Sedang Membaca
Walau Pernah Diperintah Perang, Islam Tak Pernah Memulai Peperangan

Walau Pernah Diperintah Perang, Islam Tak Pernah Memulai Peperangan

damai

Perintah Allah kepada umat Islam untuk memerangi orang kafir baru disematkan ketika Nabi Muhammad sudah hijrah ke Madinah. Sebelumnya, sejak Nabi diutus menjadi rasul dengan misi menyampaikan dakwah tidak sedikit pun Nabi melakukan aksi anarkis yang berupa memerangi kaum kafir. Nabi yang mulia lebih memilih untuk sabar atas penganiayaan yang amat pedih dari orang-orang Arab di Makkah dan orang Yahudi di Madinah.

Perih memang jika mengingat kembali hal itu. Abdurrahman bin ‘Auf, al-Miqdad bin al-Aswad dan Saad bin Abi Waqash merupakan segelintir sahabat Nabi Muhammad yang mendapatkan penganiayaan besar-besaran dari kaum musyrikin Makkah. Sahabat-sahabat nabi banyak mengusulkan “Wahai Rasulullah, kita adalah orang-orang mulia, sedangkan mereka adalah orang musyrikin. Ketika kita diam saja (tidak bertindak apapun) maka nantinya kita akan hina. Izinkanlah kami untuk memerangi mereka karena kami telah disakiti olehnya”. Masih dengan sifat wibawanya, Nabi bersabda “Tahanlah tangan kalian, saya tidak diperintah untuk memerangi mereka”.[1]

Barulah ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, Allah memerintahkan untuk memerangi orang kafir namun dengan catatan jika orang kafir yang mendahului peperangan (bahasa enaknya, kalau orang kafir ngajak tawuran duluan kita baru boleh perang. Kalau tidak diajak ya tidak boleh).

Baca juga:  Mengungkap Usia Aisyah Saat Menikah dengan Nabi (4): Nabi Menikahi Aisyah pada Usia 18 Tahun

Lambat laun Allah memperbolehkan untuk memerangi orang kafir namun di selain bulan-bulan mulia. Dan pada akhirnya Allah mutlakkan kebolehan perang kapanpun dalam kondisi apapun. Memang dari peperangan, Islam langsung mendapatkan banyak umat. Namun yang perlu diketahui perang hanya alternatif untuk  sekedar dakwah, bukan inti dari agama Islam.

Imam ibnu Abbas menukil keterangan “Setiap nabi yang diperintah untuk berperang maka ia akan ditolong oleh Allah (diberi kemenangan). Tidaklah seseorang nabi itu wafat di peperangan kecuali ia tidak diperintah untuk melaksanakan perang tersebut.” Betapa sangat jujurnya apa yang disampaikan Ibnu Abbas. Seorang nabi atau rasul yang berinisiatif perang tanpa menunggu perintah dari Allah akan terkena imbas yang mengenaskan yakni kematian di perang tersebut.

Hal senada dengan tulisan ini sudah dituangkan oleh Habib Husein Ja’far al-Hadar dalam bukunya Tuhan Ada di Hatimu dalam bab Islam Agama Perang? Nggak Lah!. Silahkan jika Anda berkenan untuk membaca wawasan bahwa Islam memang benar-benar bukan agama perang. Saya tampilkan sedikit gambaran tulisan yang disampaikan Habib Ja’far dalam bukunya itu yang menurut saya sangat tepat sekali. “Sejak diangkat menjadi rasul pada umur 40 tahun hingga wafat pada umur 63 tahun, hidup Nabi Muhammad 23 tahun. Jika dikalikan 365, jumlah hari dalam setahun, maka jumlahnya ada delapan ribu sekian hari. Dari jumlah itu yang digunakan untuk berperang hanya delapan puluh sekian hari. Artinya hanya satu persen dari hidup Nabi Muhammad yang digunakan untuk berperang. Selebihnya sembilan puluh sembilan persen kehidupan Nabi digunakan untuk dua misi, yaitu menebar rahmat (cinta) dan menegakkan akhlak yang agung.” [2]

Baca juga:  Memori Radya Pustaka dan Halalbihalal

Menuduh Islam sebagai agama perang akibat pernah diperintah perang merupakan suatu hal yang tidak sepenuhnya benar. Selama penyerangan dilihat sebagai upaya ‘keamanan’, dan pembelaan dilabeli ‘radikalisme’, maka kebenaran akan terus dikaburkan. Kendati Rasulullah menggunakan jalan dakwah berupa perang sangatlah hati-hati dan memperhatikan etika. Islam tidak membunuh wanita, tidak menghilangkan nyawa anak kecil dan menjaga bangunan serta tumbuh-tumbuhan. [3]

Kalau ada suatu negara menyerang negara mayoritas Islam kemudian diserang balik, apa agama Islam langsung dicap agama perang? Bagaimana jika ada kelompok yang menilai Islam sebagai agama perang sebab yang dilihat adalah reaksi bukan siapa yang memulai? Ah,,, saya pusing.

[1] Al-Jurdanī, Muhammad bin Abdillah. Jawāhir al-Luʾluʾiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah)

[2] Husein Ja’far Al-Hadar, Tuhan Ada di Hatimu (Jakarta: Noura Books, 2017)

[3] Tim Bahtsul Masail HIMASAL, Fikih Kebangsaan (Kediri: Lirboyo Press)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top