dalam berbahasa. Di mata kekuasaan, bahasa Indonesia tidak direpresentasikan sebagai arus utama. Kita menghadapi gejolak yang berarti akan identitas nasional. Di pikiran kuasa, bahasa Indonesia kelihatannya masih sulit menjadi alat berpikir.
Politik Bahasa
Sejarah pencampuran bahasa Indonesia dengan asing dalam ranah penuturan tergambar dalam fase perubahan kekuasaan pemerintah. Presiden Sukarno memberi bukti melalui pidato maupun tulisan-tulisannya. Bahwa ia termasuk sosok yang melibatkan istilah asing di dalamnya, seperti bahasa Inggris dan bahasa Belanda.
Situasi jauh berbeda terjadi ketika masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Ia termasuk sosok jarang menggunakan bahasa asing dalam pidatonya. Bahkan di pertemuan internasional, ia menghadirkan penerjemah khusus atas uraian bahasa Indonesianya di hadapan orang luar. Perlu diketahui pula, dalam masa ini, bahasa Indonesia menjadi bentuk relasi kuasa dengan diperkuat akan kelahiran bulan bahasa pada Oktober 1984, yang kemudian tiap tahunnya diperingati sebagai bulan bahasa.
Reformasi yang berlangsung sejak 1998 agaknya membuka keran perubahan bahasa dalam politik nasional. Jika kita mengamati, selain perkembangan teknologi, arus yang melatarbelakangi tentu faktor globalisasi yang terus membuka diplomasi ke luar. Relasi yang terjadi itu menegaskan bertukar dan datangnya istilah-istilah baru—dalam konteks bahasa Indonesia sejatinya memerlukan apa yang dinamakan upaya penyerapan sebagai bentuk pengembangan bahasa. Multilingual lazim terjadi.
Yang Perlu Dibaca
Ada banyak persoalan yang melandasi bagaimana “fenomena nginggris” terus terjadi dalam situasi mutakhir, sekalipun itu dalam lanskap urusan administrasi dan kenegaraan. Dalam posisi ini, Sutan Takdir Alisjahbana jauh-jauh hari pernah mengingatkan akan pentingnya memberikan fondasi kebudayaan dalam kesadaran terhadap pengambangan bahasa Indonesia. Hal tersebut tak lepas perkembangan dunia modern yang pasti berpengaruh pada kebahasaan.
Misalkan dalam bunga rampai Politik Bahasa Nasional (Balai Pustaka, 1980), terdapat tulisan Sutan Takdir Alisjahbana berjudul “Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia”. Ia menegaskan, “Berhasil atau gagalnya kita menumbuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern bergantung kepada berhasil atau gagalnya kita memberi isi dunia modern yang selayaknya kepada bahasa kita itu.”
Dalam uraian pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memang dinyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Namun, banyak pengamat bahasa kurang bersepakat bahwa urusan berbahasa hanya sebatas diatur dengan keberadaan undang-undang maupun peraturan pemerintah. Berhubungan itu, misalkan seorang munsyi, Eko Endarmoko (2007) menyatakan hal itu mengingkari hakikat bahasa sebagai unsur budaya yang hidup dan berwatak manasuka.
Jelaslah bahwa “fenomena nginggris” tidak boleh diletakkan semata-mata pada gairah penghakiman pada mereka yang lebih memilih kata maupun istilah Inggris di ruang publik. Dengan kata lain, di sana ada musabab yang berkemungkinan membentuk prakondisi atas masalah yang menggejala. Satu hal tersebut harus kita taruh pada perkembangan pendidikan tinggi kita.
Tradisi yang berkembang dalam warga akademik acapkali mengabsenkan kesadaran terhadap pengarusutamaan bahasa Indonesia. Ini terbukti dengan fenomena publikasi ilmiah yang secara sistem diharuskan berindeks internasional. Sistem itu sebagai kewajiban mengikat dan lambat laun membentuk bagaimana bahasa Inggris sebagai arus utama.
Mafhum, belum tentu karya-karya ilmiah yang disusun dengan bahasa daerah maupun bahasa Indonesia menjadi perhatian dalam tingkatan publikasi. Dengan kata lain, karya-karya tersebut yang sejatinya berdampak besar bagi ruang pengetahuan publik, kalah saing secara nilai kredit di kalangan warga akademik. Kita curiga, terlalu mudah mengesahkan bahwa kalangan cerdik cendekia akhirnya mudah menjadi kalangan yang kenes dalam berbahasa Inggris.
Persoalan selanjutnya adalah pada aspek media. Pers di dalam hal ini tercakup di dalamnya. Betapapun harus kita pahami, wabah “fenomena nginggris” dalam konteks mutakhir berpangkal pada cepatnya arus teknologi digital. Celakanya, kebiasaan itu kemudian diikuti oleh peranan media pers. Tidak sedikit pihak-pihak media pers justru melanggengkan dalam penulisan berita dengan struktur kalimat yang mencampuradukkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Terlihat nyata, kaum terdidik yang tak sedikit juga berada di ruang pemerintah mengadapi tantangan yang tak terkira. Berbahasa Indonesia yang laras kemudian membutuhkan pertanggungjawaban dari berbagai pihak. Sejarah bahasa Indonesia menautkan pada penemuan nasionalisme dengan perjuangan yang panjang. Cara pandang kepadanya seharusnya adalah bentuk kesadaran yang perlu terus dipupuk untuk mengembangkan dan membina keberadaan bahasa Indonesia.[]