Perempuan merupakan makkluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia. Agama Islam meninggikan derajat seorang perempuan. Al-Quran menjelaskan kedudukan perempuan dalam Islam sama dengan laki-laki. Perempuan diciptakan sebagai pasangan buat laki-laki bukan sebagai budak atau harta yang bisa diperjual belikan. Keistimewaan yang dimiliki perempuan menegaskan mempunyai peranan penting dalam ranah sosial.
Keistimewaan yang dimiliki perempuan tak bisa dimengerti oleh sebagian orang. Pada konteks ini, saya mencoba menjelaskan fenomena keterlibatan tindak terorisme dan radikalisme yang meningkat. Peristiwa penyerangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia oleh Zakiah Aini yang berusia 25 tahun memberikan tanda bahwa perempuan menjadi korban tindakan radikalisme di Indonesia.
Aksi terorisme yang melibatkan perempuan bukan kali ini terjadi. Kasus Dian Yulia Novi yang pertama terkuak. Dian mengaku mengalami indoktrinisasi jihad qital melalui internet yang dilakukan calon suaminya saat itu. Kasus itu mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia seorang istri direkrut untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bomber).
Keterlibatan perempuan menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2018 tercatat 13 perempuan yang terlibat dalam aksi teror, sedangkan pada 2019 bertambah menjadi 15 orang, termasuk kasus yang meledakan diri oleh isteri Abu Hamzah di Sibolga, Sumatera Utara, pada Maret 2019.
Mengapa Memilih Perempuan sebagai Agen Radikalisme?
Data menunjukkan bahwa perempuan mempunyai posisi strategis dalam menyebarkan narasi-narasi radikalisme di Indonesia. Ada beberapa mengapa perempuan dijadikan sebagai agen radikalisme. Pertama, rendahnya tingkat literasi yang menyebabkan perempuan bias gender. Pemahaman dangkal yang mudah menerima doktrin tentang konsep jihad, kafir, thagut, khilafah.
Kedua, perempuan dianggap loyal dan patuh. Ideologi patriaki yang dimiliki oleh laki-laki memberikan relasi kuasa yang begitu timpang. Buku Perempuan dan Terorisme karya Leebarty Taskrina memperkuat argumen bahwa pandangan bahwa para isteri yang dilibatkan dalam kejahatan terorisme ini adalah korban, bukan pelaku. Perlibatan para isteri dalam kejahatan terorisme didominasi hubungan sistem patriaki dalam bentu viktimasi.
Ketiga, perlibatan perempuan taktik siasat untuk melemahkan aparat penegak hukum. Interpretasi perempuan keagamaan yang eksklusif melahirkan agency tindakan permusuhan dan kebencian. Proses indoktrinisasi yang lebih mudah, para teroris menggeser taktik untuk mengelabui sasaran aksi teror. Peristiwa beberapa terakhir memberikan tanda bahwa penggunaan perempuan sebagai agen terorisme menjadi sering terjadi.
Rekrutmen perempuan begitu masif dilakukan, mereka yang rendah literasi beragama cenderung terpapar karena propaganda, dari media sosial dari orang terdekat. Mungkin, dari keluarga, teman dekat yang memberikan proses orientasi tentang narasi-narasi radikalisme.
Lies Marcoes menjelaskan bahwa konsep jihad yang diyakini oleh perempuan terlibat di dalam aksi terorisme merupakan bentuk kesadaran dan keingingan mereka agar dilibatkan dalam aksi teror dan upaya kezaliman dan musuh Allah. Radikalisme teror menanamkan istilah Jihad Kabir, yaitu turun langsung ke medan perang atau dengan kata lain menjadi pelaku aktif dalam aksi teror itu merupakan perempuan menjadi pendorong dan penguat para laki-laki.
Posisi perempuan menjadi pendorong dan penguatnya bagi laki-laki. Peran lainnya dari seorang perempuan adalah menjadi seorang yang menyiapkan jundi anak lelaki yang akan menjadi jundullah atau tentara Allah. Secara keseluruhan, peran perempuan dalam aksi terorisme yang dipropaganda oleh radikalisme bukanlah menjadi pelaku sentral. Inilah yang dikemukan menjadi kunci penting untuk mengindentifikasi keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme.
Perkuat Agen Literasi Keagamaan
Namun, demikian untuk menghadapi radikalisme dalam pelibatan perempuan yang selama menjamur diperlukan langkah-langkah strategis dengan melakukan counter-radikalisme secara terstruktur, sistematis dan masif. Setidaknya, jika kita lebih aktif untuk memberikan pembelajaran pola agency sejak dini, dalam upaya menyadarkan– dalam hal ini perempuan, bahwa tindakannya adalah aksi teror.
Secara sosiologis, meminjam istilah Anthony Giddens, perlibatan berbagai pihak sebagai agen untuk deradikalisasi perempuan akan menciptakan dialektika kendali (dialetic control) dan hubungan interaksionisme dalam menyebarkan Islam Wasathiyah. Keterlibatan, agen dari berbagai aspek menjadi modal utama untuk memperbaiki pola literasi keagamaan dalam komitmen keagamaan dan kebangsaan dalam tarikan nafas keindonesiaan.
Agen itu bisa dimaksud adalah pemerintah. Ditambah kekuatan organisasi masyarakat sebagai kekuatan civil society, seperti NU atau Muhammadiyah. Pola literasi keagamaan disebarkan/disampaikan dengan berbagai cara dalam peta konsep deradikalisasi yang jelas.
Itu sebabnya, jika semuanya pihak terlibat dalam upaya agen dalam menangkal gerakan radikalisme, maka gerakan itu akan memudar sendirinya. Sebab, sebagai ideologi mereka akan tetap tumbuh di tengah-tengah masyarakat dan hanya bisa dibendung dengan kesadaran partisipatoris masyarakatnya.
Kasus keterlibatan perempuan memberikan pembelajaran kepada kita semua, teruntuk kepada aparat penegak hukum serta gerakan civil society ini. Bahwa komitmen kebangsaan dan keindonesiaan menjadi ujian yang nyata. Kerja kolaboratif untuk menjadi agen yang menyebarkan literasi keagamaan yang menyebarkan Islam Rahmatan lil alamin.