Sedang Membaca
Guru, Lagu, dan Kita sebagai Bangsa
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Guru, Lagu, dan Kita sebagai Bangsa

Screenshot 20220726 204745 Instagram

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita ratusan guru honorer di sekolah negeri di Jakarta tiba-tiba diberhentikan secara sepihak oleh dinas pendidikan. Mereka terdampak kebijakan pembersihan atau cleansing guru honorer yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Keputusan mendadak ini tentu saja berdampak besar bagi kehidupan para guru honorer.

Guru honorer adalah guru yang digaji tidak tetap, tetapi secara tugas dan pekerjaannya sama dengan guru tetap. Tapi sebagaimanapun definisinya, ia tetaplah seorang guru. Guru adalah figur berjasa yang mendidik dan mengajarkan berbagai macam bentuk ilmu pengetahuan. Guru adalah orang tua kedua yang menyusun langkah hidup kita.

Guru adalah sosok yang selalu diingat, diperingati dan jadi monumen dalam memori diri dan komunal. Pada setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru. Dan dalam setiap perayaannya, akan selalu dinyanyikan “Hymne Guru”.

Lagu yang diciptakan oleh Sartono ini mengisahkan kiprah guru yang tak terperi. Liriknya memuja guru sebagai pelita dalam kegelapan, embun penyejuk dalam kehausan juga patriot pahlawan bangsa. Nama sang guru akan selalu hadir dalam sanubari, sebagai prasasti terima kasih atas pengabdiannya.

Lagu

Lagu adalah penanda, pencatat dan penggerak sejarah Indonesia. Banyak peristiwa penting dikisahkan melalui lirik dan nada. Itulah mengapa lagu diajarkan dalam pendidikan, diperdengarkan dan menjadi bagian dari peringatan hari-hari penting bangsa. Menyanyikan lagu sejarah bangsa menjadi penanda rasa patriotisme dan nasionalisme.

Baca juga:  FOMO: Apa Esensinya dalam Islam?

Meskipun demikian, kita kerap melupakan sosok yang menciptakan lagu yang kita nyanyikan. Negeri ini punya banyak koleksi lagu kepahlawanan, tapi jarang menempatkan pencipta lagu sebagai pahlawan. Padahal rasa kebangsaan kita juga ditumbuhkan oleh lagu-lagu perjuangan dan kepahlawanan, hasil karya pencipta lagu.

Seperti lagu “Hymne Guru” lahir sebagai karya dari seorang guru musik SMP Katolik Santo Bernardus di Madiun, Jawa Timur. Disarikan dari kompas.com (25/11/2020), Sartono adalah guru seni musik otodidak yang bahkan karena keterbatasan alat musik yang dipunyai, lagu “Hymne Guru” diciptakan dengan bersiul sambil menuliskan nada dan liriknya ke dalam catatan kertas.

Sebagai seorang guru, Sartono mengungkap kenyataan yang ada dibalik pekerjaan mulia itu. Musikalitasnya sederhana tapi liriknya liris. Hasilnya adalah suatu potret kemanusiaan yang nyata, menyentuh dan humanis. Seperti kisahnya, yang selama bertugas, gajinya pas-pasan dan tidak banyak, sebatas Rp 60.000 per bulan di masa pensiunnya.

Tapi kecintaannya pada musik dan profesi guru membuatnya menciptakan lagu “Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang diikutsertakan dan memenangkan lomba dan mengalahkan ratusan dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 1980.

Selain mendapatkan sejumlah uang sebagai pemenang, Sartono bersama sejumlah guru teladan lainnya di seluruh Indonesia dikirim ke Jepang untuk studi banding. Meski karyanya sangat fenomenal dan dinyanyikan oleh hampir semua orang di negeri ini, dia disebut-sebut tidak pernah menerima sepeser pun royalti atas hasil karyanya tersebut (kompas.com).

Baca juga:  Konstruksi Identitas Gerakan Hijrah

Kisah guru juga pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals lewat Oemar Bakrie (1981). Lagu ini menceritakan pengabdian panjang seorang guru selama 40 tahun. Sebagai seorang pendidik, banyak muridnya yang telah menjadi profesor, dokter, insinyur bahkan menteri. Meskipun demikian, gajinya tetap dikebiri.

Sebagai produk kebudayaan, lagu mampu menceritakan kenyataan hidup yang terjadi. Bahwa dibalik nada dan kisahnya, ia juga mampu membawa dan mengikat individu-individu menjadi satu dalam menghadapi suatu permasalahan bersama, mulai dari tema politik, masalah sosial ekonomi, cerita personal hingga religiusitas. Lagu-lagu yang kita nyanyikan dengan merdu dan lantang saat ini, mewakili kisah banyak orang dalam jalinan permasalahan yang terjadi dalam diri kita sebagai sebuah bangsa.

Sejarah

Dalam sejarah, guru memang mempunyai posisi penting dalam sosio-kultural masyarakat Nusantara. Posisi dan pekerjaan sebagai guru, selain pamong praja, dokter atau juru tulis, mendapat tempat terhormat dalam kehidupan.

Hal ini dituliskan oleh Ranggawarsita dalam Serat Jayengbaya (1826) yang mencatat jenis pekerjaan dalam masyarakat Jawa dalam tembang sejumlah 250 bait. Kisahnya mengandung refleksi filosofis atas pekerjaan dalam hidup manusia.

Karya ini bisa menjadi acuan gambaran masyarakat abad XX di Jawa yang menjadi ironi dimasa kini, seperti dinyanyikan dalam lagu. Bahwa pada masanya guru menjadi salah satu wujud kebaikan nasib, kehormatan dan kemuliaan. Guru menjadi simbol pencapaian hidup dalam kemapanan, prestise dan kehormatan. Terlebih di jaman itu, dengan bekal pengetahuan dan kepandaian, guru menjadi suluh penerang bagi masyarakat tanah jajahan yang belum semua mengenal pendidikan.

Baca juga:  Diaspora Santri (5): Muslim di Garis Merah Amerika: Antara Kita dan Blacklivesmatter

Meski demikian, peran dan fungsi guru mengalami pasang surut. Sejarah memang pernah mencatat guru menyemai rasa dan logika kebangsaan, terlibat aktif secara politis bahkan berjuang aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Tapi pada fase selanjutnya, guru mengalami pembatasan secara profesi, politis, sosial dan juga kultural. Negara mengontrolnya melalui posisinya sebagai pegawai negeri dengan instrumen administratif yang ketat, alih-alih mengelola tapi justru mengerdilkannya. Hal ini berlangsung dalam berbagai fase pemerintahan, sejak Orde Baru termasuk hingga yang terjadi akhir-akhir ini.

Padahal di balik itu, banyak cerita banyak guru yang mengabdi tanpa pamrih selama puluhan tahun, demi melahirkan murid-murid terbaik bagi negeri ini sementara hidupnya serba terbatas hanya karena belum diakui sebagai pegawai negara secara administrasi.

Guru dinyanyikan dalam sebuah hymne atau gita puja-puji sebagai penghormatan. dalam sebuah upacara perayaan. Guru membuat negeri ini menyenandungkan kisah kepahlawanan para guru yang berjuang demi bangsa, dari dulu hingga kini, dalam beragam bentuknya.

Jika kita menyanyikan “Hymne Guru”, kita harusnya bisa berefleksi dan menyadari bahwa nada dan irama hanyalah media, sementara spirit yang mendasarinya adalah penghargaan sesungguhnya kepada “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” itu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top