Perkara bersin dan menguap saja diatur oleh Islam, apalagi urusan buku. Karena buku adalah sumber ilmu, maka Islam memberikan perhatian khusus untuk masalah ini. Dari itulah, buku dan yang terkait dengannya (seperti membaca dan meletakkan buku) diatur sangat rinci.
Pemikiran ulama dulu yang kita terima saat ini dan kita kaji hari ini tak lain disebabkan–sebagian besar—karena mereka menyampaikan gagasan tersebut melalui buku (kitab). Kita berutang banyak kepada para penahkik, penulis anotasi, serta pustakawan. Tanpa mereka, buku-buku atau kitab ulama salaf yang terselamatkan dan tersisa tidak akan sebanyak sekarang sebab raib atau hilang ditelan zaman.
Dari berbagai pengalaman dan sumber, saya mengumpulkan beberapa butir aturan terkait buku. Inilah dia di antaranya:
1. Perhatikan nama pengarangnya, diingat, syukur-syukur jika Anda punya kelapangan waktu untuk mengirimkan doa untuknya. Lebih afdal jika kita mengetahui latar belakang dan identitasnya pengarangnya;
- Kata pengantar (jika ada) adalah bagian penting dari buku, jadi bacalah, karena ia merupakan gambaran umum isi buku;
- Periksa halaman indeks. Jika topik yang Anda ingin ketahui tidak tercantum di sana, maka kemungkinan besar informasi yang Anda harap dari membaca buku tersebut tidak akan didapat. Anda hanya akan mendapatkan informasi/ilmu lainnya. Jika halaman indeks tidak ada, gantinya—meskipun secara fungsi tidak sama dengan indeks karena bersifat lebih umum—adalah daftar isi;
- Saat membaca buku, tandai bagian-bagian yang Anda anggap penting, cukup dengan membubuhkan titik atau cawang di bagian margin kertas. Hal ini bertujuan untuk dibaca ulang setelah Anda selesai membaca keseluruhan atau menjadi rujukan kelak saat teks tersebut diperlukan.
Itulah beberapa teknik membaca sebuah buku atau kitab. Yang tak kalah penting adalah aturan dan anjuran Islam dalam memperlakukan buku. Karena buku atau teks informasi memiliki nilai luhur sebagaimana tersirat dalam perinta iqra’, maka ada adab khusus dalam menyerap atau membacanya.
Mari kita perhatikan! Jika Anda pernah mendapati majalah di toilet hotel, yang demikian itu tidak diperkenankan di dalam Islam. Toilet adalah tempat yang ‘buruk’ (oleh karena itu ada anjuran “doa perlindungan” di saat kita masuk ke dalamnya) sedangkan buku adalah hal yang baik. Maka dari itu, adalah hal yang tidak terpuji apabila kita membawa hal yang baik ke tempat yang buruk, seperti membawa (apalagi membaca) buku ke dalam toilet.
Jangankan membawab buku ke toilet. Meletakkan kopyah atau serban di atas buku pun terlarang.
Kopyah dan serban yang sepintas luhur karena umunya dibawa salat, marwahnya tetap ‘kalah derajat’ dibandingkan buku atau kitab. Bahkan, dalam urusan menyusun letaknya pun ada aturan mainnya, misalnya cara menyusunnya secara vertikal.
Peletakan yang benar adalah menempatkan tafsir/Alquran di tempat paling atas. Buku-buku yang terkait dengan materi fardu ain harus berada lebih tinggi ketimbang buku resep masakan atau teka-teki silang, dlsb. Demikian pula, buku catatan hutang harus diketahui oleh ahli waris, seperti istri atau anak, demi kemudahan pengurusan “hak adami” (hak antar-individu & kemanusiaan; seperti membayar hutang) jika kelak kita meninggal.
Tata cara belajar pun ada adabnya. Di dalam kitab babon pesantren, Ta’limul Mutaallim, dijelaskan bahwa waktu terbaik mempelajari kitab adalah waktu ‘sahr’ (menjelang Subuh), juga rentang waktu antara Maghrib dan Isya.
Apabila kita bosan terhadap satu disiplin ilmu, carilah kitab/buku yang lain. Begitulah Syaikh Az-Zarnuji memberi saran. Konon, jika Ibnu Abbas R.A dihantui rasa jenuh di saat belajar, beliau akan meraih buku-buku kumpulan puisi para penyair.
Tradisi pesantren mewariskan penghormatan yang luar biasa kepada pengarang. Biasanya, sebelum mengaji/mendaras kitab, kiai (di dalam pengajian bandongan) membuka pengajian dengan pembacaan Surah Al-Fatihah lebih dulu kepada pengarang dan menutupnya dengan doa. Beginilah adab dan tata cara berterima kasih serta menghargai ilmu yang dipelajari.
Saat ini, adanya buku-buku elektronik dan perpustakaan digital yang kini ‘mampat’ dan bahkan bisa masuk ke kantung baju menjadi masalah baru dalam jagad perbukuan. “Maktabah Syamilah” adalah contohnya. Aplikasi yang memuat puluhan ribu kitab ini sangat praktis.
Namun demikian, Agus Zainal Arifin mewanti-wanti agar kompilasi kitab-kitab digital, termasuk “Syamilah”, berguna sekadar alat indexing saja, bukan rujukan utama. Tradisi Islam tetap mengutamakan kitab yang sudah pernah ditashih langsung kepada seorang guru yang otoritatif dengan cara mengaji atau ijazah untuk menjamin ‘keaslian’ dan adanya sanad (mata rantai yang terhubung) di dalam ilmu.
Adapun penghargaan lainnya adalah peng-harga-an terhadap karya. Kita tahu, kitab-kitab lektur pesantren relatif murah harganya karena pengarang tidak lagi menerima royalti.
Memang betul, naskah buku yang berusia 50 tahun rata-rata berstatus public domain. Namun, karya-karya ulama kontemporer yang pengarang atau ahli warisnya masih hidup dan terlacak, masih berhak menerima keuntungan finansial dari royalti penjualan.
Sebab itulah, membeli karya bajakan adalah persoalan menyedihkan dan terlarang. Mengapa? Boleh jadi kita mendapatkan ilmu yang sama dari buku bajakan maupun yang asli, tapi ingatlah adagium ini: “al-ilmu fis shudur, la fis suthur” yang maksudnya kira-kira; ilmu itu mengalir dari dada guru/pengarang ke dada murid/pembaca, tidak semata-mata berasal dari tulisan yang tersurat dan tertera.
Wallahu a’lam.
Kayaknya saya perlu belajar banyak tentang adab bersama buku. Sering kali masih meletakkan sesuatu atau barang di atas rak buku.
Memegang buku dengan tangan kanan ?