Melakukan kontemplasi dan analisis terhadap alam semesta melalui akal pikiran manusia merupakan suatu keharusan bagi manusia sebagai Hayawân an-Nâtiq atau sebagai manusia yang dianugerahi akal-pikiran. Akal di sini difungsikan sebagai perantara dalam mencari kebenaran, kemudian mampu memberikan titik terang mana yang bersifat dogmatis dan doktrinal yang terkadang tidak berpijak pada ilmu pengatahuan secara mendalam.
Hal demikian itu mampu menjadikan manusia kehilangan kendali dan manghilangkan identitasnya sebagai manusia yang berakal, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat Nabi Saw mendorong dan mendukung umat manusia untuk mendayagunakan anugerah akal sebagaimana mestinya. Sebagai seorang muslim dituntut untuk menggunakan pikiran dan pikirannya, agar menambahkan dan meningkatkan keimanannya. Iman yang didukung dengan dalil aqly yang luas akan menyelamatkan setiap muslim dari berbagai kebimbangan hati.
Hidup di era yang serba membutuhkan pembuktian ilmiah ini tidak cukup menjadikan tafsir-tafsir klasik sebagai rujukan utama. Maka, tidak heran jika kemudian lahir interpretasi Al-Qur’an yang di dalamnya menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kebutuhan hidup yang semakin kompleks menjadi salah satu faktor penafsiran Al-Qur’an dengan aneka corak. Seperti tafsir sufistik atau isyârî dan tafsir yang bercorak kebahasaan dan kesastraan. Misalnya Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-Karîm karya Aisyah Binti Abdurrahman yang memiliki nama udara Bintu Syâti’ dan juga tafsir saintifik yang di dalamnya bercorak literatur sains.
Di antara para saintis yang membandingkan antara sains dan al-Qur’an ialah Syekh Thanthâwî yang mempunyai nama lengkap Thanthâwî Bin Jauhari Al-Mishrî, yang oleh sebagian ulama yang tak sejalan dengan ideologinya dianggap sebagai pemikir sesat dan menyesatkan umat Islam.
Beliau tercatat sebagai salah seorang filsuf, yang banyak mengkaji Al-Qur’an dari berbagai macam persepektif. Dari sudut pandang yang berbau saintifik ini melahirkan al-I’jâz al-I`lmî yang menyikap kemukjizatan Al-Qur’an.
Al-I’jâz al-‘Ilmî memilki beberapa pengertian, baik secara etimologis maupun terminologis. Secara termonologis para cendekiawan Islam yang memberikan pengertian tentang al-I’jâz al-‘Ilmî.
Di antaranya adalah Abdullah Bin Abdul Aziz menyatakan bahwa yang disebut dengan al-I’jâz al-‘Ilmi adalah informasi-informasi yang terdapat di dalam Al-Qur’an atau yang terdapat dalam hadis, di mana kedua sumber tersebut sudah mendahului perkembangan sains saat ini yang sebenarnya bersumber dari eksperimen yang ditemukan di kemudian hari. Baginya segala bentuk kebenaran yang bersumber dari Tuhan masuk dalam kategori al-I’jâz al-Ghaibî
Sedangkan Mannâ’ Khalîl al-Qatthân menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-I’jâz al-‘Ilmî adalah I’jâz yang di dalamnya tidak tunduk di bawah hukum sains yang berbau modernisasi dan hakikatnya memilki kebenaran relatif. Hal itu dipetik dari buah pemikiran manusia yang bersumber dari eksperimennya.
Sedangka Manshûr Muhammad memberikan definisi bahwa al-I’jâz al-‘Imî adalah berita-berita yang bersumber dari Al-Qur’an melalui eskperimen-eksperimen yang berkembang pada zaman ini, yang belum terjangkau oleh manusia pada zaman Al-Qur’an diturunkan.
Adapun fungsi Al-Qur’an itu sendiri bagi kehidupan umat Islam layaknya sinar matahari terhadap tumbuhan. Telah jamak diketahui bahwa tumbuhan tidak bisa memberikan arti kehidupan bagi lingkunganya tanpa melakukan fotosintesis, karena dengan adanya fotosintesis (fotos = cahaya; sintesis = membuat bahan kimia, memasak) tumbuhan dapat menghasilkan buah-buahan dan oksigen untuk kelangsungan hidup lingkungannya, begini denah reaksi fotosintesisnya:
12H2O air + 6CO2 Karbon dioksida C6H12O6 Glukosa + 602 Oksigen + 6H2O
Begitu pula dengan umat Islam tanpa adanya Al-Qur’an ia tak akan mampu memahami arti kehidupan yang sesungguhnya, tidak dapat mengerti akan makna kesabaran, spritualitas, dan ibadah, semisal sabar dalam shalat.
Dari berbagai penafsiran yang dikembangkan dari hasil pemikiran para mufassir tentunya para mufassir tersebut terinspirasi dari mukjizat-mukjizat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kita tidak dapat menafikan begitu saja bahwa para mufassir itu terilhami oleh kedahsyatan-kedahsyatannya. Di samping keotentikan Al-Qur’an terjamin, dan mampu memberikan jalan pembuka bagi siapa saja yang ingin benar-benar mengkajinya lebih mendalam lagi.
Hal itu terbukti ketika Al-Qur’an ditilik melalui kemukjizatan yang ada di dalamnya dari pelbagai persepektif. Dalam bidang sains, Al-Qur’an mampu mendahului sains yang berkembang saat ini.
Gelombang frekuensi yang diberikan para ulama sebelumnya yang memberikan fakta ilmiah tentang keilmiahan al-Qur’an, seperti Imam Al-Ghazâlî (505 H.) Beliau mengungkapkan bahwa segala macam ilmu yang sumbernya dari Al-Qur’an sudah bercabang-cabang, antara lain ilmu keagamaan, berbagai macam ilmu dunia, ilmu-ilmu yang telah ada dan masih terus ditelaah, ilmu yang sudah ada dalam Al-Qur’an namun masih belum dijangkau atau dipelajari oleh manusia, dan ilmu-ilmu yang akan muncul di kemudian hari.
Fakhr ad-Din ar-Râzî (606 H.) dan para mufassir lainnya yang juga memiliki kemampuan memberikan sinyal tentang sains yang ada dalam al-Qur’an walaupun frekuensi yang dimiliki mereka cukup lemah, tidak seperti saat ini. Akan tetapi mereka mampu membuktikan bahwa Al-Qur’an mampu menjawab tantangan zaman dengan pelbagai literatur yang berkembang dari zaman kezaman.
Adapun yang dimaksud dengan sains di sini adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan alam semesta seperti ilmu kedokteran, ilmu Falak, Fisika, Matematika, Biologi, Kimia, Geologi dan ilmu-ilmu lainnya yang dijadikan dasar dalam berkembangnya kehidupan umat manusia.
Begitu pula dengan ilmu Metafisika yang kajiannya lebih menitikberatkan pada dimensi yang tak kasat mata dengan berusaha mengkomparasikan antara Metafisaka dengan Fisika yang analisisnya bersumber pada satu bentuk sintesis antara ilmu-ilmu yang sumbernya dari objek material dan imaterial.
Dengan demikian, maka telah terang benderang di hadapan kita, bahwa Al-Qur’an memiliki kemutlakan petunjuk bagi umat Islam dari semua lini kehidupan. Oleh sebab itulah pula, mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an adalah pekerjaan yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Wallahu A’lam.