Momen penting dalam hubungan Rezim Orde Baru dan muslim Indonesia terjadi pada 1983-4. Pertama-tama, Pancasila ditegaskan kembali sebagai dasar negara. Orde Baru melangkah lebih jauh, tatkala–berbeda dengan tahun-tahun awal kemerdekaan dan masa politik aliran 1950-an–Pancasila dinyatakan sebagai asas tunggal untuk semua pelaku sosial-politik.
Akan tetapi, keputusan itu terjadi bersama “agenda reaktualisasi” Menteri Agama Munawir Sjadzali (1925-2004, menjabat 1983-93); dan keputusan Nahdlatul Ulama (NU) untuk meninggalkan gelanggang politik praktis. Dengan slogan “Kembali ke Khittah 1926”, keputusan itu terbukti penting secara strategis bagi NU.
Di satu sisi, para ulama tradisional di NU, yang dipimpin Rais ‘Am Achmad Siddiq (1926-1991), menjadi bisa kembali fokus ke peran sebagai pendidik dan meluruskan kembali jalur organisasi ke “Jalan Tengah” tak politis atau “tawassut wa al-i’tidal” (Kersten 2015: 88).
Di sisi lain, kebijakan itu mendorong ketua umum NU yang baru, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1940-2009) yang bersifat tidak terduga, ke peran pengkritik utama Presiden Soeharto (1921-2008).
Gus Dur yang berpengetahuan luas dan fasih berbahasa Arab maupun Inggris bukanlah ulama biasa. Dia dididik di pondok pesantren dan sekolah Jakarta ketika ayahnya, Abdul Wahid Hasjim (1914-1953), memegang jabatan di pemerintahan. Gus Dur tidak kuliah di universitas Islam, meski pernah merantau ke Kairo dan Baghdad untuk belajar sastra Arab tetapi tidak sampai lulus.
Pulang ke tanah air, telatah Gus Dur langsung meroket di NU, dan puncaknya titimangsa 1984 dia ditahbiskan menjadi ketua umum Pengurus Besar. Lantas, Gus Dur menggunakan panggung itu untuk berubah menjadi pemimpin oposisi de facto terhadap Soeharto (lihat Barton 2002).
Selain penegasan doktrin Pancasila oleh rezim Orde Baru dan keputusan NU untuk menangkis (dan memanfaatkan) langkah itu dengan mengubah fokus kembali ke misi awal, kebijakan agama pemerintah sendiri terhadap populasi muslim mempercepat proses Islamisasi pada paruh kedua 1980-an–menyebabkan apa yang disebut “penghijauan” masyarakat Indonesia. Nama itu simbolis dengan dua arti, karena kata hijau bukan hanya merujuk ke “Islam”, melainkan juga “militer”.
Gabungan pengaruh inisiatif Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Gerakan Pembaruan-nya Nurcholish Madjid (1939-2005), dan perubahan yang dilakukan Menteri Agama Mukti Ali (1923-2004) membuat Indonesia tampak lebih “islami” tinimbang dua puluh lima tahun sebelumnya. Sebagian besarnya didorong oleh tumbuhnya kelas menengah muslim perkotaan yang terdidik dan sedang naik daun secara sosial. Mereka hidup dan bekerja di kota-kota besar dan sudah memenuhi sebagian besar kebutuhan material dasar, sehingga membentuk pasar untuk “komodifikasi” agama (lihat Fealy & White 2008).
Hal ihwal itu bukan hanya tampak secara komersial–berkembangnya industri makanan halal dan mode Islami –melainkan juga berwujud intelektual dan spiritual, berupa kemunculan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi “think tank” yang melayani kebutuhan imaterial kaum borjuis muslim baru. Bekas aktivis mahasiswa seperti Nurcholish Madjid mendirikan lembaga penelitian dan yayasan, yang bukan hanya menawarkan kursus dan program pendidikan agama, kerohanian, dan peningkatan pribadi bagi profesional muslim kota, melainkan juga membuka lapangan kerja bagi lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Beberapa orang berwirausaha dengan memadukan yang komersial dan yang spiritual, seperti Penyanyi dan Aktor Rhoma Irama (lahir 1949) dan pendakwah televisi Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym (lahir 1962).
Menurut Carool Kersten, kecenderungan Islamisasi itu juga mulai memengaruhi elite politik, sampai mencapai puncak–Presiden Soeharto dan keluarga Cendana-nya naik haji pada 1991. Selama 1980-an, Soeharto telah mengurangi ketergantungannya terhadap jenderal-jenderal berlatar belakang Kristen, dan karena makin kurang percaya terhadap perwira-perwira senior lain yang punya ambisi politik, sang presiden telah mengulurkan tangan ke kubu muslim.
Selain langkah simbolis menampilkan diri sebagai muslim yang menjalankan ajaran agama, yang pada gilirannya memotivasi pejabat tinggi pemerintah dan militer liyan untuk menampilkan keislaman, Soeharto merestui pembentukan wadah untuk mempersatukan para cendekiawanan muslim Indonesia sebagai suatu basis kekuasaan politik baru (Kersten 2017: 281).
Para pengamat perkembangan politik dan agama di Indonesia kontemporer maupun beberapa pelaku yang terlibat langsung memberi laporan yang berbeda-beda mengenai pendirian apa yang dikenal sebagai Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia). Umumnya disepakati bahwa yang awalnya adalah niat spontan lima pemimpin mahasiswa muslim mengadakan satu simposium berubah menjadi rencana lebih besar ketika bekas aktivis kampus DDII Imaduddin Abdurrahman (1931-2008) dan tokoh intelektual Muhammadiyah Dawam Rahardjo (1942-2018) mengusulkan mengubah acara kampus itu menjadi upaya lebih panjang untuk mempersatukan berbagai kelompok cendekiawan muslim.
Agar mendapat dukungan resmi yang dibutuhkan, mereka mendekati orang kepercayaan Soeharto, B.J. Habibie (1936-2019). Menyadari kemungkinan politik dalam inisiatif itu, Soeharto setuju dan memerintahkan Habibie bertanggung jawab secara pribadi atas rencana yang diambil alih pemerintah untuk mengadakan forum diskusi resmi yang mempersatukan para pejabat pemerintah, teknokrat, akademikus, aktivis, dan juga para pemimpin organisasi massa muslim Indonesia.
Sejak permulaan, ICMI punya kelemahan karena pemimpin NU Gus Dur menolak ikut bergabung. Gus Dur malah mendirikan lembaga cendekiawan alternatif yang lebih terbuka dan kritis, bernama Forum Demokrasi. Optimisme mengenai potensi ICMI sebagai basis kekuasaan politik anyar segera menguap ketika para peserta dan pengamat mulai mengajukan pelbagai penafsiran atas perannya, mulai dari melindungi kepentingan ekonomi kelas menengah muslim sampai makna kultural dan simbolis yang bisa dikerahkan organisasi Islam baru tersebut (lihat Hefner 2000).
Keberhasilan awal ICMI sebagai organisasi payung yang ramah kepada penguasa untuk mempersatukan para cendekiawan dari pelbagai ragam latar belakang muslim dirusak oleh keragaman ideologi di dalam dan perbedaan pendapat mengenai cara berhubungan dan menyatakan kesetiaan kepada rezim.
Kemerosotan ICMI dipercepat tatkala tokoh-tokoh pentingnya kecewa, lalu keluar sendiri atau dikeluarkan dari organisasi tersebut. Walau pendirian ICMI awalnya dipandang sebagai “permulaan politik akomodasi negara terhadap Islam”, ICMI tak bisa bersaing dengan tetap pentingnya ormas muslim seperti Muhammadiyah dan NU, juga lembaga terkait negara dan rezim seperti partai pemerintah Orde Baru Golongan Karya (Golkar), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan birokrasi negara secara umum (Effendy 2004: 196).
Kalakian, meskipun tahun 1995 diawali perayaan lima puluh tahun kemerdekaan Indonesia, umur setengah abad itu juga disertai peningkatan kekerasan antaragama bermotif politik yang bakal menodai tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, selagi dia dan pemerintahannya mencoba menghadapi jagat terglobalisasi yang berubah pesat. Selagi internet mulai masuk ke bentang media Indonesia, kedaulatan negara dan proteksionisme nasionalis merasa dikepung gelombang (neo-)liberalisme dunia. Rezim Orde Baru mencoba menunjukkan wajah demokratis dan penghormatan atas hak asasi manusia dengan memerintahkan dilepasnya para bekas menteri era Presiden Soekarno dari bui.
Efek tidak terduga keputusan itu ialah suatu kampanye oleh para pemuda muslim untuk menuntut amnesti serupa bagi para aktivis muslim yang dipenjara, sementara para pencela ICMI menanggapi dengan mendirikan lembaga dan organisasi lain untuk menjaga kesatuan nasional dengan menyatakan dukungan kuat bagi Pancasila.
Satu lagi kekhawatiran besar pemerintah adalah pembentukan persekutuan lawan-lawan politik Soeharto, mempersatukan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpin putri Bung Karno, Megawati Sukarno Putri, NU Gus Dur, dan apa yang pemerintah tuduh sebagai “organisasi tanpa bentuk” (OTB).