Tak dapat dimungkiri, saat ini kita hidup di tengah kondisi kerusakan lingkungan yang semakin hari makin memprihatinkan. Kita sedang berada di tengah himpitan manusia-manusia egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri dengan mengeksploitasi alam secara keterlaluan. Tentu saja, kerusakan lingkungan, yang umumnya diakibatkan ulah manusia ini bisa berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri dan juga makhluk hidup lainnya.
Krisis lingkungan atau krisis ekologi dapat kita jumpai di sekitar tempat tinggal kita. Di Pekalongan, misalnya. Isu lingkungan kerap kali menjadi berita hangat di daerah yang terletak di Pantai Utara Jawa Tengah ini. Bencana rob, banjir, pencemaran air tanah, dan limbah, bisa dikatakan sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari warga Pekalongan. Selain Pekalongan, krisis ekologi ini juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya.
Manusia, dalam hal ini, memiliki pengaruh yang sangat besar pada lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada berbagai kegiatan atau aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia. Demi mengejar profit yang besar maka mereka melakukan eksploitasi yang dapat merusak dan mengancam kelestarian lingkungan. Pembukaan lahan-lahan baru untuk pembangunan gedung gedung baru merupakan salah satu contoh.
Saya logika-kan begini. Dengan semakin menjamurnya gedung-gedung bertingkat, pendirian industri-industri yang semakin tak terhitung jumlahnya, dan lain sebagainya, hal itu turut berpengaruh terhadap kebutuhan akan bahan-bahan yang digunakan. Seperti misalnya, kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumber daya alam yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan lingkungan hidup alam.
Belum lagi jika industri-industri itu telah beroperasi. Meski dapat membuka lapangan pekerjaan baru, tapi dampak negatifnya dari berdirinya industri-industri itu dimungkinkan menyebabkan terjadinya polusi udara semakin besar, karena asap dari pabrik. Lalu limbah-limbah industri juga tak terelakan dapat mengancam kehidupan manusia.
Di daerah saya saja, misalnya, beberapa pabrik tekstil berdiri dengan kokoh. Keberadaannya memang mampu menyerap tenaga kerja dari warga sekitar. Tapi di lain sisi, kehadiran industri tekstil dapat menyengsarakan masyarakat apabila kemunculan industri itu merusak lingkungan hidup. Sebab setiap industri pasti menghasilkan limbah. Nah, bila limbah itu tidak dikelola dengan baik maka sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan semua makhluk hidup di sekitarnya.
Singkat cerita, daerah tempat tinggal saya kebetulan memang terdapat pabrik-pabrik tekstil yang dalam proses bisnisnya kurang memperhatikan aspek lingkungan. Pendek kata, ia abai terhadap kesejahteraan lingkungan.
Dampaknya, lahan-lahan petani, misalnya, yang tadinya subur kini sudah tak berfungsi lagi imbas tercemar limbah pabrik. Selain itu, kualitas air bersih (imbas pencemaran limbah) juga berkurang. Sehingga masyarakat ketika ingin mengonsumsi air bersih, harus merogoh kocek sekian rupiah untuk membayar air PAMSIMAS. Uang yang tadinya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain mau tak mau harus dialihkan untuk membayar bulanan air PAMSIMAS.
Masalah lingkungan memang kerap ditimbulkan oleh aktivitas bisnis yang hanya mementingkan profit oriented saja. Kehadiran pabrik tekstil yang abai terhadap lingkungan, yang saya bahas di atas, hanya salah satu contoh saja. Ada banyak kasus lain di negeri ini, seperti misalnya industri pertambangan, yang dalam praktiknya banyak merusak lingkungan, yang berdampak sangat buruk bagi kehidupan manusia.
Kerusakan lingkungan merupakan dampak yang dihasilkan atas pembangunan yang bersifat eksploitatif atas lingkungan demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka dari itu, pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sangat perlu dilakukan sebagai upaya meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Pembangunan berkelanjutan memiliki arti, yakni pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan dari generasi saat ini tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan generasi mendatang hanya demi memenuhi kebutuhan sendiri.
Nah, konsep Pembangunan Berkelanjutan ini pertama kali diperkenalkan sebagai tujuan sosial pada konferensi pertama PBB dalam bidang Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972. Konferensi tersebut dilatarbelakangi oleh kekhawatiran global akan kemiskinan yang berlarut-larut dan meningkatnya ketidakadilan sosial, ditambah dengan kebutuhan pangan dan masalah lingkungan global serta kesadaran bahwa ketersedian sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi amatlah terbatas.
Green Economy sebagai Solusi
Nah upaya yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan Green economy. Green Economy menurut UNEP (United Nations Environment Programme) adalah proses pengembangan ekonomi yang tetap memperhatikan dampak lingkungan seperti tingkat karbon di udara, efisiensi sumber daya alam, dan dampak sosial. Singkatnya, green economy adalah kegiatan pembangunan ekonomi yang tidak mencederai nilai-nilai lingkungan. Green economy sangat bersahabat dengan lingkungan. Ia berusaha menjaga bumi agar lestari.
Konsep Green Economy muncul disaat berbagai negara mengalami masalah degradasi sumber alam, sumber daya energi, lingkungan, dan sumber pangan. Konsep Green Economy sangat penting untuk memandu kebijakan pembangunan berkelanjutan, karena konsep ini menjadi inti permasalahan maupun mengatur ekonomi dengan cara yang sesuai dengan prasyarat ekologis lokal dan global serta dinamika jangka panjang.
Green Economy merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktek-praktek ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek, yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani termasuk menggerakkan perekonomian yang rendah karbon. Ekonomi rendah karbon dapat didefinisikan sebagai ekonomi yang tidak banyak menggunakan sumber energi yang mengeluarkan karbon dioksida, sehingga ekonomi tersebut juga tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca ke biosfer.
Konsep green economy tampaknya menjadi jawaban untuk mengatasi permasalahan serius dalam pembangunan ekonomi yang tidak ramah lingkungan. Dia (green economy) bisa jadi solusi, yakni sebuah ekonomi yang dibangun dan dijalankan untuk mengatasi perubahan iklim, mencegah makin membesarnya emisi gas rumah kaca dan lain sebagainya.
Dalam perilaku hijau, manusia dituntut memprioritaskan penggunaan dan menghemat pemakaian sumber daya alam yang terbarui (renewable). Maka paradigma manusia terhadap lingkungannya inilah yang perlu diubah agar sikap dan perilaku mereka lebih arif dan bijaksana dalam memaknai dan memperlakukan alam.
Lantas bagaimana bentuk kegiatan dari Green Economy itu sendiri?
Saya kasih contoh yang simpel saja. Pada industri batik, misalnya. Pada industri batik konsep green economy dapat diterapkan dengan memakai bahan-bahan pewarna alami sebagai obat batik. Pasalnya, bahan pewarna kimia/sintetis pada batik tersebut tergolong tidak ramah lingkungan. Apabila limbah-limbah mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan tersebut tentu merusak ekosistem tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahan-bahan kimia. Nah, ini berbahaya. Resapan limbah batik juga berbahaya jika mencemari sumur-sumur warga. Air menjadi kotor, bau dan akhirnya tak layak konsumsi.
Tidak hanya pengimplementasian penggunaan pewarna alami saja, penerapan green economy pada industri batik juga bisa diaplikasikan dalam bentuk pengelolaan air limbah, sehingga limbah yang keluar ke masyarakat bisa dipastikan sudah tidak mengandung zat-zat berbahaya lagi.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mendorong pelaku industri batik untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya lokal terbarukan serta melakukan efisiensi energi dalam proses produksinya.
Green Economy Selaras dengan Prinsip Ekonomi Islam
Green economy sesuai dengan tujuan, prinsip dasar dan sistem dalam ekonomi Islam, yaitu untuk mensejahterakan manusia searah dengan peningkatan kualitas hidup manusia dan alam. Menurut Nurul Widyawati (2022) dalam bukunya berjudul Islam dan Green Economics, menyatakan bahwa, terdapat kesamaan substansi atau value yang ada pada gagasan green economy dengan salah satu konsep dalam ekonomi Islam yakni maqashid syariah.
Maqashid syariah sendiri adalah tujuan dari segala hukum atau ketentuan Allah SWT yang disyariatkan kepada umat manusia untuk mencapai kemaslahatan. Kesamaan nilai (value) di antara keduanya yaitu sama-sama menekankan bagaimana manusia dapat mencapai kesejahteraan atau kemaslahatan dalam menjalani kehidupan.
Basis maqashid syariah pada konsep green economy menunjukkan, bahwa penjagaan lingkungan atau sikap peduli manusia untuk mengelola potensi sumber daya alam dengan baik erat kaitannya dengan petunjuk agama Islam pada Al-Qur’an dan Hadis.
Implementasi green economy yang sangat memperhatikan keamanan dan kenyamanan bagi makhluk hidup di bumi sejatinya telah sesuai dengan lima pilar atau tujuan pokok syariat pada maqashid syariah yang meliputi: menjaga agama (hifdz din), menjaga jiwa (hifdz nafs), menjaga akal (hifdzul aql), menjaga keturunan (hifdz nasl) dan menjaga harta (hifdzul mal).