Imam Abdullah bin Al-Ghazwani Bernama lengkap Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad Ajjal Al-Ghazwani. Penisbatan Ghazwan merupakan nama sebuah kabilah arab Tamasna atau lebih dikenal dengan As-Syawiyah. Ayahandanya, Sidi Muhammad Ajjal menetap di kota Al-Qasr Al-Kabir dan wafat di sana.
Para ulama dan sejarawan muslim tidak menyebutkan kapan dan dimana Al-Ghazwani dilahirkan. Beberapa ulama menyebut masih ada darah Alawi dalam tubuhnya, tapi pendapat itu segera dibantah karena tidak ada bukti dan data sejarah.
Al-Ghazwani memulai perjalanan intelektualnya di Madrasah Al-Wadi. Madrasah ini terletak di blok Andalus, kota Fes. Wilayah ini dulunya merupakan tempat para pendatang dari Andalus yang sengaja didatangkan dari negeri mereka untuk mengisi kota Fes. Peristiwa ini terjadi saat masa awal dinasti Idrisiyah yang dipimpin oleh Maolay Idris Al-Azhar. Selain itu juga terdapat blok Kairouan, yang mana mereka pendatang yang berasal dari Kairouan.
Di madrasah inilah ia mempelajari berbagai fan keilmuan dalam khazanah keislaman. Salah satu gurunya Abul Hasan Sholih Al-Andalusi. Dari gurunya inilah isyarat untuk berguru kepada Imam Abdul Aziz At-Tubba’ ia peroleh. Setelah sebelumnya, Al-Ghazwani memintan untuk membimbing dirinya dalam laku tarekat yang bersumber dari tarbiyyah nabawiyyah.
Dalam kitab Mira’atul Mahasin disebutkan bahwa Imam Al-Ghazwani selalu menuangkan air untuk cuci tangan para murid setelah jamuan makan di zawiyah gurunya. Kabar ini terdengar oleh gurunya, suatu saat ketika dalam satu majlis, sang guru diminta untuk menerimanya sebagai murid, dan para murid lain berkata, “Tolong terimalah ia, wahai guru.” Sang guru menjawab, “Anak ini seorang yang memiliki batin dan jiwa yang kuat, saya akan mengirimnya ke Marakesh, agar ia belajar kepada Imam Abdul Aziz At-Tibba’”
Setelah ia sampai di Marakesh dan belajar di bawah bimbingan Imam At-Tibba’. Dia pun mulai berkhidmat kepada sang guru. Ia ditugasi untuk mengurus kebun, mengangkat kayu bakar dan menggembalakan ternak. Tidak seperti para murid lain yang mengikuti pelajaran, At-Tibba malah disuruh untuk berkhidmat. Tapi disinilah letak keberkahan dan munculnya sirr dalam diri Al-Ghazwani, berkat ketekunan, ketaatan dan keikhlasan ia mendapatkan maqom yang tinggi di sisi Allah Swt.
Hal ini mengingatkan saya tentang kisah Mbah Hasyim Asy’ari yang menguras wc untuk mengambil cincin nyai kholil yang jatuh di dalamnya. Dengan tujuan untuk meghilangkan kesedihan pada diri gurunya Mbah Kholil Bangkalan. Inilah khidmah yang sesungguhnya dapat menghantarkan murid kepada kemanfaatan ilmu dan futuhnya batin.
Hingga tiba saatnya ia disuruh kembali oleh gurunya untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Setelah sebelumnya telah bermulazamah dengan gurunya selama 10 tahun. Lantas ia mulai menuju ke daerah Al-Habt, di sinilah kiprah dakwah dan pengaruhnya mulai tersebar luas. Ia menjadi mursyid tarekat Jazuliyah Syadiliyah dan menmbangun zawiyah yang berada di Bani Fazankar.
Imam Al-Ghazwani juga terkenal sebagai kyai yang dolan berkelana. Ia melakukan semacam rihlah dakwah untuk menebarkan Islam dengan cita rasa sufisme yang dengan mudah diterima oleh masyarakat. Ia juga pergi ke kabilah-kabilah yang berada di pegunungan terpencil, mengajak mereka mengenal tuhannya dengan bersuluk dan membangun beberapa zawiyah . Di antaranya yang masih berdiri kokoh hingga sekarang adalah Zawiyah Sidi Abdullah yang terletak di perkampungan Bani Badr.
Karomah Al-Ghazwani
Disebutkan dalam kitab Thobaqot As-Syadiliyyah Al-Kubro karangan Sidi Al-Hasan bin Muhammad Al-Kuhin Al-Fasi bahwa Imam Al-Ghazwani merupakan salah satu ulama yang berada pada maqom ahl at-tashrif. Seorang wali qutb dan ghous yang menggabungkan antara syariat dan hakikat.
Di antara karomahnya adalah suatu ketika ia berangkat ke suatu tempat untuk mendamaikan dua kabilah yang saling bersitegang atas masalah yang terjadi di antara mereka. Setelah Imam Al-Ghazwani berbicara kepada mereka dan ketegangan pun mulai mencair. Sang imam meminta mereka untuk melakukan dzikir secara bersama. Suasana pun semakin larut dalam kesunyian. Imam Al-Ghazwani pun memimpin sesi hadroh. Berbagai madah dan sholawat dilantunkan dengan khidmat. Dua kabilah yang tadinya berseteru mulai menyatu menjadi satu napas, napas suluk penuh kedamaian.
Hingga tak terasa waktu telah melewati subuh, saat itu adalah bulan Ramadan dan mereka belum sempat sahur. Mereka pun memberi tahu keadaan yang terjadi.
Kemudian Imam Al-Ghazwani berdiri dan berkata, “Dengan perintah Allah, kembalilah wahai malam.” Setelah perkataan itu, langit yang tadinya terang berganti menjadi gelap malam. Setelah mereka selesai menyantap sahur, langit pun kembali terang seketika. Inilah karamah dan keistimewaan yang Allah berikan kepada Ahl At-Tasrif.
Diceritakan bahwa Imam Nasiruddin Al-Luqqani dari Mesir mengirim surat kepada Imam Al-Ghazwani untuk bertanya perihal tafsir surat Al-Fatihah. Lantas Imam Al-Ghazwani membalas surat itu. Ketika surat itu sampai dan dibaca oleh Al-Luqqani, ia takjub dengan pepenafsiran sang imam. Dengan bersemangat ia kirim ulang surat dan bertanya adakah wali qutub pada abad ini. Datanglah balasan surat yang mengisyaratkan bahwa dirinya wali qutub zaman ini. Lantas Imam Luqqoni memngumumkan kepada para hadirin, “Dialah (Al-Ghazwani) pemilik zaman ini, sesiapa yang ingin sowan, segeralah datang kepadanya.”
Kondisi Politik
Imam Al-Ghazwani hidup dalam dua masa kekuasaan politik Islam. Yaitu akhir dari kekuasaan dinasti Marini dan awal mula dinasti Saadi berkuasa. Banyak terjadi peperangan kala itu. Pemberontakan pun dilakukan oleh kekuatan kerajaan Al-Wathasi.
Kemasyhuran Imam Al-Ghazwani membawanya pada bilik-bilik jeruji penjara. Suatu ketika Imam Al-Ghazwani ditangkap oleh pendukung otoritas Al-Wathasi atas perintah Sultan Abu Abdillah Muhammad bin Syekh Al-Wathasi.
Di dalam penjara, sang imam dirantai lehernya. Keajadian ajaib sering terjadi. Pada malam hari sang imam hilang entah pergi kemana dan siangnya sudah berada di tempat semula. Hingga suatu saat penjaga mengatahui hal ini. Akhirnya ia melaporkan kepada atasannya. Mengetahui hal itu, ia langsung meminta maaf karena ia sadar bahwa sang imam memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Akhirnya ia pun melepaskannya dan atas permintaan Al-Ghazwani ia pun diizinkan untuk mendirikan zawiyah di dekat Bab Futuh, kota Fes.
Tarekat Al-Ghazwani
Membincang tarekat Imam Al-Ghazwani tentu tidak lepas akan peran besar sang guru yaitu Imam Abdul Aziz At-Tibba. Banyak referensi yang menyebutkan bahwa Imam Al-Ghazwani merupakan pewaris sirr dan keilmuan At-Tibba. Bahkan suatu ketika, Imam Abdul Karim Al-Fallah mengumpulkan murid-murid Imam At-Tiba, mereka mulai menunjukkan berbagai keutamaan yang mereka peroleh berkat gurunya. Kala itu, Al-Ghazwani hanya diam saja. Setelah dipaksa untuk berbicara, ia berkata, “Saya merupakan pewaris kewalian masyikhoh dan tarbiyah dari Imam At-Tibba.”
Imam Al-Ghazwani berbaiat kepada gurunya Imam At-Tibba tarekat Syadiliyyah Jazuliyah. Secara garis besar, ajarannya terkumpul dalam 3 amalan dan menjadi aurad bagi para pengikutnya, berzikir kepada Allah, mencintai rasul dengan mudawamah shalawat dan kitab Dalail Al-Khairat.
Selain itu Imam Al-Ghazwani juga menganjurkan kepada para muridnya untuk mendaras kitab kasidah milik Imam Al-Syarisi berjudul Anwar As-Sarair wa Sarair Al-Anwar.
Sejauh pembacaan yang saya lakukan, Imam Al-Ghazwani memiliki satu kitab yang berjudul An-Nuqat Al-Azaliyah fi Ad-Dzat Al-Muhammadiyyah. Kitab ini dikaji oleh seorang filolog Maroko bernama Dr. Bousyuaib Munasser. Kitab ini berisakan 5 pokok pembahasan. Pertama, syair-syair Imam Al-Ghazwani yang mencapai 2400 bait, Kedua, Aurad dan doa-doa.
Ketiga, Al-Murasalat (Surat menyurat Al-Ghazwani kepada para ulama dan murid. Seperti surat Imam Al-Luqqani dan Al-Hibti. Berisi pertanyaan, jawaban, dan permasalahan yang dimiliki oleh para murid selama pelajaran). Keempat, Kumpulan ucapan dan maqolah tentang tasawuf, tarekat, masyikhah dan maqamat. Kelima, Otobiografi dan biografi Imam At-Tibba serta beberapa ulama lain yang sezaman.
Zawiyah Imam Al-Ghazwani selain sebagai pusat penempahan batin dan tazkiyat an-nafs, juga ikut dalam kerja-kerja sosial. Seperti memberi makan orang-orang fakir, membantu mereka yang membutuhkan, mengusahakan perairan dan ikut andil dalam bidang pertanian, seperti membantu para petani dan menanam pohon-pohon di tanah yang mati.
Imam Al-Ghazwani menghembuskan napas untuk terakhir kalinya pada tahun 935 H. Dikemubikan di distrik Al-Qashur, Marakesh. Setelahnya ia dikenal dengan julukan Maula Al-Qashur. Zawiyah dan sekaligus makamnya ramai dikunjungi dan diziarahi hingga kini. Allahumma infa’na bi barakatihim. (RM)
Casablanca, 2020