Jumlah serdadu, alutsista, kondisi geografis, penguasaan medan, bahkan pasokan logistik sekalipun, hanya mampu menyumbang 20 persen kemenangan dalam perang. Sedangkan 80 persen lainnya, disokong oleh penguasaan data intelijen yang matang.
Ini kisah nyata tentang seorang anak muda usia 20-an, menantu Presiden, lihai, bergaya hedon, dan muak pada perang. Untuk itu, pemuda ini memilih menjadi mata-mata Israel, demi perdamaian di negaranya, Mesir.
London, 1970 di ruang makan Kedutaan Mesir. Hidangan makan malam berjejer di atas meja. Presiden Gamal Abdel Nasser dengan jajarannya, duduk rapi, menyantap makan malam diselingi bincang ringan soal politik negara.
“Mesir harus mencari bantuan dari luar negeri. Kita tahu Amerika berada di belakang Israel. Sebab itu, dukungan dari Uni Soviet menjadi penting,” Nasser membuka obrolan.
Tahu-tahu, sosok lelaki paling muda di meja itu, menyela pembicaraan sang presiden. “Tidak. Kita tidak sedang berpikir siapa di balik siapa. Kita sedang menakar, kekuatan mana yang bakal bertahan. Uni Soviet tidak mungkin bertahan lama, karena sistem yang mereka anut tidak menghargai prestasi perorangan,” cerocos Ashraf bikin hadirin tertawa.
“Kita harus memikirkan ulang,” lanjut Ashraf tetap kekeuh beropini, meski tak ditanggapi. Tapi dia tetap nyerocos, “Dalam hal ini, kekuatan Amerika. Mereka lebih stabil. Karena itu, kita patut mencoba jalur damai dengan Israel.”
“Sepertinya menantuku ini cocok jadi Duta Besar Amerika,” tutup Gamal Abdel Nasser, dengan ekspresi sinis pada menantunya.
Anak muda itu, Ashraf Marwan, masih 25 tahun dan bukan politikus jempolan. Ia tak diperhitungkan. Bahkan tidak diminta sedikit pun pendapatnya, meski pada forum setengah formal semacam itu. Kehadirannya malam itu pun bukan karena ia politisi yang dipekerjakan mertuanya, tapi lebih karena ia keluarga Presiden Mesir. Tepatnya, suami dari putri kedua Nasser, Mona Gamal.
Pertemuan Ashraf (21) dengan Mona (17), berlangsung saat dirinya baru lulus Sarjana Kimia dari Universitas Kairo. Kisah cinta papan atas ini kerap menjadi topik gunjingan, baik di kalangan istana maupun khalayak.
Cerita burung yang menyebar sampai ke telinga Nasser: Ashraf hanya memanfaatkan cinta Mona, demi mendapat fasilitas dan popularitas, selaku anggota keluarga ring satu negeri Piramida itu. Tapi putrinya yang masih sangat muda, berkeras menikahi Ashraf yang putra jenderal Angkatan Darat Mesir itu, pada 1966. Nasser pun terpaksa menyetujui kehendak putrinya.
Setelah menikahi Mona, Ashraf diberi pekerjaan di lingkungan istana, sebagai anak buah Sami Sharaf, petinggi dinas rahasia Mesir. Namun sebagian lingkar dalam istana Kairo, jengah pada sang menantu ini. Ashraf lebih dikenal sebagai anak muda hura-hura yang beruntung menjadi menantu Presiden Mesir.
Ia kondang sebagai pribadi hedonis, hidup mewah bersama istri dan putranya yang masih balita, saat keluarga kecil ini tinggal di London, Inggris. Namanya selalu tercantum paling atas dalam list undangan pesta sosialita di London, kota tempat Ashraf melanjutkan kuliah S-2-nya.
Baru beberapa tahun menikah, berhembus rumor, bahwa perkawinan Ashraf dengan Mona berada di ujung tanduk. Pangkalnya, tersebar foto romantis Ashraf dengan si pirang, perempuan penghibur asal Inggris. Adegan dalam foto itu diambil saat Ashraf sedang menyalurkan hobinya: buang-buang duit di meja judi. Foto yang menjadi bukti kenakalan menantu presiden, menjadi santapan gosip.
Mertua meradang, anak dan menantunya dipanggil pulang ke Mesir. Bahkan Presiden meminta putrinya menceraikan suaminya. Tapi putrinya berkeras mempertahankan cintanya. Lagi-lagi, mertua mengalah demi putri dan cucunya.
Di Mesir, Presiden Nasser kembali menempatkan menantu hedonnya untuk bekerja di bawah Sami Sharaf, untuk tugas-tugas khusus. Salah satunya, Ashraf didapuk menangani pekerjaan yang tidak remeh, seperti menenangkan suasana usai krisis pasca mundurnya Jenderal Saad al-Shazly.
Dipercaya Sadat, Dipuji Khadaffy
Tak lama setelah peristiwa meja makan tadi, Presiden Nasser kembali ke Sang Khalik, pada 1970. Penggantinya, Presiden Anwar Sadat, punya ketertarikan pada Ashraf. Di mata Sadat, Ashraf adalah anak muda istana yang pola pikirnya anti-mainstream. Sekaligus, Presiden Sadat butuh dukungan dari keluarga presiden sebelumnya. Itu sebab, Sadat mendapuk Ashraf sebagai Penasihat Presiden Anwar Sadat.
Para loyalis Nasser, termasuk Sami Sharaf, rupanya tak puas pada kepemimpinan Presiden Sadat. Maka mereka pun melancarkan kudeta, pada Mei 1971. Namun upaya kudeta ini gagal, malah pentolan-pentolannya masuk bui, berkat peran penting Ashraf.
Nama Ashaf melambung. Bahkan Presiden Sadat menunjuk Ashraf untuk menggantikan posisi Sami. Ashraf menjadi kepala staf kantor presiden. Dan ketika Presiden Sadat menyetujui usul Ashraf agar Mesir menjalin hubungan dengan Libya dan Arab Saudi, Ashraf pun ditunjuk menjalankan tugas tersebut.
Di sini Ashraf mulai berakrobat. Lihai, ia manfaatkan nasib baiknya sebagai menantu almarhum Presiden Nasser, untuk mendulang persahabatan. Mulai dari Kamal Adham, ipar Raja Faisal, hingga Abdessalam Jalloud yang PM Libya. Bahkan pemimpin Libya Muammar Khadaffi, menganggap Ashraf bagai ponakannya sendiri.
Hasil hubungan baik Ashraf dan Khadaffy, dipetik oleh Presiden Sadat, berupa kesediaan penuh Arab Saudi dan Libya untuk menyokong keuangan dan militer bagi Mesir, menjelang Perang Yom Kippur. Salah satu bantuan Libya berupa jet tempur Mirage-5 untuk Mesir. Ini merupakan bantuan tak ternilai, karena saat itu Mesir masih meringkuk di bawah embargo AS. Sehingga tak mungkin bisa beli pesawat tempur, apalagi Mirage yang canggih itu.
Menjelang Yom Kippur
Enam tahun telah berlalu sejak kekalahan memalukan koalisi Mesir-Arab-Suriah pada Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) melawan Israel. Bagai coreng abadi di wajah koalisi, karena Israel menang gemilang meski dikeroyok, bahkan berhasil merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari tangan Mesir. Juga Wilayah Tepi Barat (termasuk Yarusalem timur) dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari tangan Suriah.
Kelompok koalisi, jelas-jelas ingin membayar lukanya. Israel tahu persis rencana koalisi Arab-Mesir tersebut, yang ingin merebut kembali terutama dua wilayah: Dataran Tinggi Golan dan Semenanjung Sinai. Di sinilah, Ashraf Marwan berkiprah di balik layar.
Jika dulu, pada Perang Enam Hari, nama Eli Cohen melambung sebagai agen rahasia Mossad yang berada di balik kesuksesan Israel merebut Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Kali ini, Ashraf juga ingin mengukir namanya di balik layar. Caranya, dengan membatalkan perang. Untuk itu, ia memilih jalan paling berisiko: terjun menjadi informan bagi Mossad, dinas rahasia Israel.
Sekilas tentang Eliahu Cohen alias Eli Cohen, agen rahasia di balik kemenangan Israel pada Perang Enam Hari. Pria kelahiran Alexandria, Mesir, 26 Desember 1924 itu, adalah penyuplai data nomor wahid dari petinggi militer Suriah. Eli Cohen yang berhasil menyusup ke jantung pertahanan Suriah sebagai sahabat Menteri Pertahanan Suriah, mensuplai titik lokasi pesawat-pesawat tempur Suriah yang melindung Dataran Tinggi Golan. Meski pun Eli Cohen tak sempat merasakan kemenangan Israel pada Perang Enam Hari, karena ia keburu dihukum gantung oleh Suriah pada 18 Mei 1965.
Seperti juga data intelijen yang umumnya tak terungkap jelas, pun muasal keterlibatan Ashraf Marwan di Mossad. Tak ada data pasti mengenai titik pangkal hubungan Mossad dengan agen yang diberi kode “The Angel” ini. Hanya satu hal yang pasti, Ashraf punya jabatan tinggi dan dipercaya Presiden Mesir, sehingga dianggap mampu memasok informasi A1, khususnya seputar rencana serangan Mesir terhadap Israel.
Benarkah demikian? Nyatanya tidak juga. Pihak Israel dua kali “kecele” oleh informasi Ashraf, soal rencana serangan Mesir itu. Padahal, setiap info dari Ashraf, pasti sampai di telinga. PM Golda Meir maupun Moshe Dayan sang Menteri Pertahanan. Mengenai informasi dari Ashraf ini, konon seorang mantan petinggi Mossad pernah menyatakan bahwa Ashraf adalah mata-mata double agent yang banyak memberikan data-data menyesatkan kepada Israel.
Kecuali pada 44 jam sebelum serangan Mesir atas Israel pada 6 Oktober 1973. Saat itu, Ashraf menghubungi kontak Mossad di London, dengan kode, “Pengiriman bahan kimia yang amat banyak.” Artinya, serangan itu bakal beneran terjadi pada Sabtu esok (6/10/1973).
Informasi yang kebenarannya dijamin dengan nyawa Ashraf itu, disampaikan kepada Zvi Zamir, Direktur Mossad pada 1968-1974. Tanpa peringatan Ashraf, Mesir pasti bisa merebut kembali Semenanjung Sinai dan Suriah bisa mendapatkan lagi Dataran Tinggi Golan.
Ashraf masih terus bekerja untuk Mossad hingga 1998. Namun ia memutuskan untuk pindah ke London dan menjadi pengusaha, tak lama setelah Presiden Anwar Sadat dilempari granat oleh Letnan Khalid Islambouli dan ditembaki pasukan penyusup itu pada 6 Oktober 1981, tepat pada peringatan 35 tahun keberhasilan pasukan Mesir menyeberangi Terusan Suez dalam Perang Yom Kippur.
Serangan Khalid Islambouli, yang juga melukai Wakil Presiden Hosni Mubarak, Menteri Pertahanan Irlandia James Tully, duta besar Kuba untuk Mesir, Jenderal Oman, dan Uskup Ortodoks Koptik. Khalid Islambouli adalah anggota organisasi radikal Jihad Islam Mesir yang sukses menyusup di tubuh militer Mesir.
Serangan kelompok Khalid Islambouli itu dipicu kemarahan kelompok radikal terhadap kebijakan Preseden Anwar Sadat, yang berdamai dengan Israel. Bahkan melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke Israel dan bertemu Perdana Menteri Menachem Begin. Tentu, Ashraf Marwan berperan banyak di balik perdamaian Mesir-Israel ini. Itu sebab, Ashraf diganjar penghargaan oleh kedua negara: Mesir dan Israel.
Bagi Ashraf Marwan yang wafat pada 27 Juni 2007 setelah jatuh dari balkon apartemennya di Carlton House Terrace, London, wilayah teritorial bukanlah isu utama dalam peperangan. Melainkan kemanusiaan. Menghentikan terjadinya perang hampir mustahil, tapi mengurangi jumlah korban, masih mungkin dilakukan.
Namun Ashraf juga belajar banyak, bahwa kadang perdamaian hanya bisa dicapai setelah perang. Atau sebaliknya, perdamaian selalu membutuhkan tumbal sebagai bayaran